Tiga Hari sejak kejadian itu berlalu.
Entah kenapa pikiran Niko tidak bisa tenang setiap memikirkan tentang Lara.
Seperti saat ini, ia banyak termenung di balkon kamar yang ada di kediaman orang tuanya.
Ia yang sangat jarang sekali bersantai kini membiarkan angin pagi yang sejuk itu menerpa wajahnya. Lelaki itu berharap, sentuhan tak kasat mata tersebut bisa membawa serta pikirannya yang semrawut.
Obrolannya bersama Marsya dua hari yang lalu memvalidasi ucapan Lara yang bersikukuh tidak menjual dirinya.
Menghela napas,
Niko mengusap wajahnya kasar. Ia kembali terbayang percakapannya dengan Marsya tentang Lara beberapa hari lalu.
“Daddy, utang Lara jangan ditagih sama dia, ya. Biar Marsya yang cicil ke Daddy.”
“Kenapa?”
“Lara itu udah susah banget, Dad. Dia juga tulang punggung keluarga. Buat hidupin keluarganya aja dia suka ngerjain tugas adek-adek kelas. Kadang kalau malem itu dia kerja paruh waktu di rumah makan pecel lele gitu. Pokoknya, sepulang sekolah, apapun yang bisa dia kerjain buat ngasilin uang, pasti dia bakal lakuin. Asal halal.
Dia anaknya juga pekerja keras. Dia nggak mau cuma-cuma gitu aja terima uang dari orang-orang yang mau bantu dia. Bukan karena dia sombong atau apa, dia orangnya nggak enakan, Dad. Gimana pun caranya, pasti dia cari cara buat bayar hutangnya.”
Niko mendengarkan informasi yang dikatakan oleh keponakannya dengan seksama dan mencermatinya. Ia masih memikirkan cara untuk membuat Marsya mengatakan semua tentang sahabatnya itu.
“Sesusah itu?”
“Iya, Dad. Mana ayahnya itu mata duitan. Mana pernah dia mikirin Lara. Mau anaknya itu banting tulang sampe pingsan, dia nggak akan peduli. Ayahnya suka ngerampas uang hasil kerja Lara buat main judi. Kalau nggak dikasih, ya udah, dia digebukin.
“Daddy tau nggak, udah dua minggu ini Lara aman karena ayahnya nggak pulang. Itu karena Marsya kasih uang ke dia gara-gara mau bawa Lara ke club sama temen-temen yang lain buat rayain kelulusan sekolah.
“Sepuluh juta loh, Dad. Biaya yang harus Marsya keluarin buat bawa Lara pergi. Ayahnya emang tega banget jual waktu anaknya. Mana ketiban sial lagi waktu di sana.”
“Kamu ngapain sampai club, hm? Apa pantas anak sekolah kelayapan di tempat seperti itu?”
Marsya meringis. Ia tahu Niko juga ketat akan peraturan. Lelaki itu juga protektif dengan dirinya. Anak perempuan baginya adalah perhiasan yang harus dijaga dengan hati-hati. Tapi, sayangnya ia sendiri sudah memiliki ceritanya sendiri dengan sahabat Daddynya ini.
Tanpa lelaki itu tahu tentu saja.
“Sesekali, Dad. Cuma bentar doank, kok. Daddy inget, ‘kan, waktu Marsya telepon bilang mau make apartemen?”
Niko mengingat-ingat. Ia bahkan lupa bagian itu. Pikirannya saat itu tidak terkendali. Pasca Marsya meneleponnya, tidak lama berselang hal tidak terduga itu terjadi.
Ia bahkan masih mencaritahu siapa yang menjebaknya malam itu. Orang itu sangat licin dan mengerjakan pekerjaannya dengan rapi.
“Ya.”
“Nah, pas itu acaranya. Pas itu juga Marsya bawa Lara ke apartemen Daddy. Ya, itu tadi, Dad, yang Marsya bilang Marsya ketiban sial. Udah bela-belain keluar uang buat Lara keluar, pas acara malah Laranya ketimpa kejadian itu.”
“Kejadian apa?”
Niko jelas menajamkan telinga. Ia perlu mendengar bagian yang dianggapnya crusial.
Sebab, waktunya terjadi bersamaan. Dari sana ia mulai bisa merangkai puzzle yang masih acak.
“Dia itu kayak dijebak. Dia dikasih minuman kayak perangsang gitu, Dad. Ada yang niat jahat sama dia. Makanya Marsya bawa Lara ke apartemen Daddy terus make kamar Daddy.
“Marsya lupa izin ke Daddy, soalnya kan Daddy juga nggak bakal pulang ke sana malem itu. Marsya juga lupa bilang kalo AC kamar Marsya rusak ke Daddy.”
