7.Film Dewasa

2376 Kata
Mobil Lamborghini hitam berhenti mulus di depan fakultas manajemen. Beberapa mahasiswa sempat melirik kagum, bahkan ada yang berbisik-bisik karena mobil mewah itu sudah cukup dikenal di kampus. Sean menoleh ke arah Karina yang duduk di sampingnya. “Semangat kuliahnya ya, Kar. Maaf, nanti kakak nggak bisa jemput. Ada acara di kantor, mungkin pulang malam.” Karina tersenyum tipis. “Iya, Kak. Nggak apa-apa. Aku bisa naik taksi kok.” Sean mendesah pelan, menatap Karina serius. “Ingat, jangan ikut ke club lagi. Kamu nanti mabuk kayak semalam. Kalau kamu kenapa-kenapa, gimana? Orang tua kamu nitipin kamu ke Kakak.” Karina memanyunkan bibir. “Iya, bawel banget sih…” “Kamu tuh kalau dinasehatin ngeyel terus,” Sean mendecak, lalu dengan cepat menggelitik pinggang Karina. “Ya ampun! Hahaha! Kak! Ampun, Kak! Jangan gitu, ih!” Karina tertawa sambil mendorong tangan Sean. “Udah sana masuk kelas. Belajar yang rajin. Mahasiswi semester lima harus semangat.” Karina tersenyum manis, membuka pintu mobil. “Kakak juga kerja yang semangat, ya.” “Semangat!” Sean mengacungkan jempol sebelum melajukan mobil keluar dari area kampus. Begitu Sean pergi, Karina langsung disambut suara Yudha yang menepuk bahunya. “Eh, Kar. Lo nggak diomelin kakak sepupu lo, kan, gara-gara semalam?” Karina nyengir. “Aman kok. Yuk, masuk. Oh iya, makasih ya traktiran ultahnya.” Mereka berjalan menuju gedung lantai dua. “Eh, nanti pulang bareng gue aja, yuk. Gue anterin.” Yudha menyeringai. Karina melirik sekilas. “Boleh deh, kalau nggak ngerepotin.” “Ya enggaklah. Lo kan udah resmi jadi anggota geng gue.” Karina tertawa kecil. “Bisa aja lo.” Mereka memasuki kelas. Suasana ramai dengan mahasiswa yang saling ngobrol sebelum dosen datang. “Kar, sini duduk sama gue aja.” Intan melambaikan tangan dari barisan tengah. Karina duduk di sampingnya. “Pagi, Tan.” “Pagi! Eh, lo kelihatan fresh banget hari ini. Padahal semalam… hmmm.” Intan menaikkan alis nakal. “Ssst! Jangan keras-keras, malu ah,” Karina menunduk, menepuk bahu sahabatnya. Reno yang duduk di belakang langsung menyelutuk. “Woi, Karina! Katanya yang ultah Yudha, kok lo yang traktirannya paling semangat?” Karina menoleh sambil manyun. “Eh, gue kan cuma ikut. Lagian kan enak makan gratis.” Sontak mereka semua tertawa. Tak lama, pintu kelas terbuka. Seorang dosen paruh baya masuk dengan setumpuk buku dan laptop. “Selamat pagi, mahasiswa sekalian.” “Selamat pagi, Pak!” serentak suara mahasiswa menyambut. Dosen itu tersenyum. “Hari ini kita lanjutkan materi Manajemen Strategis. Saya harap kalian sudah baca bab yang saya tugaskan minggu lalu.” Intan berbisik ke Karina. “Lo udah baca?” Karina menggigit bibir. “Hehehe… belum.” “Yah, sama dong. Kita mati bareng, deh,” Intan menahan tawa. Yudha dari bangku seberang menyahut dengan suara agak keras. “Santai aja, Pak Dosen biasanya kalau nanya jawabannya bisa ngarang.” Seketika satu kelas tertawa. Dosen hanya menggeleng sambil tersenyum kecut. “Kalau kalian bisa ngarang dengan logis, saya kasih nilai plus.” “Wih, mantap!” Reno mengangkat tangan gaya memberi hormat. Suasana kelas pun pecah jadi lebih cair, meski sebentar lagi mereka harus serius mengikuti materi. Lamborghini biru metalik itu berhenti mulus di parkiran kafe bergaya industrial chic. Sean turun, merapikan jasnya, lalu melangkah masuk. Aroma kopi bercampur roti panggang menyambutnya. Seorang pria paruh baya sudah duduk di meja VIP dekat jendela besar. Begitu melihat Sean, ia berdiri. “Pak Sean, akhirnya kita ketemu lagi,” ucap pria itu, menjabat tangannya erat. “Pak Adrian, maaf bikin nunggu,” jawab Sean sopan, duduk dengan tenang. Seorang pelayan datang. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu pesan?” “Untuk saya, cappuccino panas. Untuk Pak Adrian?” Sean menoleh. “Espresso double shot,” jawab Adrian. “Baik, Pak,” pelayan itu mencatat lalu pergi. Sean membuka map yang dibawanya. “Baik, Pak Adrian, sesuai agenda kita hari ini, saya ingin membicarakan proposal joint venture antara Wijaya Group dan perusahaan Bapak.” Adrian mengangguk. “Ya, saya sudah membaca draft awalnya. Secara garis besar, saya suka konsepnya. Tapi ada beberapa poin yang perlu kita sesuaikan.” “Misalnya?” Sean mencondongkan tubuh, tatapannya fokus. Adrian menggeser dokumen ke arahnya. “Di sini tertulis margin keuntungan 60:40. Saya pikir itu kurang adil, mengingat pihak kami yang menyediakan lahan dan perizinan.” Sean tersenyum tipis. “Saya paham, Pak. Namun, modal awal dan teknologi dari pihak kami tidak bisa dianggap kecil. Kalau 60:40 dirasa berat, bagaimana kalau kita kompromi di 55:45?” Adrian mengetuk meja pelan dengan jarinya, berpikir. “Hmm… masih belum cukup. Bagaimana kalau 52:48?” Pelayan datang membawa kopi, meletakkannya di meja. Mereka sama-sama berhenti sejenak, mengucapkan terima kasih, lalu kembali ke pembahasan. Sean meneguk sedikit cappuccino, lalu berkata mantap, “Oke, 52:48 bisa kita pertimbangkan, asalkan pihak Bapak bersedia menanggung biaya promosi tahun pertama.” Adrian tertawa kecil. “Licik sekali, Pak Sean. Tapi saya suka gaya Anda. Baiklah, saya bisa setuju dengan syarat itu.” Sean mengangguk puas. “Bagus. Artinya kita sudah menemukan win-win solution. Nanti tim legal saya akan menyiapkan draft kontrak revisinya.” “Deal,” Adrian mengulurkan tangan. Sean menjabat tangan itu erat. “Senang bisa bekerja sama dengan Bapak.” Adrian tersenyum lebar. “Saya juga. Sepertinya proyek ini akan besar.” Sean keluar dari kafe setelah bersalaman terakhir dengan Pak Adrian. Ia membuka pintu mobil Lamborghini-nya, masuk, lalu melesat menuju gedung tinggi Wijaya Group. Sesampainya di basement, ia parkir, lalu masuk lift langsung ke lantai 60. Begitu pintu terbuka, Laras, sekretaris pribadinya, sudah menunggu dengan tablet di tangan. “Selamat siang, Pak Sean. Meeting dengan Pak Adrian berjalan lancar?” tanya Laras. Sean tersenyum tipis. “Ya, kita sudah capai kesepakatan. Nanti saya minta tim legal revisi kontraknya sesuai hasil tadi.” “Baik, Pak. Agenda berikutnya jam dua siang dengan tim investor dari Jepang. Mereka sudah menunggu di ruang rapat utama.” “Perfect timing,” Sean melangkah cepat. Di ruang rapat, lima orang pria berjas rapi sudah berdiri menyambut. Salah satunya memperkenalkan diri dengan bahasa Inggris beraksen Jepang. “Good afternoon, Mr. Sean. I am Mr. Tanaka, representing Tokyo Investment Holdings.” Sean menjabat tangan mereka dengan percaya diri. “Welcome to Jakarta, gentlemen. Please, have a seat.” Mereka duduk. Laras membagikan dokumen presentasi kepada semua peserta. Sean membuka rapat. “As you know, Wijaya Group is expanding into the Southeast Asian market. Our proposal is a strategic partnership that will benefit both sides.” Mr. Tanaka membuka dokumen, lalu mengangguk. “We reviewed your financial report. Growth looks impressive. But we need assurance about market stability in Indonesia.” Sean mencondongkan badan. “That’s understandable. Let me clarify—our projects in property and energy sectors have government support. I personally guarantee stability in this venture.” Investor lain, Mr. Sato, bertanya, “How about return on investment? What’s the timeline?” Sean tersenyum penuh perhitungan. “Three years. With the scale we’re discussing, your ROI will be higher than the Asian average.” Suasana rapat memanas ketika beberapa investor