🎤: Imagine Dragons
Kau bisa menamparku dengan tuduhan, mencengkramku dengan kebencian, tapi tak satu pun akan memisahkanku dari orang yang kucinta. Karena ketika kau menyakiti dia, yang terluka bukan hanya hatinya—tapi seluruh diriku.
***
Beberapa tenaga kesehatan berseragam biru melangkah cepat ke bilik ini. Ada juga seorang petugas keamanan yang datang dari arah berlawanan.
“Maaf, untuk kenyamanan pasien lain, hanya keluarga inti pasien yang diperkenankan berada di area IGD. Yang tidak berkepentingan, silakan tunggu di luar!” Suara salah satu dari mereka terdengar tegas dan tak bisa ditawar. Aku menggeser titik pandangku, menatap name tag pria yang warna bajunya lebih tua dari yang lainnya. dr. Zhen Ryu Raiden, Sp.BTKV. Jangan-jangan sedang ada pasien gawat di sini. ‘Ini kan Instalansi Gawat Darurat, Ndra. Ya yang gawat semualah ke sini. Kenapa jadi gue ikutan gawat kedernya?’
Aku dan Kalista saling pandang. Nara semakin erat meremas tanganku, lalu … aku mengangguk pelan pada dokter itu.
Staf keamanan menyibak tirai lebih lebar untuk memudahkan kami lewat.
“Ayo, Dek,” ajakku, ke Kalista.
Adikku mengangguk. Namun, sebelum ia menyusul langkahku—yang akhirnya berhenti lagi karena memperhatikannya, ia masih sempat bicara pada dokter itu. “Saya yang nabrak dia, Dok. Berhubung ada keluarganya, saya duduk di ruang tunggu saja.” Ia menoleh ke arah Tirta. “Yang nemenin lo siapa? Kalau dua betina ini malah bikin ruwet, lo sendirian aja! Tenang, gue ngga bakal kabur.”
Tirta mendengus keras. “Iona aja,” jawabnya, tangannya yang baik-baik saja terulur menggenggam siku gadis remaja yang berdiri di samping ranjang. “Ibu di luar saja, Tirta pusing.”
“Kok kamu jadi marah ke Ibu sih, Ta?” Ibunya terdengar kesal.
Dr. Zhen berdehem, sorot matanya jelas tak suka. Mungkin jika sekali lagi ibu itu membuat masalah, sang dokter bisa menyuruh staf keamanan menyeretnya. Atau bisa saja memindahkan Tirta ke rumah sakit lain karena dianggap kehadirannya memicu kericuhan. Raiden … kalau aku tidak salah ingat, pemilik rumah sakit ini juga keluarga Raiden.
“Ya sudah, gue tinggal ya. Stay alive, okay?” ujar adikku lagi dengan gaya cueknya. “Dok?” Sempat-sempatnya ia menegur dr. Zhen lagi.
"Ya?"
"Sudah ada yang bilang belum Dokter mirip Ji Sung? Aktor Korea itu.”
‘Jurus menghilang!’ Bisa-bisanya Kalista melontarkan pertanyaan tak penting.
“Banyak!”
‘Njir, dijawab Ndra!’
“Oh, berarti mata saya masih awas,” timpal Kalista lagi.
“Dek?” tegurku. “Ayo.” Aku yang resah.
Kalista mengangkat tangannya yang dua jari membentuk huruf O. “Mari, Dok,” pamitnya kemudian sebelum beringsut ke sampingku, bersama melangkah keluar.
Namun, baru saja kami menyeberangi pintu geser otomatis menuju area tunggu, tangan seseorang mencengkeram lengan Nara dengan kasar. Ibunya Tirta.
“Kau pikir bisa lari, hah?” semburnya. “Kamu apain anak saya sampai kecelakaan begitu? Ngga puas kamu melorotin dia?”
