“Hah… aku jadi lelaki gagal lagi, untuk kedua kalinya. Rhea tetap memilih untuk sendiri meski Devan sudah tiada. Apa aku memang buruk sebagai lelaki?” Kata-kata itu berulang kali terucap dari bibir Arvin. Ia menatap cermin di kamarnya, menatap bayangan wajahnya yang kusut, suram, dan tanpa semangat. Matanya sembab karena terlalu sering betgadang, pikirannya tak pernah benar-benar tenang sejak hari itu. Arvin merasa kalah, bukan hanya karena cintanya ditolak, tetapi karena ia sadar bahwa hatinya tidak pernah mampu menggantikan posisi Devan di hati Rhea. Penolakan itu menghantam harga dirinya begitu keras, membuatnya mempertanyakan nilai dan keberadaannya sebagai seorang lelaki. Sejak saat itu, Arvin enggan lagi untuk mengejar Rhea. Ia sudah melihat jelas betapa kuatnya cinta wanita itu k

