Rhea duduk di tepi ranjang, kamar apartemennya hanya diterangi cahaya lampu meja yang redup. Ponsel masih dalam genggaman, layar hitam tanpa notifikasi, tapi pikirannya terus berputar. Nama Devan menempel erat di benaknya. Ia benci, marah, dan terluka, tapi tubuhnya bergetar setiap kali mengingat malam terakhir mereka bersama. Ingatan itu menyeruak jelas—sentuhan Devan, tatapan matanya yang begitu intens, dan bagaimana mereka larut dalam pelukan panas. Seolah saat itu tak ada kebohongan, hanya cinta yang meledak tanpa kendali. Rhea memeluk dirinya sendiri, merasa dadanya berdebar hebat. “Kenapa aku harus ingat semua ini sekarang?” gumamnya lirih, air mata kembali menggenang. Namun sesaat kemudian pikirannya dihantui ketakutan. Ia teringat bagaimana tubuhnya begitu dekat dengan Devan, tan

