15. Harus Ada Yang Tersingkir

1014 Kata
Entah sudah berapa jam waktu yang Bella habiskan dengan menopang dagu di perpustakaan kampusnya? Baginya tempat ini seperti tempat pelarian agar teman-temannya tidak curiga bahwa saat ini dirinya sedang memiliki masalah. Bella sudah memutuskan untuk tidak memberitahukan siapa pun tentang perselingkuhan yang dilakukan oleh Stevan. Dirinya akan mencari jalan keluar sendiri untuk masalah ini. Bella sudah bertekad, ‘Kalau memang ada yang harus tersingkir, maka orang itu bukanlah dirinya’. Dan saat ini Bella sedang memikirkan cara untuk membuat wanita itu sadar bahwa Stevan adalah miliknya. Bella adalah istri yang sah didalam hubungan ini, terlepas dari stevan mencintainya atau tidak. Bella sudah berencana untuk membatasi ruang gerak Stevan setelah suaminya itu pulang nanti, dan Lily? Dia sudah memiliki rencana lain untuk wanita itu. Saat ini yang menjadi fokusnya adalah membuat Stevan berpaling padanya. Awalnya Bella ingin sekali mengikuti egonya untuk menghubungi Stevan dan menumpahkan kekesalannya atas kebohongan yang Stevan lakukan, tapi Bella sadar cara itu hanya akan membuat Stevan semakin menjauhinya dan memberikan kesempatan yang lebih besar untuk perempuan itu. Yang perlu Bella lakukan saat ini hanyalah bersikap tenang dan berpura-pura bahwa dirinya tak mengetahui apapun di depan Stevan. Dia akan menuntaskan ini dengan caranya sendiri. "Akan kubuktikan pada kalian, bahwa kalian berhadapan dengan orang yang salah. Dan kau Lily. Aku akan membuatmu sadar akan kedudukan mu yang sebenarnya," batin Bella. "Kau sedang membaca buku apa?" Suara seorang pria sontak membuat Bella tersadar dari lamunannya. Bella pun mendongakkan kepalanya untuk melihat pemilik suara itu. Pria itu tersenyum tipis ke arah Bella. "Ah ini? Sepertinya buku akutansi," jawab Bella sambil menutup bukunya karena yang dari tadi dia lakukan hanyalah membolak balik halaman buku itu agar orang lain tak mencurigai maksud keberadaannya di tempat ini, dirinya sama sekali tak ada niat untuk belajar hari ini. "Saya liat dari tadi kamu hanya membolak balik halamannya saja, apakah kamu sedang bingung?" Tanya pria itu lagi. "Lo anak sastra ya?" Tanya Bella tanpa berniat untuk menjawab pertanyaan pria itu. "Bukan, kenapa?" Tanya pria itu. "Bahasa lo baku banget, kayak buku KBBI," jawab Bella asal. Ucapan Bella barusan sontak membuat pria yang ada di depannya ini tertawa dan yang mengherankan, Bella merasa bahwa dirinya tak mengatakan sesuatu yang lucu sama sekali. "Dasar orang aneh," batin Bella. "Kamu lucu ternyata," ucap pria itu. "What? Kamu?" Bella menatap aneh ada pria tadi. Pria tadi tersenyum canggung, "Maaf jika menurut anda saya bersikap terlalu akrab," pria tadi mengulurkan sebelah tangannya, "Kenalkan, nama saya Zio. Saya dosen baru untuk jurusan Akutansi." Tanpa pikir panjang Bella langsung meneriman jabatan tangan pria itu, karena dirinya sangat yakin anak jurusan akutansi sepertinya akan berhadapan dengan dosen ini nantinya. "Nama saya Bella pak, maaf saya bicara kurang sopan sama bapak. Saya tidak tau kalau bapak dosen baru disini," ucap Bella sambil mengelus tengkuknya. "Bahasa kamu baku sekali, kayak buku KBBI," ucap pria itu sambil tertawa dan memperagakan gaya bicara yang Bella ucapkan tadi kepadanya. Bella mencoba tersenyum sopan ke arah pria itu. Seandainya pria yang ada di depannya ini bukan dosen, mungkin dirinya sudah akan berdiri dan meninggalkannya tanpa permisi. Bella tak ingin diganggu saat sedang galau seperti ini. "Kalau ada sesuatu yang tidak kamu mengerti, kamu bisa menanyakannya ke saya," sambung pria itu lagi. "Baik pak, jika nanti ada sesuatu yang tidak saya mengerti, saya akan menanyakannya ke bapak." Jawab Bella masih dengan nada sopan. "Maaf Pak, saya permisi ... Saya ada kelas," sambung Bella. Bella pun bergegas pergi menuju kelasnya, namun pria itu menghentikan langkah Bella dengan menahan lengan gadis itu. "Sepertinya kita akan menuju ke kelas yang sama, mari," ucap pria itu sambil mensejajarkan langkahnya dengan Bella. *** "Tak bisakah kita lebih lama lagi disini?" Ucap Lily dengan nada kecewa. "Tentu saja Aku masih ingin, tapi pekerjaan ku tidak memungkinkan untuk kutinggal lebih lama lagi," ucap pria yang ada di sampingnya sambil membetulkan letak kaca mata yang dikenakannya. Tangan kanannya menarik tangan perempuan yang sepertinya enggan untuk melangkah. "Sayang, kalau kau berjalan seperti itu kita akan ketinggalan pesawat." Ucap Stevan kepada wanita disampingnya. "Memang itu yang aku inginkan." Jawab Lily sambil mencebikkan bibrnya ke depan. Mau tak mau Lily mempercepat langkahnya dengan malas. "Besok aku ada rapat dengan para pemegang saham, kuharap kau mengerti." Ucap Stevan meminta pengertian dari wanitanya ini. "Iya, aku selalu mengerti. Bukankah posisiku disini memang selalu mengharuskan aku untuk menjadi pihak yang pengertian." Balas Lily dengan kesal. Perkataan Lily sontak membuat Stevan menghentikan langkahnya, "Aku pikir kita sudah selesai membahas ini bukan?" Stevan mulai jengah dengan sikap Lily yang menurutnya terlalu kekanakan. "Terserah!" ucap Lily sambil berlalu pergi meninggalkan Stevan yang masih menatapnya dengan wajah lelah. Stevan hanya bisa menghela napas dan mengikuti Lily dari belakang. Sejak kemarin Lily memang tidak setuju untuk memajukan jadwal kepulangan mereka yang harusnya lusa menjadi hari ini. Sejak Stevan mendapat telpon dari asistennya bahwa jadwal rapat pemegang saham dimajukan menjadi esok hari, Lily mulai merajuk dan sedikit mengacuhkan dirinya, tapi mau bagaimana pun Stevan tak punya pilihan lain. Dia memang harus kembali ke Jakarta hari ini juga. "Sudahlah sayang, aku janji kalau aku ada waktu luang kita akan pergi berlibur lagi." Stevan mendudukkan dirinya disebelah Lily yang sedang memalingkan wajahnya menghadap ke arah kaca jendela pesawat. "Hhmmm ...." Jawab Lily. "Kau masih marah padaku?" Tanya Stevan dengan wajah memelas. "Aku tidak marah." Jawab Lily singkat. "Tapi kau mengacuhkanku." Debat Stevan. "Aku masih merindukan mu, Xander." Lily memiringkan kepalanya dan bersandar di pundak Stevan. "Aku tau bagaimana perasaanmu karena aku juga merasakan hal yang sama denganmu sayang, tapi aku tak bisa berbuat apa pun. Kalau aku menunda rapat penting itu, maka berita itu akan terdengar oleh Ibuku dan semuanya akan menjadi rumit." Jelas Stevan meminta pengertian dari kekasihnya itu. Mendengar apa yang Stevan katakan, Lily pun akhirnya terdiam. Ibu dari Stevan memang memberikan ketakutan tersendiri baginya. Lily masih ingat bagaimana Ibunya Stevan memandang dirinya saat mengetahui dia adalah anak yatim piatu dan tidak berada di kasta yang sama dengan mereka. Lily menggelengkan kepalanya pelan, mencoba untuk menghilangkan ingatan buruk saat Ibu Stevan menyuruhnya untuk menjauhi anaknya. Kejadian itu seperti membekas dan menjadi trauma tersendiri baginya. Entah mengapa untuk merestui hubungannya dengan Stevan terasa sangat sulit sekali?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN