Bab 10

1297 Kata
Leo terlihat berjalan keluar dari area kamar mandi sambil memegangi sebuah handuk yang ia gunakan untuk melap rambutnya yang basah. Setelan jas yang tadi membalut tubuhnya sudah berganti dengan kaos hitam polos serta celana piyama santai, dengan raut wajah yang sudah lebih segar dibanding sebelumnya. Putra sulung keluarga Mawardi itu segera berjalan menuju meja kecil di sudut kamarnya dan meraih benda pipih yang ada di atas meja tersebut. Sambil membawa benda pipih yang adalah ponselnya itu, Leo berjalan menuju area balkon di kamarnya dan berdiri di sana. Setelah beberapa detik hanya terdiam menatap pemandangan malam di area kompleks perumahaan elit yang ditinggali keluarganya itu, Leo segera mengangkat ponselnya dan mencari nomor Mario sahabat serta sekretarisnya itu. Begitu menemukan nomor pria itu tanpa menunggu lama ia langsung menekan tombol bergambar telepon lalu menempelkan benda pipih itu ke telinganya. Setelah dering ketiga, sambungan teleponnya pun akhirnya terhubung dengan pria itu. “Ya elah pengantin baru. Gue baru aja balik dari rumah lo beberapa jam yang lalu, ngapain sih lo langsung telpon di jam segini?” ujar Mario yang terdengar menggerutu dari sebrang telpon. “Dia udah tanda tangan surat perjanjian itu. Besok setelah suratnya gue bawa ke kantor, lo langsung serahkan surat itu ke pengacara gue untuk diurus secara hukum,” jelas Leo dengan nada datar dan tegas, mengabaikan gerutuan Mario saat menerima telponnya tadi. “Lo udah ngasih surat itu ke dia buat di tandatangani?” Tanya Mario dengan nada suara yang nampak terkejut. “Bisa-bisanya lo ngasih surat perjanjian itu langsung di hari pernikahan kalian. Emangnya lo nggak bisa apa bersikap lunak dikit dengan ngasih surat itu beberapa hari lagi?” “Memang apa bedanya kalau gue ngasih itu di hari lain? Toh gue kasih di hari lain pun tetap sama aja kan artinya,” jawab Leo dengan nada santai. “Malah lebih baik gue memperingatkan dia dari sekarang soal pernikahan kami ini. Jangan sampai dia berharap lebih dan berpikir bisa selamanya jadi isteri gue.” “Ckckckckckck gue nggak nyangka kejadian lima tahun yang lalu bener-bener bikin hati lo jadi kaya batu gini.” Perkataan Mario entah kenapa membuat dad4 Leo terasa sesak karena amarah yang tiba-tiba muncul. Salah satu tangannya yang tidak memegang ponsel tanpa sadar mencengkram kuat karena emosi yang muncul secara tiba-tiba akibat Mario yang mengungkit kenangan lama yang sudah ia kubur dalam-dalam dan tidak ingin ia ungkit lagi. “Nggak usah membahas hal yang nggak perlu dibahas. Yang pasti gue sekarang nggak mau dibodohi lagi sama perempuan-perempuan munafik yang hanya mengincar uang dan kekayaan keluarga gue. Jaman sekarang nggak ada perempuan yang benar-benar tulus di dunia ini, karena mereka bisa begitu mudah berpaling saat menemukan yang lebih tampan dan kaya dibanding pasangannya.” Tidak ada kalimat balasan dari Mario di seberang telpon. Pria itu memilih diam dan tidak menanggapi perkataan Leo karena paham betul, bahwa jika semakin ia menjelaskan Leo malah akan semakin terbakar emosi nantinya karena akan mengingat masa lalu. “Udahlah bro, mending lo istirahat aja lah, gue juga udah capek banget nih,” ujar Mario yang memang cukup kelelahan karena mengurus acara pernikahan Leo dan Jelita hari ini. “Ta….” Perkataan Leo langsung terhenti begitu menyadari bahwa sambungan teleponnya dengan Mario sudah diputus oleh pria tersebut. Ia akhirnya hanya bisa mendengus kesal menatap layar ponselnya, merasa takjub dengan tingkah Mario yang terlalu sering bersikap kurang aja padahal dirinya adalah atasan pria itu. “Kayanya gue perlu cari sekretaris baru,” gumam Leo dengan nada kesal. Walau sebenarnya kalimat itu hanyalah bualan semata. Pria itu tentu tidak mungkin mengganti Mario dengan orang lain, karena hanya pria itu yang benar-benar bisa memahami dirinya. Selesai dengan ponselnya, pandangan Leo kemudian beralih ke dalam kamarnya tepatnya ke arah ranjang. Terlihat di sana Jelita yang nampak tertidur lelap dengan posisi terlentang dan tangan yang memeluk perutnya yang buncit. Seorang Arfandi Leo Mawardi sama sekali tidak menyangka bahwa dirinya akan berada pada posisi saat ini, yaitu menjadi seorang suami dan calon ayah. Padahal beberapa tahun yang lalu ia sudah bertekad tidak akan terjebak dalam hubungan antara pria dan wanita yang menurutnya hanyalah sebuah jebakan semu yang menyesatkan hidup. Hanya perlu waktu satu tahun lebih. Setelah itu dia harus pergi jauh dari hidupku, batin Leo penuh keyakinan. ***** Jelita perlahan mulai sadar dari tidur lelapnya saat merasakan pergerakan yang cukup membuat keram dan nyeri pada area perutnya. Ia perlahan mulai membuka matanya yang terpejam sambil tangannya bergerak lembut mengusap perut buncitnya. “Sayang, jangan kenceng-kenceng dong nendangnya,” gumam Jelita dengan suara pelan berbisik pada bayi di dalam perutnya itu. Dengan susah payah Jelita bergerak pelan untuk bangun dari pembaringannya dan merubah posisinya menjadi duduk di atas ranjang. Ia melihat ke arah sisi ranjang di sebelahnya dimana saat ini Leo nampak berbaring nyaman dengan mata terlelap dan diantara tubuh mereka terdapat dua bantal guling besar yang sepertinya diletakkan oleh pria itu. Syukurnya ranjang yang ada di kamar pria ini merupakan ranjang king size yang memang cukup besar dan lebar, sehingga walau mereka tidur seranjang masih ada bagian kosong yang jaraknya cukup besar diantara mereka. Ketika merasa pergerakan bayi di dalam kandungannya sudah melambat serta rasa keram yang sudah mereda, Jelita segera bergerak pelan menurunkan kakinya dari ranjang lalu dengan hati-hati mulai berdiri kemudian berjalan menuju ke arah kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Mengingat semalam ia langsung tertidur dengan tetap mengenakan gaun pengantinnya. Hanya butuh waktu lima belas menit hingga akhirnya Jelita sudah nampak segar setelah mandi dan mengenakan dress rumahan berwarna navy yang membalut tubuhnya. Saat ini Jelita sedang berdiri di depan wastafel dan menatap pantulan dirinya di cermin setelah beberapa menit yang lalu baru selesai menggosok giginya. Tangan Jelita perlahan mengusap perut buncitnya dengan tatapan lurus menatap pantulan dirinya di cermin. “Sayang, kira-kira Mama masih bisa nggak ya ketemu kamu setelah pergi dari kediaman Mawardi nanti?" gumam Jelita dengan nada sedih. Ada rasa sesak dan perih di dalam hatinya jika mengingat bahwa ia hanya memiliki waktu satu tahun bersama anaknya begitu ia melahirkan nanti. Tolong jangan benci Mama ya nak, batin Jelita memohon. Di tengah lamunan Jelita, ia tidak menyadari bahwa tangannya cukup dekat dengan rak kaca berisi berbagai peralatan cukur Leo yang berada di samping wastafel. Begitu ia menggeser tangannya, tentu saja tidak dapat dihindari bahwa tangannya itu menyenggol rak kaca tersebut hingga benda itu terjatuh ke lantai. Brrraaaaakkkkkk Suara keras dari arah kamar mandi membuat Leo yang masih terlelap nyaman di ranjang langsung tersentak kaget. Melihat ke sisi lain di ranjangnya yang kosong membuat pria itu langsung panik seketika karena berpikir sudah terjadi sesuatu dengan Jelita di kamar mandi. Dengan perasaan paniknya, refleks Leo melompat bangun dari ranjang dan berlari cepat ke dalam kamar mandi. Tanpa mengetuk pintu ia langsung menerobos masuk ke dalam kamar mandi untuk melihat apa yang terjadi pada Jelita. “Ma…ma..maaf, saya menjatuhkan peralatan anda,” ujar Jelita dengan suara bergetar takut saat melihat kedatangan Leo. Mengabaikan ucapan maaf Jelita, Leo malah bernafas lega saat mendapati bahwa wanita tersebut ternyata tidak jatuh di kamar mandi. “Jangan bergerak,” ucap Leo tiba-tiba saat melihat Jelita sudah akan melangkah. Dengan cepat Leo berjalan mendekati Jelita dan dalam beberapa detik Jelita dibuat syok saat tubuhnya sudah berada di dalam gendongan pria yang saat ini berstatus sebagai suaminya. Leo sedikit terkejut saat merasakan tubuh Jelita yang cukup ringan di dalam gendongannya, padahal wanita itu sedang dalam kondisi hamil saat ini. Tanpa mengatakan apapun Leo segera membawa tubuh Jelita keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju ranjang. Dengan perlahan pria itu mendudukkan Jelita di ranjang dengan wajah yang menatap dingin dan datar pada wanita itu. “Tolong lebih berhati-hati lain kali. Kalau kamu dan bayi itu kenapa-napa, orang yang akan Ibu salahkan adalah saya,” ucap Leo dengan nada tajam penuh peringatan. Setelah mengatakan hal itu, ia lalu berjalan ke sisi ranjang tempatnya dan kembali berbaring di sana lalu memejamkan matanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN