Niko langsung mengangkat tubuh Lara ke dalam gendongannya. Lelaki itu langsung membaringkannya di area karpet yang areanya lebih luas.
“Marsya, buka semua jendela kamar.”
“I-iya, Dad.”
Marsya langsung bergerak melakukan perintah Niko. Sementara lelaki itu melakukan pemeriksaan.
“Lara ...,” panggil Niko setelah memastikan jalan napas dan denyut nadi Lara aman.
Tangan lelaki itu kemudian meraih ikat pinggang yang Lara kenakan dan melonggarkannya.
“Lara, wake up!”
Marsya tidak diam saja. Ia berinisiatif mengambil minyak aromaterapy roll dan mengoleskannya di bawah hidung Lara.
Tidak sekedar di area hidung, sekitar pelipis dan kepala juga ia berikan.
“Ra, bangun, Ra!”
Marsya sudah hampir menangis. Ia khawatir setengah mati. Ia guncang tubuh sahabatnya itu dan memaksanya untuk membuka mata.
“Ra, Please!”
Belum mendapati tanda-tanda sadarnya Lara, Niko berinisiatif membuka sweater yang Lara kenakan.
Satu demi satu kancing itu ia lepaskan, menampakkan kancing kemeja yang gadis itu kancing sampai bagian atas.
Jemari Niko kemudian bergerak ke sana, melepas bagian teratas, lalu bergerak ke bagian ke dua.
Dan ... ketika jemarinya hendak membuka ke bagian ketiga, tangan Lara yang lemah terangkat menggenggam tangan Niko.
Kepalanya langsung mengeleng lemah.
Suaranya melirih pelan. “Jangan ....”
Niko langsung terduduk di atas lantai. Membuang napas lega.
Sedangkan Marsya, gadis itu langsung merengkuh tubuh Lara dan memeluk sahabatnya tersebut.
“Lo bikin jantung gue mau copot tau nggak?”
“S-sorry, gue pusing.”
“Pindahkan dulu teman kamu ke tempat tidur, Marsya.”
Mendengar perintah dari Daddy-nya, Marsya lantas menarik tubuh dan menyingkir dari Lara.
“Dad, tolong pindahin.”
“E-nggak usah, Sya. G-gue bisa sendiri.”
Lara mencoba untuk bangkit, tapi kepalanya terasa masih berguncang.
Tanpa aba-aba, Niko langsung menyelipkan kedua tangannya di antara punggung dan paha Lara.
“D-dokter ...,” lirih Lara. “J-jangan ....”
Tapi ucapan gadis itu tidak dihiraukan, Niko tetap merengkuhnya dan membawanya ke atas tempat tidur Marsya.
Lelaki itu bahkan berbaik hati menyusunkan bantal untuk sandaran punggung Lara. Setelahnya, ia menyingkir dari sekitar gadis itu.
Marsya langsung mengambil segelas air yang ada di atas nakas dan memberikannya pada sahabatnya itu. “Minum dulu, Ra.”
Lara mengambil alih gelas yang ada di tangan Marsya dan meminumnya hingga setengah, lalu menyerahkannya lagi pada sahabatnya itu.
“Thanks, Sya.”
“Ra, lo nggak bisa nyimpen kehamilan lo ini. Bahaya. Harus ada yang ngawasin lo. Kondisi lo itu nggak stabil. Lo harus minta—”
“Gue bakal minta pertanggungjawaban Kak Rian, Sya.”
Lara berusaha mengalihkan pikiran Marsya. Bicara yang sebenarnya pasti akan mengacaukan segalanya.
Apa yang dia harapkan? Menghancurkan pernikahan adik dari wanita yang selama ini telah menolongnya?
Sintia pasti kecewa dengannya sebab ia bisa melihat bagaimana akrab tunangan lelaki itu dengan keluarga Marsya.
Sedangkan Niko sedari tadi menajamkan telinganya. Ia masih ingin memastikan sesuatu.
Ia ingin memastikan Lara memang pernah berhubungan selain dengan dirinya atau tidak.
Kalau tidak, kalau gadis itu memang mengandung, dan kalau terjadi hal yang tidak lurus di antara mereka, tentu ia tidak bisa diam saja.
Yang masih jadi pertanyaan, bagaimana bisa gadis itu berada di dalam apartemennya?
Apa ada hal lain yang tidak ia tau?
Sedangkan Marsya, mendengar nama lelaki yang sama sekali tidak pernah ia kenal membuatnya heran.
Sejak kapan Lara memiliki teman lelaki bernama Rian?
“Kak Rian?”
Ponsel Lara tiba-tiba berdering. Membuat atensi mereka bertiga teralihkan.
Setelah melihat siapa yang menghubunginya, Gadis itu langsung mengangkatnya.
“Ya, Dek?”
“Mba, ada yang cari-cari mba. Pulang, ya, Mba. Bagas takut.”
Perasaan Lara langsung tidak enak. Pasti terjadi sesuatu di rumahnya.
“Kenapa, Dek?”
“Pokoknya Mba Lara pulang dulu. Genting, Mba.”
“I-iya, mba pulang.”
Dengan sisa tenaga yang ia punya, Lara berusaha turun dari tempat tidur.
“Maaf, Sya. Gue harus pulang.”
Niko yang sadari tadi bersandar di dinding samping tempat tidur langsung menegakkan punggungnya.
“Saya antar.”
Lara tergeragap. Jelas tawaran itu langsung ia tolak. “Nggak, Om. Nggak usah. Makasih.”
“Daddy, biar Marsya aja yang anter.”
“Sekalian aja. Daddy juga ada perlu di luar.”
“Tante Marinka, Dad?”
“Dia nginep di sini. Ada yang harus diurus sama mama kamu.”
“Oke.”
Lara benar-benar terjepit. Ia tidak bisa menolak sebab Marsya bersikukuh ingin mengantarnya.
Akhirnya Lara dipapah oleh Marsya, tapi langkahnya selalu limbung.
Untuk itu tanpa kata Niko langsung mengambil inisiatif.
Lelaki itu langsung mengambil alih tubuh Lara dan menggendongnya.
“D-dokter ….”
“Dad … tante Marinka ….”
“Dia di taman belakang sama mama papa kamu.”
“Oh, oke.”
Walau Marsya tahu Marinka adalah sosok yang lembut dan baik hati, tapi wanita manapun pasti tidak akan rela jika melihat lelakinya menggendong perempuan lain.
Mau tidak mau akhirnya Lara berpegangan pada Leher Niko. Melingkarkan tangannya di sana. Kepalanya yang terasa berat ia paksa untuk tegak. Tapi ia kalah dengan rasa sakitnya saat tapa sadar membuatnya bersandar di d**a lelaki itu.
Akhirnya mereka bertiga berjalan menuju lantai bawah. Melangkah ke parkiran mobil.
Lara, gadis itu bahkan sampai bisa merasakan detak jantung Niko yang mengalun teratur. Juga napasnya yang begitu tenang. Tidak seperti dirinya yang merasakan organ dalamnya seperti berbenturan satu sama lain.
Terutama jantung dan paru-parunya. Ia yakin kedua organ itu saat ini tidak bekerja dengan baik.
Untung saja, untungnya tidak ada yang melihat mereka sampai masuk ke dalam mobil.
Niko mendudukkannya di kursi samping kemudi. Menyandarkan sandaran kursi.
“D-dokter. Saya bisa duduk di belakang aja. Saya—”
“Udah, lo disitu aja. Gue yang di belakang. Jangan bantah.”
Lara kembali diam. Saat itu Niko sudah duduk di sampingnya. Mengemudikan mobil keluar dari pekarangan rumah mewah itu.
“Alamatnya?”
Marsya yang menjawab. Gadis itu menunjukan arah rumah Lara.
Selama dalam perjalanan, Lara banyak diam. Ia memejamkan matanya sebab kepalanya benar-benar terasa masih pusing.
Diam-diam Niko memperhatikan gadis itu. Menatap bagaimana sahabat keponakannya itu tertidur dengan tenang.
Cantik. Perempuan itu terlihat polos dan murni. Kelebat malam itu seketika datang lagi, mengganggu pikirannya lagi.
Sungguh sial, padahal pernikahannya tidak lama lagi, tapi bisa-bisanya ia malah terus-terusan memikirkkan wanita yang duduk lemah di sebelahnya ini?
Tidak bisa. Sungguh tidak bisa. Ia harus memastikan semuanya dan membuat segalanya menjadi terang. Ia juga harus menanyai Roy tentang masalah ini.
Juga Marsya.
Ya, setelah ini ia harus mencari tahu sampai ke akarnya. Termasuk pria yang disebut bernama Rian tadi.
Tiga puluh menit kemudian, mereka sampai di sebuah rumah sederhana dengan pekarangan yang asri.
“Ra, udah sampai.”
Marsya menyentuh lengan Lara dari samping. Membangunkan sahabatnya itu.
Bulu mata lentik nan panjang itu perlahan bergerak, membawa kelopak matanya untuk terbuka.
Ia tersentak pelan, melihat ke sekitarnya.
“Maaf ….”
“Lo minta maaf terus, Ra. Sekali lagi minta maaf, lo dapet piring cantik!”
Lara mengulas senyum tipisnya, menatap lembut ke arah sahabatnya itu.
“Makasih ya.”
“Iya, sama-sama.”
Setelahnya, gadis itu menoleh kea rah Niko. “Makasih, Dokter.”
“Bentar-bentar, gue dari tadi heran, kok lo bisa tahu Daddy itu dokter? Emang gue pernah cerita. Eh, pernah ya. Iya-iya pernah.”
Lara menggeleng sambil tersenyum. Tidak heran. Marsya memang seperti itu. Ia kadang lupa apa saja yang pernah diceritakannya padanya.
“Ya udah, ayok, gue anter sampe dalem.”
“Nggak, Sya. Please. Jangan paksa gue sekali ini. ”
Marsya mendesah, ia pasrah walau dalam hatinya khawatir.
Lara terlihat cemas saat menerima telepon tadi.
“Ya udah, sana.”
“Iya. Makasih sekali lagi.”
Lara pun menarik handle pintu. Mendorongnya dan keluar dari mobil sport mewah tersebut.
Sekilas, Lara menatap Niko yang juga menatapnya. Kemudian memutusnya dengan menutup pintu mobil dan melangkah menuju rumahnya.
“Dad, jangan pergi dulu, ya. Marsya mau mastiin Lara aman.”
“Maksud kamu?”
Marsya pindah duduk ke tempat tadi Lara duduk.
“Ayahnya Lara itu suka gebukin Lara, Dad. Kalau dia minta uang nggak dapet, badan Lara dipukuli sampe biru-biru. Kadang sampe lecet.”
Niko diam. Tidak memberikan komentar apapun. Tapi ia cukup geram dengan cerita Marsya.
Dan apa yang dikhawatirkan Marsya benar terjadi. Terjadi sesuatu di dalam sana.
Dari dalam mobilnya, Marsya dan Niko bisa mendengar keributan dari itu.
Niko langsung menurunkan kaca mobilnya, ingin melihat dan mendengar lebih jelas.
“Makanya, bayar utang-utang bapak lo, b******k!”
Terlihat lara terpelanting sampai tersungkur di lantai. Ia diseret ke pekarangan rumah dan dihempaskan ke tanah.
Ada dua pria besar di sana. Yang satunya memegangi adik Lara yang mencoba untuk menolong kakaknya.
“Bapak lo itu udah jaminin lo ke Boss, kalau dia nggak bisa bayar, lo yang harus bayar!”
Kerah kemeja Lara kembali dicengkeram dan ditarik. Membuat gadis itu berdiri limbung.
“Dad!”
Melihat itu, Niko langsung keluar dari mobilnya. Melangkah menuju Lara dan meraih gadis itu.
“Sya ….”
Pria itu langsung memerintah Marsya untuk mengamankan Lara.
Marsya segera meraih Lara, menarik sahabatnya itu menjauh.
“Sya Daddy lo.”
“Tenang aja, Ra. Daddy jago bela diri.”
Perkelahian itu tidak terhindarkan.
“Eh, siapa lo ikut campur?!”
Tanpa kata, Niko langsung menghantamkan tangannya ke rahang pria yang ada di hadapannya itu.
Bug!
“Brengsk! Siapa lo?!”
Bug!
Tidak menjawab, Niko kembali memberikan kepalan tangannya lagi ke bagian perut.
Tidak terima temannya dihajar, pria yang tadi memegani adik Lara melangkah maju.
Satu tangannya mengacungkan senjatanya ke arah Niko.
“Jangan macam-macam, Bos! Kita ke sini cuma buat nagih utang!”
Rahang Niko mengeras, matanya memicing membaca situasi.
Dengan ketajaman penuh, saat lelaki di hadapannya itu lengah, tangan Niko langsung menarik tangan yang mengacungkan senjata padanya dan memitingnya.
“Arrghhh!”
Benda tajam itu seketika terjatuh, dan Niko memberikan tendangan yang begitu kuat di bagian perut lawannya menggunakan kakinya.
Tidak puas sampai di situ, Niko kembali memukul dua pria itu dengan tangan kosong secara bergantian dengan membabi buta.
“Ampun, Boss, Ampun! Kita berdua cuma disuruh nagih ke sini.”
Dua penagih hutang itu akhirnya kalah. Mereka berdua meminta pengampunan Niko.
“Berapa hutangnya?”
“300 juta udah sama bunganya, Bos!”
“Apa jaminannya?”
“Sertifikat rumah. Mereka udah 10 bulan nggak bayar. Kalau Bos mau nebus, kita langsung bawa jaminannya.”
Niko mengeraskan rahangnya. Meraih ponsel yang ia taruh di saku celanaya.
“Ke mana saya harus membayar?”
"Ke nomor rekening bos kami aja, Bos!"
Mendengar nominal yang disebutkan Lara merasa tidak terima. Ia langsung berlari ke arah Niko dan merentangkan tangannya di depan lelaki itu.
“Nggak. Jangan kasih mereka apapun, Dokter. Hutang kami nggak sebanyak itu. Mereka cuma pengen meras.”
“Eh, Nona! Keluargamu punya hutang sama rentenir, bukan ke bank. Walau pokok 50 juta, tapi ayahmu udah sepakat dengan angsuran sebesar itu.”
Lara menggeleng. Ia tidak mau bergeser dari tempat itu.
“Minggir.”
“Nggak, Dokter. Jangan. Saya nggak punya uang sebanyak itu untuk mengganti ke Dokter.”
“Minggir.”
Lara bersikeras. Kepalanya menggeleng teguh.
“Minggir Lara.”
Akhirnya Marsya yang membujuk Lara dan membuat gadis itu menyingkir dari hadapan Niko.
Transaksi pun terjadi. Niko membayar semua hutang-hutang keluarga Lara dan mendapatkan kembali sertifikat rumahnya.