Pyarr! Suara pecahan gelas menggema di dalam mansion yang luas dan megah, memecahkan keheningan pagi itu. Angga berdiri di tengah ruangan, dadanya naik-turun dengan napas terengah, tatapannya penuh amarah. Pecahan kaca berserakan di lantai, sementara di tangannya ada sisa-sisa dokumen yang telah dia sobek dengan kasar. "Sejak kapan dia berani mengajukan gugatan ini kepadaku?" geramnya dengan suara berat, menatap sisa-sisa dokumen panggilan sidang perceraian yang kini tak berbentuk. "Bahkan ini sudah panggilan yang kedua?" Ia menatap lembaran yang berserakan di lantai, otaknya mencoba mencerna situasi. Amarah yang telah lama dia pendam mulai meledak. Kepergian Nala sebelumnya dia anggap sebagai drama biasa, sesuatu yang akan berlalu. Tapi dia salah. Keputusan untuk membiarkan Nala pergi