“Astaghfirullah!” desisku, buru-buru hendak menarik tangan ibu itu dari Nara. Namun sebelum aku sempat bergerak, Kalista lebih cepat.
Dengan sigap, ia mencengkeram pergelangan tangan perempuan itu, kuat dan penuh amarah. Matanya melotot tajam. Ibu itu sampai meringis.
“Ini nenek-nenek otaknya geser apa ya? Lepasin tangan kakak ipar gue!”
Si ibu gantian membelalak, tatapannya seolah ingin menghunus Kalista, tampak tercengang.
“Duh, ya Allah … mau noyor tapi takut dosa,” gumam Kalista lagi.
“Apa … apa tadi kamu bilang?” tanya si Ibu.
“Saya kepingin noyor Ibu, tapi Ibu nenek-nenek!” balas adikku. “Lepas! Stok sabar saya ngga banyak, Bu! Atau saya yang bikin tangan Ibu lepas, tapi saya ngga jamin ngga cedera!” desis Kalista.
“Dia siapa kamu?”
“Kakak ipar saya! Fungsi pendengaran Ibu berkurang? Perlu saya balik ke dalam nyuruh putri ibu nemanin ke poli THT?”
Cengkeraman itu pun terlepas.
Aku langsung menarik Nara ke belakang tubuhku, melindunginya. “Nara istri saya. Sudah tidak ada hubungan apa pun dengan Tirta. Tolong jaga ucapan, Anda.”
Namun perempuan itu malah menyeringai dingin. Ia memindaiku, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Apakah sepanjang hidup ia tak pernah belajar tentang adab?
Ia lalu terkekeh sinis. “Pantas! Kamu ikan kakap buat dia.”
Keningku sontak mengerut.
“Ikan kakap lo bilang?” sambar Kalista. “Perlu ke poli mata juga, Bu? Mas saya salmon, kualitas terbaik, bukan kakap! Ngemeng aja nih orang!”
Si Ibu mendengus kesal. Padahal itu belum ada setengah dari kosakata umpatan di kepala Kalista. Kata Mama, Kalista sering kejedot waktu merangkak. Mungkin itu sebabnya ia lebih ajaib dariku.
“Jelas kamu lebih kaya dari Tirta, iya kan?” ujar si Ibu lagi.
“Iyalah! Kalau tau gimana kayanya Mas saya, baik-baik megap-megap, Bu!” timpal adikku lagi.
“Maksud saya, Nara itu tukang melorotin cowok!”
“Mas saya mah seneng Bu dipelorotin Nara.”
‘Stres gue!’
“Gadis seperti dia itu pintar memilih target untuk dimanfaatkan!”
Kalimat barsan memantik emosiku.
“Sudah ngga gadis, Bu!” ujar Kalista lagi. “Bu, kalau ngomong aja belum bener, mendingan Ibu duduk aja sendirian deh. Ngga baik ngehujat orang kalau diri sendiri pantas dihujat, Bu.”
“Kalau soal dimanfaatin, saya tidak keberatan dimanfaatkan oleh istri saya sendiri. Justru saya senang bisa jadi tempat bersandarnya,” timpalku tegas. Aku jengah dan kesal. Entah apakah ibunya Tirta menangkap emosi di tatapanku.
“Lagian Mas saya yang dimanfaatin kenapa Ibu yang repot? Kurang kerjaan, Bu?”
“Kamu itu berani sekali sama saya!”
“Ngapain saya takut sama Ibu? Emang Ibu siapa?”
“Orangtuamu—”
“Ngga usah ngomongin orangtua saya!” tegas Kalista. “Ibu saja sebagai orangtua mulutnya berbisa!”
“Kamu!”
“Apa lo?”
“Kal … sudah,” cicit istriku, membuatku menoleh padanya. Wajahnya pias. Di situlah aku tau, Nara kerap mendapatkan perlakuan seperti ini selama menjadi kekasih Tirta. “Mas, pulang aja yuk?”
