“Daddy!”
Nathan yang notabene sudah lama tidak bertemu Niko langsung berhambur berlari ke arah pria itu.
Lelaki tinggi tampan tersebut langsung berjongkok, merentangkan tangan menyambut keponakannya.
“Jagoan ....”
Begitu saja Nathan membenturkan tubuh kecilnya pada sosok yang sangat dia rindukan, mengalungkan tangan mungilnya di leher kokoh sang paman.
“Daddy lama banget nggak pernah main ke sini.”
Anak itu mulai protes. Niko lantas menggendongnya, dan membawa tubuhnya berdiri. “Daddy sibuk.”
“Kapan Daddy nggak sibuk terus main lagi sama Nathan? Nathan pengen banget diajarin motor balap itu, Daddy. Nathan juga maunya taekwondo sama Daddy.”
Niko lantas tersenyum, membawa keponakan yang sudah berumur lima tahun itu duduk di pangkuannya di salah satu kursi kosong.
“Nathan mau tante Marinka bantu nggak?” Wanita cantik yang sedari tadi bersama Niko ikut berbicara sambil menarik kursi tepat di samping lelaki itu. “Tante bisa bujuk Daddy kamu supaya ambil libur.”
Nathan tampak antusias, mata bulatnya berbinar penuh barap. “Beneran, Tante?”
“Bener, dong. Masa bohong.”
“Mau mau mau! Nathan mau, Tante. Bujukin Daddy supaya mau libur, ya. Nathan udah kangen banget seru-seruan sama Daddy.”
Wanita cantik itu lantas tersenyum. Tangan halusnya menyentuh lengan bisep calon suaminya. “Ambil cuti beberapa hari, ya, Sayang. Banyak yang harus kita siapin jelang pernikahan kita. Kasian juga Nathan yang udah nunggu-nungguin kamu. Ya?”
Lelaki itu hanya menarik satu sudut bibirnya ke atas. Tapi, si perempuan tahu kalau tunangannya itu setuju.
“Tuh, Nathan. Daddy kamu setuju.”
“Yeeaaayyy!”
Nathan berseru riang, membuat suasana rumah itu semakin ramai. Ia langsung turun dari pangkuan Niko lalu beralih memeluk calon tantenya.
“Nanti aku bisa latihan motor sama Daddy lama-lama. Makasih, Tante Marinka.”
“Sama-sama, ya, Ganteng.”
Lara bisa melihat interaksi itu. Tapi, ia hanya bisa menunduk sambil mencengkeram ujung kemeja sekolah yang ia kenakan.
Entah kenapa, hatinya semakin tidak karu-karuan saat mendengar lelaki itu ternyata akan menikah.
Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, hingga hatinya bisa merasakan sakit.
Aneh, benar-benar aneh!
Ia seperti dihatam oleh beton berbobot ribuan ton dan diempaskan dari ketinggian tak terukur.
Ingin rasanya ia bergerak pergi, namun keadaan memaksanya begini.
“Oh, ya, Daddy. Kenalin, ini temen aku, namanya Lara.”
Marsya yang juga antusias akan kedatangan dari adik ibunya tersebut langsung memperkenalkan sahabatnya itu pada sang paman.
“Ra.”
Lara tidak langsung merespons. Ia masih menunduk dan sibuk dengan pikirannya sendiri.
Melihat ada yang tidak beres, Marsya langsung menyenggol lengan Lara dengan lengannya.
“Ra ….”
“E-eh, ya?”
Marsya tampak menghela napasnya. Ia makin curiga pada gelagat sahabatnya ini. “Kenalin, Daddy gue.”
Lara langsung terpaku, tidak berani menatap ke arah lelaki itu.
“Ra ….”
“I-iya.”
Lara begitu saja langsung menoleh ke arah Niko, menatapnya dengan keberanian yang ia paksakan.
Tangan putihnya langsung terjulur ke arah lelaki yang duduk di seberang mejanya. “L-lara, Om.”
Tangan itu menggantung untuk beberapa saat, Marsya bahkan bisa menangkap ada yang aneh pada pamannya.
Ada yang berbeda dari cara lelaki itu menatap sahabatnya.
“Daddy ….”
Niko yang diperingatkan langsung menjabat tangan lembut itu, menggenggamnya sedikit erat. “Niko.”
Ada getaran aneh di sana. Saat sepasang telapak itu kembali bersentuhan. Saat terakhir kali dipertemukan di atas tempat tidur dan saling menggenggam erat untuk menggapai sesuatu.
Jantung seketika berpacu, membuat darah berdesir melewati lorong-lorong nadi mereka.
Kelebat malam itu, masih terpatri jelas. Masih mereka ingat dengan sangat nyata.
“Omhh!”
“Ahhh ….”
Suara lirih nan lembut itu masih terngiang di telinga Niko. Bahkan suaranya yang begitu b e r g a i r a h saat itu masih jelas bisa dia ingat.
Kejadian itu, kejadian tidak terduga itu … mungkin akan menjadi memori tersendiri bagi Niko maupun Lara. Di mana gairah bisa membuktikan, bahwa hubungan fisik tidak selalu melibatkan perasaan.
Tidak.
Ya, tentu saja tidak.
“Echhhmmm!”
Suara Marsya seketika menghentikan lamunan mereka berdua. Lara dengan canggung menarik tangannya. Dengan cepat, lalu menyimpannya ke bawah meja.
“Dih, kayak terpikat pada pandangan pertama aja, ish! Lama banget salamannya.”
“Ngawur kamu, Marsya.” Sintia langsung menegur putrinya. “Nanti kalau calon tante kamu ngambek gimana?”
Terdengar suara lembut dari sebelah Niko. “Mbak Sintia bisa aja. Nggak lah, Mbak. Mas Niko sayang banget sama aku.” Pandangan wanita cantik itu lalu ia bawa ke arah Lara, lalu menjulurkan tangannya ke sana. “Oh, ya. Saya Marinka, calon istrinya Mas Niko.”
Belum tenang hatinya yang bergemuruh, kini Lara seolah dihantam badai berikutnya. Wanita itu seperti memberinya peringatan.
Tapi, mau tidak mau, ia menyambut badai itu, memberikan salaman hangat pada wanita tersebut. “Lara, Mbak.”
“Nama kamu bagus.”
“Makasih.”
Jabatan tangan itu terlepas. Bersamaan dengan itu suara Sintia kembali terdengar.
“Nah, sekarang acara makan bisa dimulai. Ayo, silahkan dinikmati, Lara, Marinka. Jangan sungkan.”
Dalam posisinya, Lara benar-benar merasa tidak nyaman. Ia merasa serba salah. Merasa diawasi.
Belum lagi, ia harus menghadapi mual yang terus-terusan merongrongnya, terlebih ketika Marsya dengan segera mengisi piringnya dengan beberapa menu makanan, rasanya saat itu juga ia ingin segera berlari.
“Makan yang banyak, Ra.”
“Banyak banget, Sya.”
“Pokoknya habisin. Lo nyadar nggak sih, kalo lo itu kurusan? Liat tuh, mata lo cekung! Kayak kurang gizi tau nggak?!”
Lara hanya menunduk, hatinya semakin tidak karu-karuan.
Bolehkan ia mengatakan kalau kali ini Marsya keterlaluan?
Entah kenapa, hatinya sangat riskan akhir-akhir ini. Ia mudah tersinggung oleh hal yang mungkin sepele.
Padahal Marsya sudah biasa bersikap seperti itu padanya.
“Marsya ….” Beni akhirnya menegur putrinya. Ia juga merasa kalau anak sulungnya itu sudah keterlaluan terhadap Lara. “Mind your words.”
“Marsya ngomong kayak gitu karena sayang sama Lara, Pa. Dia itu ngurusin semua orang di rumahnya, tapi dia lupa ngurusin diri sendiri!”
Mendadak meja makan itu terasa sunyi. Semua mata tertuju pada Lara yang menunduk memperhatikan makanannya.
Termasuk Niko yang bisa melihat bagaimana wajah cantik itu begitu layu.
Lara tidak lantas menunjukan kesedihannya, dengan berani ia mengangkat wajahnya lalu tersenyum pada semua orang.
“Nggak apa-apa, Om. Kita udah biasa ngomong selepas itu.” Lara langsung menoleh ke arah Marsya. “Kalau gue habisin, lo harus kasih gue hadiah, ya?”
“Okee!”
Entah kenap,a Marsya malah merasa bersalah. Ia bisa menatap mata yang dipaksakan tersenyum itu sebenarnya ingin menangis.
Terlebih saat ia melihat sahabatnya itu berusaha memakan makanannya sampai habis.
Hingga sepuluh menit kemudian, semua orang selesai dengan makanannya masing-masing.
Dan pada saat itulah Lara mulai tidak bisa lagi menahan diri.
Kepalanya sudah benar-benar berkunang-kunang. Gelombang mual itu kembali menghantamnya kuat.
“Oh, ya, Ma. Tadi Mama bilang mau kasih kejutan buat Lara. Apa?”
Sintia meraih sebuah amplop yang ada di sisi mejanya.
“Lara pasti seneng sama kejutan ini.”
Sintia mulai membuka isi amplop itu. Tapi, belum sampai ia menarik isinya, Lara sudah mendorong kursinya dan berdiri.
“Maaf, Tante.” Gadis itu menoleh ke arah Marsya. “Sya, gue numpang ke kamar mandi lo.”
Hanya sepersekian detik kemudian, sebelum Marsya menjawab, Lara langsung melangkah pergi. Ia berlari menaiki anak tangga dan masuk ke kamar yang biasa ia tiduri bersama sahabatnya.
Ia langsung menuju toilet dan memuntahkan semua isi perutnya di closet.
Hoek!
Hoek!
Napasnya sampai tersengal-sengal.
Bahkan makanan yang tadi pagi ia telan bisa ia rasakan kembali keluar melewati kerongkongannya.
Lambungnya bahkan tidak mencerna makanan itu dengan baik.
Hingga beberapa saat kemudian, gadis itu menekan tombol flush untuk menghilangkan semua bekas muntahannya.
Cepat-cepat ia membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar. Ia khawatir jika Marsya melihatnya.
Tapi terlambat, Marsya memang sudah melihat semuanya.
Ketika ia berbalik untuk keluar dari sana, sahabatnya itu sudah berdiri.
Deg!
“S-Sya ….”
Begitu saja Marsya langsung menyodorkan stik test pack compact yang masih tersegel rapi pada kotaknya.
“Lo nggak usah ngeles lagi dari gue, Ra. Lo tes pakai alat itu. Sekarang!”
“Sya ….”
“Cepet, Ra.”
Marsya mendorong Lara kembali ke kamar mandi dan menutup pintu. Ia membiarkan sahabatnya itu melakukan tes di sana.
Untuk sesaat, Lara menatap alat itu dengan tangan gemetar. Demi apapun, perasaannya tidak menentu sekarang.
Menatap alat itu seperti menatap alat kematian.
Tapi, ia memang harus memastikan. Ia tidak bisa terus menyangkal dari kemungkinan itu.
Menarik napasnya dalam-dalam, gadis itu kemudian membuka kemasan yang masih terbungkus rapi dan mengeluarkan isinya.
Segera ia turunkan pantiesnya untuk menampung air seninya. Setelahnya, ia menenggelamkan sebagian kecil kecil alat itu dan menunggu hasilnya.
Sedangkan di luar sana, Marsya terus menerka-nerka. Menunggu dengan perasaan cemas. Sudah beberapa menit berlalu, tapi Lara tidak kunjung selesai.
Merasa ada yang tidak beres, gadis itu langsung berniat membuka pintu, tapi belum sempat niatnya itu terlaksana, Lara sudah lebih dulu keluar dari sana.
“Gimana hasilnya, Ra?”
Lara diam. Gadis itu kembali diam. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.
Marsya yang tidak sabar langsung menyambar alat tes yang ada di genggaman sahabatnya itu. Melihatnya dengan mata yang menyisir dengan cermat bagian yang jelas ia tahu.
Garis dua dengan warna merah pekat.
Deg!
Deg!
Sahabat Lara itu langsung menelan ludah, kepalanya seperti dihantam palu godam yang sangat besar.
Lara hamil?
“Ra ….”
“Gue harus gimana, Sya?”
Air mata itu menetes begitu saja. Bergulir tanpa bisa ditahan.
Tahu ada sesuatu yang coba Lara sembunyikan, Marsya langsung mencengkeram kedua sisi lengan Lara dan mencengkeramnya kuat.
“Siapa, siapa yang hamilin lo, Ra? Ngomong sama gue?!”
Lara menelan ludahnya susah payah. Kepalanya hanya tertunduk lesu.
“Ngomong, Ra?! Gimana lo bisa hamil?! Gue tahu lo bahkan ciuman sama cowok aja nggak pernah! Lo nggak punya pacar! Gue tahu lo nggak punya temen spesial! Kenapa lo bohong sama gue, kenapa?! Apa yang lo tutupin dari gue, Ra?!”
Gadis berwajah pucat itu hanya menitikan air mata. Kepalanya menggeleng lemah, dan mulutnya tetap bungkam.
“Ya, Tuhan, Ra ….”
Merasa tertekan, merasa kehilangan pegangan, tubuh Lara yang sedari tadi lemah, ditambah pikirannya yang kacau, membuat ia kehilangan keseimbangan. Pandangannya mulai kabur, kepalanya semakin berputar.
Dan …
Tidak lama kemudian …
Brug!
Tubuh rampingnya ambruk, luruh ke lantai. Seperti jelly yang meleleh.
“Raaa!”
Seketika Marsya panik.
Gadis itu langsung memangku kepala dan leher Lara ke atas pahanya.
“Lara! Bangun, Ra!”
Beberapa kali Marsya mencoba, tapi tidak berhasil, Lara tetap terjaga di posisinya. Tidak sadarkan diri.
Yang ada di kepala Marsya saat ini hanyalan Niko. Omnya itu adalah seorang dokter. Terlebih dia adalah spesialis kandungan yang pasti tahu dengan keadaan Lara.
Ya, ia harus memanggil adik ibunya itu untuk memeriksa keadaan sahabatnya.
Dengan tangan gemetaran, Marsya menaruh kepala Lara dan berlari keluar dari kamar.
Bukan suatu kebetulan, pasti ini cara Tuhan. Marsya melihat lelaki itu terlihat menaiki tangga paling atas.
“Daddy! Daddy!”
Niko menoleh, melihat kepanikan yang terpeta di wajah Marsya.
“Sya?”
“Tolongin Lara, Daddy. Tolongin Lara!”
Tanpa banyak bicara, dengan entah mungkin ada keterikatan batin antara ia dan gadis bernama Lara itu, Niko langsung bergerak menuju Marsya, mengikuti keponakannya itu masuk ke dalam kamar.
“Lara pingsan, Daddy. Lara hamil ….”