Selama beberapa hari terakhir, rumah Rhea dipenuhi aura duka yang pekat. Asti selalu berada di sisinya, menemani putrinya yang masih terpuruk dalam kehilangan. Hampir setiap sudut rumah itu menyimpan kenangan Devan, dari foto di ruang tamu, baju yang masih tergantung di lemari, hingga secangkir mug favoritnya di dapur. Setiap kali Rhea melihatnya, air matanya tumpah, sesak di dadanya seakan tak pernah reda. Beberapa kali bahkan ia kembali pingsan, membuat Asti semakin cemas.
Pagi itu, mereka duduk bersama di meja makan. Aroma sederhana masakan Asti memenuhi ruangan, tapi selera makan Rhea hampir tidak ada. Ia hanya menelan beberapa sendok, lebih karena permintaan ibunya. Asti menatap putrinya lama, lalu akhirnya membuka suara.
“Nak, bagaimana kalau sementara waktu kamu tinggal dengan Ibu