Aku mengangguk.
Lalu menatap si Ibu lagi yang kini bersedekap dengan ekspresi pongah.
“Ibu biasa mengintimidasi istri saya selama Nara pacaran dengan Tirta?”
“Heh! Istri kamu itu—”
“Apa buktinya istri saya memanfaatkan anak Ibu?” Aku memotong kalimatnya sebelum selesai.
“Sa—”
“Saya akan suruh pengacara saya melaporkan ocehan Ibu sebagai tindakan tidak menyenangkan! Juga tindakan penyerangan karena sudah berlaku kasar pada Nara!”
Ia membelalak.
“Jangan melototin saya! Saya bukan orang yang welas asih pada orang yang tidak beradab!”
Perempuan paruh baya itu mengendurkan otot matanya, napasnya terdengar cepat, mungkin panik karena ancamanku.
“Mas?” lirih Nara lagi.
“Eh, Bu,” sambar Kalista lagi. “Saya yang nabrak anak Ibu. Tapi, saya juga yang bawa ke sini, saya yang akan bayar semua biaya rumah sakit. Tapi kalau Ibu terus maki-maki kakak ipar saya ….” Kalista beringsut, mengisi celah antara aku dan ibu itu. “Silakan bayar pengobatan Tirta sendiri. Dan siap-siap saya kirimkan tagihan perbaikan mobil saya. Karena hasil pemeriksaan CCTV di lokasi, Tirta yang menerobos lampu merah. Kalau Ibu ngga mau bayar, tinggal antar Tirta ke kantor polisi saat saya melaporkannya. Satu lagi, untuk informasi aja, kecelakaan yang diakibatkan pelanggaran lalu lintas, tidak di-cover asuransi. Cukup sekian dan terima kasih!”
Si ibu tampak terdiam. Mulutnya bergerak-gerak namun tak ada suara yang keluar. Sepertinya, ia merasa kalah.
“Bu?”
Suara seorang perempuan yang mendekat ke arah kami membuat si Ibu menoleh. Ia bahkan beranjak, mengapit perempuan itu seolah meminta perlindungan. Perempuan muda, mungkin sebaya Nara, namun wajahnya padat riasan, modis namun overdressed, dan sepertinya ia mandi parfum.
Dugaanku … jika dibandingkan dengan penggambaran Nara, sepertinya dia si mecin.
“Siapa yang menabrak Tirta?” tanyanya.
“Tirta yang nabrak gue! Dia nerobos lampu merah! Paham lo? Datang-datang sok oye banget asal tuduh!” ketus Kalista.
Perempuan itu mendengus keras.
Kalista misuh-misuh, lalu menutup hidungnya dengan telunjuk kanannya. Percayalah, adikku kalau soal menjatuhkan mental orang yang membuatnya kesal, memang tak pernah tanggung-tanggung. Mungkin itu sebabnya ia punya banyak teman pria, namun tak satu pun yang berminat menjadikannya kekasih. High risk!
Si Ibu berjinjit, membisikkan sesuatu di telinga perempuan itu. Sekejap, aku sempat melihat keterkejutan di raut wajahnya.
“Lo khianatin Tirta dengan nikah sama cowok lain? Puas lo bikin Tirta terkapar begitu?” tuduhnya.
Aku mendengus keras, genggaman Nara di tanganku kian menguat.
“Heh fashion victim! Jaga mulut lo!” hardik Kalista. “Nara terlalu bagus buat cowok kayak Tirta yang hidupnya rame dengan orang-orang toxic kayak lo dan ibunya! Ngga usah nyari kesalahan orang lain! Ngga ada salahnya Nara lari dari lingkungan beracun!”
“Apa lo bilang?”
“Budeg lo? Gaya doang lo dressed to the nines, tapi pendengaran minus!”
“Heh!”
“Heh juga! Mau ribut? Ayo di luar! Ngeliat lo aja gue paham kenapa Kakak Ipar gue ninggalin Tirta! Paham kalau salah satu penyebab rusaknya hubungan mereka adalah karena lo! Bahkan gue yakin lo yang nyetanin ini nenek-nenek supaya percaya Nara cuma mau morotin Tirta!”
Tangan perempuan itu terangkat, hendak menampar Kalista.
Namun, belum sampai ke wajah adikku, tangan itu digapai Kalista, ia pelintir hingga tubuh si fashion victim ikut berputar. “Salah banget lo ganggu kami!” desis adikku sebelum melepaskan cengkeramannya.
“Jangan ribut di sini, Mbak!” seorang staf keamanan memperingatkan kami.
“Pak, ini perempuan tolong diusir aja. Kayaknya dia habis keguyur parfum. Terlalu wangi jadi bau kayak sigung. Bikin polusi udara!” balas Kalista.
Perempuan itu hendak protes.
“Diem lo!” potong Kalista lagi.
Staf keamanan mendengus, namun tak pula menampik yang Kalista katakan. “Sebaiknya Mbak menunggu di luar saja,” ujarnya. “Mohon maaf, Mbak. Karena ini area gawat darurat. Semua keluarga yang menunggu di tempat ini butuh ketenangan dan suasana yang nyaman.”
“Sassa ganti baju dulu, ya Bu. Ibu tunggu di sini aja,” ujar perempuan itu ke ibunya Tirta.
Tak memperpanjang masalah, si mecin pun menjauh dan menghilang dari titik pandang kami.
“Tolong jaga ketenangan ya Mbak, Bu, Pak,” ujar staf keamanan itu lagi. “Jika tidak bisa, terpaksa kami mengusir paksa.”
“Aman, Pak!” tanggap Kalista, sementara aku memberi anggukan.
“Sekali lagi, Bu,” Kalista menatap si Ibu tajam, setelah satpam menjauh. “Jangan hina kakak ipar saya lagi. Atau suruh saja perempuan tadi menanggung semua biaya pengobatan!” lanjutnya. “Saya di café kalau ada yang anak Ibu perlukan.”
Kalista melepaskan genggamanku dan Nara, mengambil posisi di tengah-tengah, lalu mengapit kami di siku, berjalan menjauh.
“Ra?”
“Thanks, ya Kal.”
“Ih, gue ngga pengen dengar itu.”
“Kenapa?”
“Itu nenek-nenek sering nyecer lo kayak tadi?”
“Cuma nyolot aja sih, nunjukin banget kalau ngga suka sama gue. Kalau kayak tadi, ya baru tadi. Mungkin karena emosi ngira gue yang bikin Tirta begitu,” jelas Nara.
“Ikut judo, yuk Ra?”
“Apa?”
“Ikut judo, lumayan buat ngeluarin emosi di jalur yang benar. Supaya dalam situasi kayak tadi, lo bisa tetap berekspresi tapi tetap terkontrol. Gue yang jemput deh tiap kelas.”
“Serius?”
“Banget!”
Istriku menatapku. Aku … tentu saja mengangguk.
“Mau?” tanya Kalista lagi. “Mas mah ngga mungkin ngelarang. Lo tuh gawat banget soalnya, Ra. Makin digencet makin gemetaran gue lihat.”
“Iya,” cicit istriku.
“Mas juga daftar deh. Kita latihan bareng,” ujarku.
“Kan lo udah bisa taekwondo, Mas?” timpal Kalista.
“Ngga apa-apa.”
“Tuh, Ra? Ya? Oke dong?” ajak Kalista lagi.
“Oke.”
Kalista merangkulnya. “Lo aman, Kakak Ipar! Ada gue, ada Mas. Don’t worry be happy. Okay?”
Nara terkekeh. “Okay. Thanks, Kal. Makasih, Mas Ay.”
“Mas Ay? Ngga ada panggilan yang lebih menggelikan, Ra?”