Niko semakin terdiam. Sesuatu yang tadinya samar kini terlihat makin jelas.
“Lanjutkan, Marsya.”
“Iya, Dad. Tapi, Marsya salah waktu itu, Marsya malah tinggalin dia sendirian di sana. Marsya ada urusan sebentar, eh balik-balik Marsya udah nggak bisa masuk karena lupa nggak bawa kartu akses. Marsya coba telepon Lara nggak diangkat, coba telepon Daddy juga nggak diangkat-angkat
“Untung besoknya nggak apa-apa. Lara sembuh sendiri gitu. Padahal Marsya udah takut setengah mati dia kenapa-kenapa. Syukurlah paginya dia aman, Dad.”
Terjawab sudah. Kini Niko tahu kenapa Lara bisa ada di kamarnya.
Perempuan itu juga dalam pengaruh obat. Kesialan yang sama-sama menimpa mereka menjadi petaka yang tidak bisa ia lupakan.
Niko menghela napasnya ketika mengingat semua fakta itu. Semua terjadi karena kesalah pahaman.
Tapi, ia juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan sebab—
“Arrghhh!”
Niko menggeram, ia memijat pelipisnya sendiri. Ia berusaha membela diri, sebab kejadian itu memang terjadi di luar prediksi.
Tapi walau begitu, hal tersebut tidak membuatnya berpuas hati. Pikirannya semakin tidak tenang.
Sungguh sial. Kini Lara bahkan mendominasi sebagian besar pikirannya.
Bagaimana kalau wanita itu benar-benar mengandung anaknya?
Tapi … kenapa gadis itu menyangkalnya?
Perihal lelaki bernama Rian atau siapapun yang sedang dekat dengan perempuan itu, ia jelas harus mencari tahunya.
Masih betah sendirian berada di sana, sebuah tangan lembut yang mencengkeram pelan pundaknya mengalihkan atensinya.
“Nak ….”
Niko menoleh. Lamunannya tentang Lara sirna bersamaan dengan suasa ibunya yang terdengar.
“Mama?”
Wanita paruh baya itu duduk di sebelah Niko, membawa tangan putranya ke dalam genggamannya.
“Mama lihat akhir-akhir ini sepertinya kamu banyak pikiran, kenapa?”
Niko menghela napas berat. Haruskah ia menceritakan ini pada ibunya?
Bagaimanapun ibunya adalah seseorang yang bijak yang bisa menunjukan arah padanya.
“Kamu juga masih hutang penjelasan lho ke Mama. Siapa gadis muda yang kamu peluk pas di rumah sakit waktu itu?”
Tapi, Niko masih enggan bercerita. Ia masih harus menyimpan semuanya.
Merasa tidak bisa mendiamkannya lebih lama, lelaki itu kemudian berpamitan pada sang ibu dan beranjak dari kursinya.
**
Rumah Lara
“Jangan, Yah! Jangan ambil sertifikatnya! Lara harus kasih ke Omnya Marsya buat jaminan. Kita harus cicil hutang-hutang kita ke dia, baru sertifikat ini boleh diambil lagi!”
“Arrgghh! Banyak certia kamu, Lara! Dasar anak nggak tahu diuntung! Kamu tega biarin yah dikejar-kejar sama orang?”
Di pekarangan belakang rumahnya, Lara mengejar sang ayah yang mengendap-endap akan membawa pergi surat-surat rumahnya. Lelaki itu tahu sertifikat tersebut ditebus dari adiknya yang melihat kejadian itu.
“Tapi, nggak gini caranya, Yah! Nggak dengan buka hutang baru, Ayah bayar hutang, Yah! Kalau begini terus kapan selesainya?! Lara capek, Yah. Lara capek!”
Dengan segala cara, Lara meraih surat itu dan akhirnya berhasil.
“Ayah nggak boleh gadai-in lagi surat ini. Nggak boleh, Yah!”
Lara memutar tumitnya, hendak melangkah pergi, tapi belum sempat kakinya bergerak lebih jauh, sang ayah sudah menarik rambutnya dan mencengkeramnya dengan kuat.
“Brengsk! Anak durhaka lo, ya!”
Lara langsung ditampar dengan kuat. Tubuhnya yang lemas karena dari pagi sudah memuntahkan semua isi perutnya langsung tersungkur.
Tapi, ia tidak menyerah begitu saja. Surat itu ia peluk kuat-kuat agar sang ayah tidak bisa mengambilnya.
“Nggak, Yah!”
“Kasih!”
Plak!
Kembali wajah gadis cantik itu dihantam. Sudut bibirnya sampai mengeluarkan darah.
“Anak sialan! Nantangin gue lo, hah?!”
Geram, lelaki bertato itu mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memukuli Lara.
Dapat.
Ia meraih kayu panjang yang ada disekitarnya dan memukuli tubuh Lara dengan membabi buta.
Tubuhnya bahkan ditendangi berkali-kali.
“Ayah ….”
“Anak nggak tahu diuntung, anak nggak tahu diri! Anak nggak berguna lo! Mati aja, mati!”
Hingga tidak tahan lagi, Lara akhirnya mengendurkan pelukannya, membiarkan surat berharga itu diambil darinya.
“Buang-buang waktu gue aja lo! Anak s i al!”
Pria setengah baya itu kemudian membuang kayu itu di samping tubuh Lara, melangkah pergi meninggalkan anaknya tersebut begitu saja.
Masih dalam posisi yang meringkuk sambil memeluk tubuh, air mata Lara mengalir tanpa aba-aba.
Matanya menatap kosong tanah yang jadi alas tidurnya.
Hancur, remuk, itu yang ia rasakan pada hatinya saat ini.
“Ibu ….”
Tangisan itu terasa hampa, makin mengalir deras tanpa suara.
“Lara capek ….”
Langit yang sedari tadi mendung akhirnya menjatuhkan permatanya. Seolah tahu apa yang dirasakan Lara, alam pun menemaninya di sana.
Matanya sesaat terpejam, membayangkan semua kemalangan hidupnya. Juga ibunya yang terbujur lemah di atas tempat tidur.
Tidak bisa, ia tidak bisa masuk ke dalam rumah dalam keadaan yang seperti ini.
Berusaha membawa tubuhnya yang terasa remuk, Lara berusaha bangkit. Ia berdiri dan mulai melangkah pergi.
Kaki tanpa alas itu melewati samping rumah, bergerak tanpa arah keluar dari pekarangan rumah.
Derasnya hujan tidak ia hiraukan.
Perihnya bekas pukulan yang bersentuhan dengan air sudah tidak dapat lagi ia rasakan.
Gamang.
Ia benar-benar berada di persimpangan hidupnya.
Ia hanya terus melangkah dan melangkah, tanpa tahu mau ke mana.
Di jembatan sungai besar yang mengalir deras itu akhirnya ia berhenti. Tertunduk sambil menangis di sana.
“Ibu ….”
Kini ia mulai terisak-isak, meluapkan segala kepedihannya.
Kelebat semua kejadian menyesakkan hidupnya seperti kaset yang diputar ulang.
Kenapa, kenapa Tuhan tidak pernah berpihak padanya?
Kenapa ia ditimpa dengan sedemikian hebatnya?
“Ibu ….”
Berat, semuanya terasa berat. Ia rasanya tidak sanggup lagi.
Entah apa yang dia pikirkan, mungkin menghilang dari bumi ini akan lebih baik.
Mati.
Ya, mungkin dengan mati ia baru ada gunanya.
Benar kata ayahnya, ia harus mati.
Berusaha meninggalkan semua beban hidupnya, kaki gadis itu mulai menaiki pembatas besi. Tangannya berpegangan erat pada tiang-tiang kokoh itu. Sampai akhirnya kedua kakinya berhasil menapak pada bagian teratas pembatas sungai besar tersebut.
Gadis itu berdiri gamang di sana, memperhatikan aliran air yang mengalir begitu deras.
Ia hanya butuh sekali tindakan saja. Ia hanya harus melompat ke dalam sana, maka semua masalahnya akan selesai.
“Datang padaku, aku akan memeluk tubuhmu dan menyimpannya bersamaku.”
Sungai itu seolah berbisik. Mengundangnya untuk datang. Setan-setan di sekitarnya mulai bekerja.
“Kemarilah, datang padaku.”
Lara menarik napas dalam-dalam, mengembuskan napasnya perlahan.
“Ibu … maafin Lara … maafin Lara.”
Satu kakinya sudah ia biarkan menggantung. Ia mulai melepaskan pegangan tangannya. Sedikit lagi.
Hanya sedikit lagi maka semua bebannya akan hilang. Ia tidak perlu menderita lagi.
Detik demi detik berlalu, hingga ia melepaskan semuanya, membiarkan tangannya meninggalkan pegangannya.
Tubuhnya mulai melayang, tapi pada detik terakhir hal tidak terduga terjadi, lengannya terasa ditarik kuat, disentak ke arah lain.
Bukan jatuh ke arah sungai, tapi ke pelukan pria kokoh yang merengkuh tubuhnya penuh perlindungan.
Deg!
Deg!
Deg!
Mata yang tadi terpejam, terbuka perlahan, menampilkan sosok tampan yang jelas ia kenal.
Dengan bibir gemetar, gadis itu menyebutkan satu nama. “N-Niko ….”