Lemah.
Lara terkulai lemah dalam pelukan lelaki itu.
Lelaki yang bertanggungjawab atas benih yang ia kandung saat ini.
Mengandung?
Benarkah?
Benarkah itu?
Tangan Lara yang terkulai lemah itu masih sanggup terangkat. Ia meraba perutnya yang masih rata.
Kepalanya menggeleng menatap Niko dengan Nanar.
Seolah memberitahu lelaki itu bahwa semua yang ia dengar dari Marsya itu tidak benar.
Ia menyangkalnya, masih menyangkalnya.
Mata itu, mata tajam yang saat ini terlihat teduh itu entah bagaimana memandangnya.
Pria itu pasti menganggapnya sebagai gadis bodoh yang lemah. Yang mudah menyerah pada keadaan dan memilih jalan yang tidak seharusnya.
“Apa yang kamu lakukan, Lara?” batin Niko.
Rahang pria itu terlihat mengeras.
Matanya semakin memaku menatapnya. Ada luapan emosi tertahan yang tidak bisa diungkapkan atas tindakan ceroboh gadis dalam pelukannya itu.
“Aku ….”
Suara Lara terdengar sangat lemah.
Matanya mulai menutup, Niko bisa merasakan tubuh itu mulai lunglai di tangannya.
Perempuan itu kehilangan kesadarannya.
“Lara!”
Pingsan. Untuk yang kedua kalinya gadis itu hilang kesadaran.
Tanpa pikir panjang Niko langsung membawa tubuh Lara ke dalam mobil dan merebahkannya di dalam sana.
Ia langsung berlari mengitari setengah badan kendaraan mewah tersebut dan duduk belakang kemudi.
“Ibu ….”
Bibir gadis itu masih bergerak. Ia memanggil nama ibunya.
“Maafin Lara ibu ….”
Entah bagaimana ia ikut merasakan sakit. Matanya memindai cepat, ia bisa melihat bagian-bagian tubuh gadis itu yang terluka.
Seberat apa sebenarnya hidup yang dijalani perempuan ini?
“Maafin Lara ibu ….”
Tenggorokan Niko terasa tercekat mendengar bagaimana gadis itu memanggil-manggil nama ibunya.
Bukankah ibu perempuan itu sedang sakit keras?
Oh, memang malang nasibnya.
Dan kini, ia harus menanggung beban mengandung janin di usianya yang masih sangat muda.
Memikirkan itu membuat Niko geram sendiri. Ia ingin mencari tahu semua, mengupasnya hingga tuntas.
Bukan ke rumah sakit Lara Niko bawa, tapi ke apartemen pribadinya.
Ia yakin gadis ini masih bisa ia tangani. Ia yakin tangannya masih bisa mengobati.
Setelah dua puluh menit perjalanan, Niko memarkirkan mobilnya di basement tempat biasa ia memarkirkan mobilnya. Ia memiliki tempat khusus di sana.
Setelahnya buru-buru ia keluar dan mengeluarkan tubuh Lara di sana.
Melalui lift yang langsung terhubung dengan unitnya lelaki tersebut menuju lantai teratas gedung.
Ya, di sanalah tempatnya berada, di area yang paling mewah.
Setelah sampai, lelaki itu langsung menuju kamarnya dan merebahkan Lara di atas tempat tidur.
Tangannya dengan cekatan membuka seluruh pakaian Lara dari rok, kaos, dan pakaian dalam yang gadis itu kenakan.
Pakaian yang basah itu lalu ia singkirkan ke keranjang. Ia menuju lemari mengambil dua handuk yang ia gunakan sebagai penutup sementara dan yang satu lagi ia gunakan sebagai wash lap.
Sebelum melakukan pekerjaannya, secara singkat ia juga mengganti pakaiannya yang sudah basah lalu menyiapkan air hangat untuk Lara.
Niko lantas memindahkan tubuh Lara ke bagian kasur yang kering, kemudian menarik kursi dan duduk di samping ranjang.
Pelan tapi pasti, lelaki itu membersihkan seluruh tubuh Lara, melakukan seperti seorang suami yang sedang mengurus istrinya.
Si a l!
Bahkan melihat gadis itu dalam keadaan polos tidak berdaya seperti ini memuat sesuatu dalam dirinya bekerja.
Dia memang brengsk. Ia memang laki-laki brengsk yang menyukai keindahan.
Lara indah.
Ya, ia akui perempuan ini memang indah.
Bayangan itu mulai datang lagi. Mendesaknya lagi.
Bahkan saat bersama Marinka ia tidak pernah bertindak sejauh ini.
Ia sampai harus mengeraskan rahangnya saat membersihkan bagian yang tidak seharusnya, mengerengkannya dengan hati-hati.
“Damn you, Lara.”
Ia mengumpat, bukan karena marah terhadap Lara, tapi karena pesona gadis itu.
Bahkan saat tubuhnya yang penuh luka terbaring pasrah seperti itu, membuat gejolak dalam dirinya bangkit.
Apa dia memiliki kelainan?
Apa ia memiliki f e t i sh aneh hingga menyukai tidak keberdayaan?
Tidak, ia pria normal.
Ia pria yang sangat normal.
Usai menyelesaikan pekerjaannya, Niko lalu memakaikan pakaiannya,
Kemeja miliknya adalah salah satu opsi.
Ia tidak memiliki pakaian yang pas yang bisa Lara pakai.
Hanya itu, tidak ada yang lain.
B r a, pa n ties?
Jangan harap ada di tempatnya.
Ini bukan apartemen yang biasa dikunjungi Marsya, tapi tempat lain yang juga ia miliki.
Setelahnya, ia mengambil salep dan mengoleskannya pada bagian-bagian tubuh Lara yang memar.
Melihat pemandangan itu entah bagaimana Niko sangat marah. Ia ingin memberi pelajaran pada siapapun yang telah melakukan ini pada gadis malang itu.
“Ibu ….”
Gadis itu mulai bergumam lagi.
Niko berinisiatif menyentuh leher gadis itu dan memeriksa suhunya.
Panas, gadis itu demam tinggi.
Langkah pertama ia menyiapkan kompres, setelahnya meletakkan kain yang lembab itu di atas permukaan kening Lara.
Ia bahkan mempersiapkan infus set untuk memasukkan cairan ke tubuh perempuan itu agar panasnya mereda.
Alasan lain pemasangan, gadis itu juga tampak dehidrasi dan kekurangan cairan.
Entah kenapa ia memperlakukan Lara seperti itu,
Entah karena ada dorongan kemanusiaan, atau hal lainnya.
Ya, ia yakin melakukan tindakan sejauh ini karena rasa empatinya sebagai manusia.
Tapi …
Tapi kenapa ada rasa cemas yang menyertainya?
Ada perasaan gelisah yang tidak bisa ia gambarkan melihat kondisi perempuan ini.
Pikiran Niko seketika buyar saat ponsel yang ia simpan di atas nakas berdering.
Gegas ia menyambar benda itu dan keluar dari kamarnya setelah menyelimuti seluruh tubuh Lara dengan selimut.
“Ya?”
“Mas? Kamu di mana? Aku mau tunjukin kamu sesuatu deh. Ada yang harus kamu.”
“Apa, Rin?”
Itu adalah tunangan Niko.
“Adalah, nanti aku tunjukin pas ketemu. Sekarang kasih tahu aku, kamu lagi di mana?”
Sesaat Niko terdiam. Ia tidak menjawab Marsya. Kepalanya sedang berpikir.
“Mas …?”
“Besok aja, Rin. Mas masih sibuk.”
“Oh. Oke. Ya udah, aku tutup teleponnya, nanti aku telepon kamu lagi, ya, Sayang.”
“Oke.”
Sambungan telepon terputus, Niko meletakkan benda pipih tersebut di atas meja sofa.
Pikirannya benar-benar kacau sekarang.
Ia kembali memikirkan Lara.
Langkah apa yang harus ia lakukan jika gadis itu benar-benar mengandung anaknya?
Tidak mendapatkan jawaban, laki-laki itu membuang napasnya kasar dan bergerak menuju dapur untuk menyiapkan sesuatu.
Ia harus bicara dengan Lara.
Harus benar-benar membahasnya dengan gadis itu.
Tapi sebelum itu, sahabat keponakannya tersebut harus memiliki tenaga.
Dan ia menyiapkan sesuatu yang bisa menunjang kesehatannya.
Hampir satu jam lebih Niko berkutat di dapurnya. Sebelum akhirnya ia mendengar sesuatu yang membentur lantai dari dalam kamarnya.
“Lara ….”
Lelaki itu langsung melangkah pergi, berlari menuju kamarnya.
Sesampainya di sana, bisa ia lihat gadis itu sedang terduduk lemas di atas lantai kamar mandi, menangkup closet sambil memukuli bagian perutnya.
“Pergi … keluar dari sana!”