Bab 10

1196 Kata
“What the hell are you doing?” Niko langsung menahan tangan Lara yang terus memukuli perutnya. “Minggir, Dokter! Minggir! Anak ini harusnya nggak ada, anak ini harusnya nggak ada!” Lara memberontak, ia terus berusaha memukul perutnya walau Niko menghalanginya. “Stop it, Lara! Why are you doing that?!” “Karena nggak seharusnya dia ada di dalam perut aku, Dokter!” “Dia bahkan nggak bersalah sama kamu!” “I know it! It’s my fault! Just blame me! Aku emang nggak pernah bener di mata semua orang! Aku emang selalu salah!” “I didn’t mean it that way, Lara!” geram Niko akhirnya sambil mencengkeram tangan Lara kuat-kuat. Ia tatap mata putus asa itu kemudian menangkup wajah pucat tersebut dengan kedua tangannya. “Listen, I’m so sorry, hm?” Lara kemudian terdiam. Gadis itu seketika bungkam. Matanya menatap mata Niko dengan tatapan yang sulit terbaca. Tapi … Niko bisa melihat, air mata itu meleleh tanpa suara. Diam untuk beberapa Lama, jemari Niko bergerak mengusap buliran air mata itu, kemudian mengangkat tubuh gadis tersebut ke dalam gendongannya. Tangan Lara begitu saja melingkar di lehernya, berpegangan di sana. Kaki Niko melangkah keluar dari kamar mandi, bergerak menuju tempat tidur. Samar lelaki itu bisa mendengar Lara mengucapkan sesuatu. “You are mean to me ....” Jantung Niko memukul keras dari dalam. Kalimat itu seperti sindiran keras untuknya. Tapi, bukankah ia pantas mendapatkan ucapan itu? Hati-hati kemudian lelaki itu mendudukkan Lara di atas tempat tidur, menumpuk beberapa bantal untuk sandaran punggung wanita itu. Tidak lupa selimut ia tarik sampai batas paha tuk menutupi setengah tubuh perempuan tersebut. Setelahnya, ia duduk di kursi yang tadi ia taruh di samping ranjang. Kepalanya menunduk sebentar. Setelah perasaannya lebih baik, ia menatap lurus ke arah Lara yang menatap kosong ke depan. “Kita perlu bicara Lara ….” “Kenapa dokter menyelamatkan saya?” Begitu saja kalimat itu meluncur dari bibir pucat Lara. “Bunuh diri bukan solusi.” “Saya tidak pernah mendiskusikan hidup dan mati saya dengan dokter. Saya bahkan tidak peduli.” Perkataan Lara bukan seperti perkataan gadis seusianya. Tapi lebih pada perkataan seseorang yang putus asa dengan hidupnya. “Saya peduli ….” Lara kemudian menoleh, membawa matanya menatap mata lelaki itu. “Untuk apa? Karena dokter sudah meniduri saya?” Niko seperti ditampar oleh tangan yang sangat besar. Terlebih saat melihat satu sudut bibir itu tersungging ke atas, membentuk senyuman sinis. Perasannya langsung tidak karu-karuan. “Tidak perlu merasa bersalah, Dokter. Bukankah malam itu saya tidak menolak? Kita bahkan mengulanginya sampai tiga kali.” D a da Niko kian bergemuruh mendengar ucapan sarkas Lara. Wanita ini … entah bagaimana terlihat lemah di satu sisi, tapi di sisi yang lain terlihat sangat tidak peduli dengan apa yang terjadi. Bahkan ia seolah tidak memiliki beban apapun. Apa dia sedang mencoba menyembunyikan sisi tidak berdayanya? “Apa kamu tidak akan menuntut pertanggungjawaban saya?” “Untuk?” “Anak yang kamu kandung.” Lara menelan ludahnya susah payah. Jantungnya terasa diremas dari dalam. Bayangan wajah Marinkan langsung berkelebat di kepalanya. Juga wajah keluarga Marsya yang sudah baik padanya. Mana tega ia merusak hubungan orang yang terlihat utuh dan bahagia. Jika harus hancur, maka biarkanlah ia hancur sendirian. Ia tidak akan melibatkan orang lain untuk urusan hidupnya. “Nggak ….” Lara menjeda kalimatnya. Matanya melihat keteguhan di mata Niko. “Dokter Niko bukan satu-satunya laki-laki yang menyentuh saya.” Hening. Sesaat keheningan berkabut di antara mereka berdua. Tidak ada yang berbicara sama sekali. “Dan bayi ini … adalah milik pacar saya.” Entah kenapa Niko merasakan dadanya seperti ditusuk oleh besi panas. Ucapan gadis ini, seperti membawa angin segar sekaligus lava api secara bersamaan. “Bukankah dokter akan menikah?" ucap gadis itu lagi. "Jadi, dokter fokus saja pada pernikahan dokter. Saya … tidak akan menuntut apapun. Kita sama-sama disembuhkan malam itu.” Niko lagi-lagi tidak langsung menjawab. Seolah sedang mencari kebenaran dalam ucapan Lara. “Kamu yakin?” Anggukan pelan Lara berikan. Walau dalam hatinya, entah kenapa ingin menangis sangat keras. Melihat wajah itu, entah kenapa membuat Lara sakit. Ada sesuatu dalam dirinya yang menyeru untuknya bersandar, tapi siapa dirinya berani selancang itu? Mungkinkah, mungkinkah janin di dalam perutnya yang memintanya? Jiwanya yang mungkin baru ditiupkan terhubung pada pemiliknya. Ya, setiaknya … mungkin ia ingin ayahnya memberikan sentuhan ke perut ibunya agar dia bisa merasakah kasih sayangnya. Ya, mungkin saja. Tapi tidak. Ia tidak mungkin melahirkan bayi ini. Ibunya pasti sangat terluka, ibunya bisa sangat kecewa. Kalau dia memiliki anak, siapa yang akan mencari nafkah? Siapa yang akan menghidupi keluarganya? Hidupnya akan makin rumit. Belum lagi nasib anaknya yang pasti juga akan ikut menderita. Tidak, ia tidak akan membiarkan itu terjadi. Karena kelak, ia ingin memiliki anak yang bahagia. Yang tidak kekurangan kasih sayang ayah dan ibunya. Yang hidupnya tidak serba kekurangan seperti dirinya saat ini. “Jawab saya, Lara.” Ucapan Niko membangunkan lamunannya. “Tentu saja saya yakin, kenapa tidak?” “Lalu, kenapa kamu ingin bayi itu pergi?” Lara menunduk sebentar, bibirnya mengulas senyum tipis. Tapi kemudian perempuan itu kembali mendongak menatap Niko dan memberikan jawaban yang tidak terduga. “Karena ayah bayi ini juga akan menjadi suami dari perempuan lain, Dokter. Malang benar saya. Untuk itu, bolehkah saya frustasi?” Rahang Niko langsung mengeras saat itu juga. Satu tangannya terjulur begitu saja mencengkeram rahang Lara, membuat tubuhnya condong ke arah gadis itu. “Jangan mempermainkan saya, Gadis ingunsan!” geram Niko. Ia yakin yang keluar dari mulut gadis itu adalah kalimat sindiran. “Kamu pikir ini masalah sederhana, hm? Kalau memang ya, anggap saja hutang yang saya bayarkan untuk menebus rumah kamu saat itu adalah kompensasi buat kamu. Habis perkara.” Luka yang sudah berlumur darah itu kini seolah disiram oleh cairan asam. Terasa semakin menyakitkan. Ludah itu Lara teguk dengan susah payah. Lehernya seperti dicekik oleh tangan-tangan raksasa hingga membuatnya kesulitan bernapas. Merasa sangat tersinggung, gadis itu lantas menyibak selimut kemudian turun dari ranjang tepat di sebelah Niko. Ia hendak melangkah pergi dari kamar itu, tapi tubuhnya yang lemah langsung limbung saat Niko menyentak lengannya dan membuat mereka saling menempel akibat berbenturan keras. “Tersinggung, hm?” Niko mencoba memancing sisi lain dari Lara. Bukankah perempuan akan cenderung jujur jika dia berada dalam posisi terdesak. Ia akan mengatakan apapun yang ada di kepalanya. “Saya hanya ingin berusaha berbuat baik karena sudah mendapatkan barang bagus. Selaput dara kamu ….” PLAK! Tangan Lara begitu saja langsung melayang ke pipi Niko. Begitu keras sampai wajah lelaki itu terlempar ke samping. “Saya tahu saya orang miskin dokter. Tapi jangan coba merendahkan harga diri saya!” “Harga diri? Wanita terhormat mana yang tidur dengan dua laki-laki sekaligus dalam waktu yang berdekatan? Hilang perawan, lantas kamu berjualan, begitu? Untuk apa? Untuk makan keluarga kamu?” PLAK! Air mata Lara menetes begitu saja. Matanya benar-benar memerah, ia menatap Niko penuh amarah. Tanpa kata, ia berbalik, hendak melangkah pergi. Tapi baru satu langkah kakinya berayun, lengannya kembali disentak. Sepersekian detik mata mereka saling bertatapan, sebelum kemudian Niko menunduk, melumat bibir kering nan hangat itu. Deg! Deg! Deg! Sialnya … hati Niko telah berkhianat, ia kembali merasakan getar aneh dalam dadanya karena gadis itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN