“Silakan Anda baca surat perjanjian kepemilikan saham yang ada pada Ibu Magani.”
Weni Amanda, wanita cantik bertubuh kurus yang duduk di depan Raja dan Elin ini mengambil kertas yang disodorkan Elin. Wanita itu berusia tiga puluh delapan tahun. Usia yang cukup muda untuk menjadi ibu tiri Raja.
Mata wanita itu serius membaca isi kertas yang sudah ada di tangannya. Kedua alisnya menukik tajam dengan mulut sudah merengut kesal. Ia kembali menatap Elin.
“Lima belas persen? Saham Mas Juno hanya lima belas persen?! Saya tidak bisa terima ini! Di surat wasiat yang Mas Juno tinggalkan, semua saham miliknya akan menjadi milik putra saya dan jelas-jelas di surat perjanjian kepemilikan saham yang diberikan Mas Juno pada saya, adalah empat puluh persen! Kenapa di surat milik wanita itu hanya lima belas persen? Mau menipu ya?! Saya benar-benar akan menuntut keluarga Jagapati jika seperti ini! Tidak perlu jalan damai!”
“Surat wasiat yang dibuat Tuan Herjuno Jagapati tidak melalui notaris. Akan sangat sulit bagi Anda jika ingin menuntut keluarga Jagapati. Surat tersebut tidak kuat hukum.”
“Jangan sembarangan bicara!”
Elin tersenyum kecil. Wajahnya masih terlihat tenang sejak tadi. “Semua yang keluar dari mulut saya sejak tadi berdasarkan bukti yang ada.”
“Ini pasti ada permainan dari Ibu kamu, kan?! Ibu kamu pasti memalsukan dokumennya!” Kali ini, Raja yang sejak tadi terkagum-kagum dengan setiap ucapan yang keluar dari mulut Elin, terkejut saat wanita itu yang mana adalah ibu tirinya, menunjuk wajahnya dengan murka.
“Silakan Anda membuktikan bahwa Ibu Magani Jagapati telah melakukan pemalsuan dokumen seperti yang Anda katakan.”
Wanita itu menatap Elin tak suka. Namun tidak ada yang bisa keluar dari mulutnya.
“Surat perjanjian saham yang diberikan Tuan Herjuno Jagapati bisa jadi adalah palsu. Para pemilik saham JCA yang masih hidup memiliki bukti surat perjanjian mereka sendiri dan isinya sama dengan milik Ibu Magani. Saya telah mengumpulkan semua surat para pemegang saham untuk Anda lihat.” Kali ini, Elin mengeluarkan sebuah map dari tasnya, dan menunjukkannya pada Weni.
Wanita itu mengambil kasar map yang diberikan Elin. Membukanya, melihat sejenak, lalu merobek semua surat tersebut.
Raja melotot tak percaya. Sedangkan Elin tetap bersikap tenang.
Saat Raja hendak menghentikan wanita itu, Elin menahan lengan Raja. Tatapan mereka bertemu. Elin tersenyum menenangkan.
Tiba-tiba saja Raja terhipnotis, dan ikut merasa tenang.
“Ini semua palsu! Surat perjanjian yang diberikan Mas Juno baru benar!”
“Ibu, Anda tenang dulu.” Pengacara wanita itu mencoba menenangkan kliennya.
“Ini semua palsu! Punya saya yang diberikan Mas Juno yang benar!” desis wanita itu sambil masih merobek isi surat perjanjian tersebut dengan murka.
“Surat-surat itu bukan salinan asli. Anda merobeknya seribu kali pun akan percuma.”
“Kamu…!” wanita itu menunjuk Elin dengan mata melotot tak terima setelah mendengar apa yang Elin ucapkan.
“Tidak mungkin Mas Juno memberikan surat palsu kepada saya!” lanjut Weni Amanda masih mempertahankan pendiriannya.
“Kita dapat membuktikannya jika Anda ingin. Tapi, hanya laboratorium forensik yang dapat melakukannya, dengan syarat harus ada pelaporan. Apakah Anda ingin Ibu Magani melaporkan pemalsuan surat yang ada pada Anda ke pihak berwajib?”
“Kamu mengancam saya, ya?”
“Saya sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya memberi jalan tengah. Jika Anda merasa surat yang ada pada Anda adalah asli, maka mari kita buktikan, Nyonya. Anda hanya perlu mengatakan 'ya', maka pihak Tuan Raja dan Ibu Magani akan mengajukan pelaporan. Jika terbukti palsu, sudah pasti akan masuk perkara pidana. Memang Tuan Herjuno tidak bisa didakwa karena beliau telah meninggal dunia. Namun, pihak penyidik pasti akan menyelidiki siapa saja yang terlibat dalam proses pembuatan surat palsu tersebut. Pihak Anda dan pihak Ibu Magani bisa sama-sama mengetahui siapa saja orang yang bekerjasama dengan Tuan Herjuno dalam pembuatan surat palsu ini.”
“Buktikan juga surat-surat yang tadi kamu tunjukkan ke saya adalah asli! Saya juga ingin tahu yang mana yang palsu!”
“Tidak masalah. Kita bisa sama-sama mengajukan pelaporan jika itu yang Anda inginkan.”
“Ibu…”
Velindira memperhatikan saat pengacara wanita itu berbisik. Sepertinya pengacara tersebut sedang bernegosiasi dengan kliennya sendiri. Elin sejujurnya kasihan pada pengacara tersebut, karena sejak tadi tidak dibiarkan wanita itu untuk mewakili ucapannya. Lalu, untuk apa menyewa pengacara kalau sejak tadi sepertinya Weni lebih suka mewakili dirinya sendiri?
Ck-ck-ck… Wanita yang keras, tapi maaf kalau Elin harus mengatakan kalau wanita itu selain keras, juga bodoh.
“Suami saya tidak mungkin berbohong dan hanya memberikan saham lima belas persen untuk anak saya!”
Elin mengulum bibir gemas. Weni masih saja bersikeras membela diri. Elin segera waspada saat Weni kembali menatapnya dan Raja bergantian.
“Kalaupun surat yang Mas Juno berikan palsu, terus anak saya tidak bisa mendapat bagian yang sama dengan Anda?” tanya Weni sinis pada Raja. “Saya itu istri Mas Juno juga! Kenapa kalian tidak bisa adil pada saya?!”
“Anda dan mendiang Bapak Herjuno Jagapati menikah tanpa sepengetahuan istri pertama, bukan? Apakah Anda tahu kalau hal itu tidak dibenarkan oleh negara jika istri pertama tidak setuju? Adapun pasal-pasal perkawinan yang memperbolehkan poligami, karena istri tidak menjalani kewajibannya dengan baik, tidak bisa memberikan keturunan, cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Sementara Nyonya Magani, tidak ada dalam syarat-syarat tersebut—”
“Tidak usah menggurui saya!”
Elin tersenyum kecut. “Maaf kalau Anda merasa saya menggurui. Saya hanya ingin memberitahu Anda tentang pasal-pasal perkawinan. Sekarang keputusan ada di tangan Anda, Nyonya. Jika Anda tetap ingin membawa masalah ini ke jalur hukum, pihak Nyonya Magani Jagapati akan mengikuti keinginan Anda. Namun, jika Anda memilih jalan damai, Anda tidak perlu khawatir dengan biaya hidup anak Anda dengan Tuan Herjuno Jagapati. Tuan Herjuno memiliki saham lima belas persen di JCA sesuai surat perjanjian saham yang asli. Pihak keluarga Jagapati sudah sepakat akan memberikan anak Anda hasil yang didapat JCA sesuai nilai saham yang dimiliki Tuan Herjuno. Tuan Raja yang mana adalah ANAK SATU-SATUNYA HASIL PERNIKAHAN RESMI DI MATA AGAMA DAN NEGARA Tuan Herjuno,” Elin berhenti sejenak, lalu menatap Raja sambil tersenyum lembut. Ia kembali mengalihkan pandangan ke arah Weni, “memilih tidak akan mengambil sepersenpun saham yang dimiliki Tuan Herjuno.”
“Kamu mau bilang anak saya anak haram?! Anak saya punya akta kelahiran!”
“Apakah saya mengatakan anak Anda begitu? Tidak ada yang namanya anak haram di dunia ini, Nyonya. Yang saya ingin katakan pada Anda adalah sesuai hukum yang berlaku. Pernikahan Anda dan mendiang Tuan Herjuno belum diresmikan di pengadilan agama, bukan? Itu tandanya, negara tidak mengakui pernikahan Anda. Sampai di sini apakah ada yang ingin ditanyakan?”
“Saya masih tidak percaya dengan surat-surat sialan itu! Mas Juno adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga Jagapati. Kenapa bisa hanya punya saham lima belas persen?! Jangan mengada-ada! Anak saya juga adalah anak Herjuno! Dia berhak mendapat pembagian lebih dari lima belas persen! Apakah wanita itu tidak punya perasaan?!”
“Atas dasar apa Anda mengatakan kalau Ibu saya tidak punya perasaan?” tanya Raja yang mulai tersulut emosi. Wajahnya sudah memerah. Kedua tangan yang sejak dari berada di atas lutut, mengepal kuat sampai memperlihat urat-urat tangannya. Sejak tadi, ia mencoba menahan diri melihat kelakuan istri ke-dua mendiang sang ayah. Namun tampaknya kini Raja mulai hilang kesabaran.
Elin diam-diam memperhatikan emosi Raja. Pria yang biasanya ia lihat tenang, sepertinya akan menunjukkan taringnya sebentar lagi. Persis seperti kejadian di Fastbus ketika itu. Namun yang menarik, Raja bisa sangat marah bukan karena dirinya, tapi untuk melindungi orang lain.
“Buktinya lihat, kamu bisa punya saham sampai empat puluh persen! Kenapa anak saya hanya dapat lima belas persen?! Bukankah kalian sama-sama memiliki darah Herjuno?!” Weni menunjuk kertas yang sudah disobeknya beberapa saat yang lalu. Matanya menatap Raja murka.
“Itu karena pada dasarnya Ibu Magani memiliki saham empat puluh persen di JCA—”
“Bagaimana bisa dia memiliki saham sebanyak itu?! Bukankah wanita itu hanya menantu di keluarga Jagapati seperti saya?!”
“Bisa jangan membentak? Kita sedang melakukan negosiasi, tapi sejak tadi Anda terus saja menarik urat,” seru Raja kembali. Sumpah demi apa pun, terbuat dari apa otak wanita ini? Bukankah mereka sudah sepakat untuk melakukan negosiasi?
Lama-lama, Raja tidak akan tahan jika wanita itu terus saja bersikap tidak bersahabat seperti ini. Raja akan nekat membawa masalah ini ke jalur hukum, tak peduli jika ibunya tetap memilih jalan damai.
“Kamu…!”
“Ibu, tolong tenang. Kita harus mendengarkan apa yang pihak keluarga Jagapati ingin sampaikan. Agar bisa terjadi kesepakatan di antara kita tanpa harus dibawa ke meja hijau.”
“Bagaimana saya bisa tenang kalau anak saya diperlakukan tidak adil?!" Weni Amanda menatap tajam sang pengacara yang sejak tadi berusaha menenangkannya. "Anak saya harus puas menjadi anak tersembunyi. Tidak sekolah di sekolah mahal dan sekolah luar negeri seperti kamu! Kamu bahkan bisa membuka usaha car wash!” Weni menunjuk Raja dengan mata memerah. “Bukankah itu harta dari Herjuno? Jadi anak saya pun berhak atas sebagian penghasilan yang didapat car wash itu kan?!”
Elin menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan perlahan. Senyum sejak tadi setia tersungging di bibirnya, tapi hatinya sudah mulai panas.
“Ibu tidak dapat mengatakan seperti itu. Saya akan jelaskan satu per satu—"
“Kamu mau membodohi saya lagi?”