mendebat detail angka. Sean tetap tenang, menjawab satu per satu dengan data yang ia kuasai. Akhirnya Mr. Tanaka berkata, “Mr. Sean, you are very convincing. We are interested in this collaboration. But we need one week to finalize our decision.” Sean mengangguk mantap. “Of course. Take your time. I’ll make sure my team provides any data you need.” Mereka berdiri, saling berjabat tangan. “Arigato gozaimasu,” ucap Tanaka. Sean menjawab dengan senyum tipis, “Dōitashimashite. I look forward to our partnership.” Begitu para investor keluar, Sean menoleh pada Laras. “Siapkan laporan rinci soal proyeksi tiga tahun. Saya mau itu ada di meja mereka besok pagi.” “Siap, Pak,” jawab Laras cepat. Sean menghela napas panjang, duduk di kursi rapat. “Hari ini belum selesai, masih banyak yang harus dijalani.” Di kamar apartemen, Nathalia terbangun. Ia langsung masuk kamar mandi, mandi sebentar lalu berdandan rapi. Saat merapikan rambut, pandangannya tertuju pada set lingerie transparan di keranjang pakaian. “Ini… lingerie siapa? Aku nggak pernah beli model begini,” gumam Nathalia heran. Ia keluar kamar dan memanggil pembantu. “Mbak Tari, sini sebentar!” “Iya, Bu,” jawab Tari, buru-buru masuk kamar. Nathalia mengangkat lingerie itu dengan wajah sinis. “Mbak, ini lingerie siapa? Transparan banget, seksi lagi. Masa saya nggak ingat punya baju kayak gini?” Tari tampak gugup. “Oh, kayaknya punya Mbak Karina, Bu. Soalnya tadi pagi kata Pak Sean, Mbak Karina sempat numpang mandi di kamar mandi Ibu. Katanya di kamar mandi dia ada kecoak.” “Karina ia tadi dia numpang mandi di kamarku,maaf saya yang lupa” Nathalia mengernyit, nadanya agak curiga. “Oh… jadi ini piyamanya dia, ya?” “Iya, Bu. Setahu saya begitu.” Nathalia menghela napas, lalu langsung berbalik arah. “Ya sudah, kamu cuci saja. Saya mau berangkat. Nanti kalau ada makanan sisa, kamu bawa pulang aja. Bilang sama Sean, saya nggak pulang malam ini. Ada pemotretan di Puncak, mungkin sampai besok lusa.” “Baik, Bu,” jawab Tari sambil menunduk. Nathalia masuk kamar, memasukkan beberapa gaun ke koper, lalu mengambil tas mewahnya. Saat keluar dari kamar menuju pintu keluar unit apartemennya, Tari bergumam lirih. “Bu Nana ini sibuk banget, ya… sampai-sampai suami sendiri nggak pernah diurusin. Hampir tiap hari pergi terus, nggak pernah ada di rumah.” Nathalia menekan tombol lift sambil mengeluarkan ponselnya. Begitu pintu lift tertutup, ia menelpon seseorang. “Halo, baby. Aku udah turun nih. Kamu udah di bawah kan?” Suara pria di seberang terdengar lembut. “Iya, aku udah nungguin di parkiran. Suami kamu nggak curiga kan?” Nathalia tersenyum tipis, suaranya pelan tapi penuh percaya diri. “Aman. Pokoknya perselingkuhan kita selama tiga tahun ini nggak akan pernah ketahuan. Sean terlalu sibuk sama bisnisnya, sampai nggak pernah sadar aku punya dunia sendiri.” Pria di telepon terkekeh. “Baguslah. Aku udah nggak sabar ketemu kamu, Na.” Nathalia menatap pantulan wajahnya di dinding lift, lalu berbisik pelan. “Tenang, baby. Malam ini cuma milik kita.” Dikampus bel pulang kuliah berbunyi. Dosen keluar kelas sambil menenteng buku. Suasana kelas mulai ramai, mahasiswa beres-beres barang mereka. Intan langsung melirik Karina. “Kar, abis ini jalan yuk! Nongkrong bentar, kita makan atau minum kopi gitu.” Karina menggeleng sambil merapikan buku-bukunya. “Nggak deh, Tan. Udah sore, gue capek. Mau langsung pulang aja.” Reno menyender di meja belakang, nyengir. “Ya ampun, Kar. Lo tuh anak rumah banget sih. Sesekali nongki, napa? Seamalam aja lo cabut duluan, padahal lagi seru-serunya.” Karina terkekeh kecil. “Hehe, iya gue tau. Tapi emang beda, Ren. Gue bisa pindah kuliah ke