Rhea menunduk, jemarinya memainkan sendok di atas piring kosong seolah masih ada makanan di sana. “Sayang, kamu jangan sedih seperti ibu ya…,” lirihnya sambil kembali mengusap perutnya dengan penuh kasih. Air matanya jatuh pelan, membasahi pipinya yang pucat. Meski sudah beberapa hari berada di rumah Asti, bayangan wajah Devan tetap melekat jelas dalam benaknya. Senyumnya, suaranya, bahkan caranya menatapnya, semua itu terus menghantui, membuat rindu kian mencekik. Asti yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan, hatinya ikut teriris. Ia bisa merasakan betapa dalam luka putrinya itu. Tak ingin membiarkan Rhea terlalu lama terperangkap dalam kesedihan, Asti melangkah mendekat lalu duduk di sampingnya. Ia berusaha menampilkan senyum meski matanya menyimpan duka. “Rhea, bagaimana kandu

