Rhea tertegun, napasnya terhambat sejenak. Matanya membulat, memandangi jarum jam yang beranjak ke malam. “Ya Tuhan…aku ketiduran?” gumamnya pelan. Ia menunduk, menepuk pelan pipinya, mencoba menyadarkan diri dari rasa lelah dan kantuk yang masih menggantung. Niat awalnya hanya ingin rebahan sebentar, ternyata berubah jadi tidur panjang. Dari celah pintu, terdengar samar suara ibunya dan… suara yang amat dia kenali—Devan. Jantungnya sontak berdegup lebih cepat. “Kenapa dia di sini?” bisiknya panik. Ia segera merapikan rambut dan wajahnya seadanya, walau hatinya masih menyimpan luka yang belum sempat terucap. Dengan langkah pelan, ia pun mendekat ke pintu, ragu untuk keluar atau tidak. Langkah kaki Rhea terhenti seketika saat mendengar namanya dipanggil. Suara Devan terdengar lembut,