Jakarta tuh ada syaratnya.” Intan mengangkat alis. “Syarat? Emang syarat apaan?” Karina menatap mereka sebentar sebelum menjawab. “Jadi gini, kan gue awalnya kuliah di Jogja. Nah, gue pindah ke sini karena mau sekalian magang di kantor Kakak sepupu gue. Tapi, bokap nyokap gue cuma ngizinin asal pergaulan gue di sini diawasin sama dia. Jadi ya… gue nggak bisa bebas sembarangan.” Reno melotot. “Ohhh pantesan! Baru gue bingung, anak semester lima kok pindah kampus. Tinggal skripsi doang loh sebenernya.” Yudha yang sedari tadi mendengarkan ikut nimbrung. “Eh, tapi bagus dong. Lo bisa magang sambil kuliah. Lagian kalo ada yang ngawasin, orang tua lo jadi lebih tenang.” Karina tersenyum tipis. “Iya sih… walau kadang ribet juga, dibilangin mulu kayak anak kecil.” Intan menepuk bahunya. “Santai aja, Kar. Kita bakal tetep temenan, kok. Nggak nongkrong sekali-kali juga nggak masalah.” Reno malah godain lagi. “Ya tapi rugi lo, Kar. Kita kan geng seru. Kalo nggak nongki, lo ketinggalan gosip!” Mereka semua tertawa, sementara Karina hanya geleng-geleng kepala. “Yuk, Kar. Gue anterin lo pulang. Siapa tau gue kapan-kapan bisa ngapelin lo.” Yudha menatap Karina dengan senyum penuh arti. Reno langsung nyeletuk sambil terkekeh. “Buset, modus banget lo, Yudh!” Karina hanya nyengir tipis, malas menanggapi. “Duluan ya, guys.” Ia melambaikan tangan lalu berjalan keluar kelas. Yudha buru-buru menyusul. “Eh, Kar! Tungguin gue jangan ditinggalin dong. ” Mereka berdua turun menuju parkiran. Yudha memberikan helm pada Karina. “Nih, pake. Safety first dong, Princess.” Karina menatapnya sebentar, lalu menerima helm itu tanpa komentar. “Thanks.” Motor sport Yudha melaju melewati keramaian kota hingga berhenti di depan lobi apartemen. Yudha mematikan mesin, melepas helmnya, lalu menoleh ke arah Karina. “Kar…” suaranya sedikit hati-hati. “Lain kali kalo lo mau, gue jemput lo kuliah boleh gak sama Kakak Sepupu lo?” Karina menurunkan helmnya perlahan. “Gak usah, Yudh. Nanti lo malah diomelin sama dia.” Yudha menggaruk tengkuknya, agak canggung. “Oh, gitu ya… Mmm, Kar, gue boleh nanya nggak?” Karina mengangkat alis. “Nanya apa?” “Lo… udah punya pacar belum?” Yudha menatapnya serius kali ini. Karina terdiam sebentar, lalu menarik napas panjang. “Sorry, Yudh. Kalo niat lo deketin gue karena lo suka sama gue… gue harus jujur. Gue nggak bisa bales perasaan itu. Kita temenan aja, ya?” Yudha terdiam. “Kenapa? Gue kurang apa, Kar? Apa karena baru kenal kita bisa kenalan dulu?” Karina menunduk, lalu tersenyum getir. “Masalahnya… gue udah suka sama orang lain. Walaupun…” ia terhenti sejenak, ragu untuk melanjutkan. Yudha menatapnya penasaran. “Walaupun apa?” Karina akhirnya menatapnya lurus ucapnya dalam hati.“Walaupun orang itu Kakak sepupu gue sendiri, Kak Sean.Gue tau itu salah, dan gue juga nggak mungkin kasih lo harapan palsu.” " Sorry ,Yudh.gue mau kita temenan aja jangan rusak persahabatan kita yang baru seumur jagung ini. " Ucap Karina menyakinkan. Yudha terdiam cukup lama, menahan rasa kecewa. “Gue ngerti. Thanks udah jujur, Kar.” Karina hanya mengangguk, lalu mengembalikan helm ke tangan Yudha. “Sorry banget, Yudh. Gue masuk dulu.” Ia melangkah masuk lobi apartemen, meninggalkan Yudha yang masih berdiri dengan wajah murung. Karina naik lift sampai ke unit Sean. Apartemen itu sepi. Ia langsung masuk ke kamar, berganti pakaian, lalu berdandan di depan kaca. Setelah itu, ia mengambil remote TV dan menjatuhkan diri ke sofa. “Hmm… mumpung nggak ada orang, gue bisa nonton film dewasa. Gak bakal ada yang mergokin kayak kemarin.” Karina nyengir kecil sambil mengganti channel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN