~Satu minggu kemudian~
Sophia terlihat berjalan memasuki kamar sambil memegangi Jelita yang tengah mengenakan gaun putih sederhana yang membalut tubuhnya yang sedikit berisi karena perut buncitnya. Dengan perlahan ia membantu Jelita untuk duduk di atas ranjang di dalam kamar tersebut.
“Makasih ya Sophia,” ucap Jelita sambil menghela nafas lega karena akhirnya bisa beristirahat setelah seharian ini.
Hari ini adalah hari pernikahan Jelita dan Arfandi Leo Mawardi yang digelar secara sederhana di halaman belakang kediaman Bagas Mawardi dan hanay dihadiri oleh keluarga dekat mereka.
Awalnya Bagas dan Arum ingin menggelar pernikahan mewah untuk Leo dan Jelita. Namun, Jelita tentu saja menolak hal tersebut mengingat dirinya sedang dalam kondisi hamil dengan usia kandungan yang sudah tidak muda lagi. Ia tidak ingin penampilannya itu malah membuat keluarga Mawardi malu dihadapan kenalan-kenalan mereka. Selain itu, menyadari bahwa pernikahan mereka hanyalah paksaan dan bukan karena keinginan mereka sendiri, rasanya sedikit memalukan jika harus dilakukan secara meriah.
Leo tentu saja menyetujui keinginan Jelita yang hanya meminta acara sederhana untuk pernikahan mereka. Pria itu tentu akan merasa sangat malu jika teman-temannya yang lain selain Mario mengetahui bahwa wanita yang dinikahinya adalah mantan pelayan di rumahnya.
“Aku mau keluar lagi buat bantu Ibu beres-beres, kak Jelita butuh sesuatu nggak? Biar nanti aku bawain ke sini,” tanya Sophia menawarkan, sebelum ia meninggalkan Jelita di kamar tersebut.
Jelita tersenyum tipis sambil memberikan gelengan pada gadis muda dihadapannya itu. “Aku nggak butuh apa-apa lagi sophia, sekarang yang aku butuhin cuma istirahat,” jawabnya.
Sophia mengangguk paham setelah mendengar perkataan Jelita. “Kalau gitu aku keluar dulu ya kak.’ setelah berpamitan ia segera berjalan menuju pintu dan keluar dari kamar tersebut. Tidak lupa Sophia menutup pintu kamar agar Jelita bisa lebih nyaman beristirahat.
setelah kepergian gadis yang beberapa jam lalu resmi menjadi adik iparnya, Jelita mulai bergerak membuka anting serta kalung yang saat ini ia kenakan kemudian ia letakkan di meja kecil yang ada di samping ranjang. Tanpa sengaja pandangan matanya kemudian tertuju pada cincin berwarna emas yang melingkar di jari manisnya.
Ada rasa sesak di dalam d**a Jelita saat melihat cincin tersebut. Sama sekali tidak pernah terbayang dalam benak Jelita bahwa ia bisa berada di posisi saat ini, menjadi istri dari seorang Arfandi Leo Mawardi.
Saat pertama kali datang ke kediaman Mawardi lima tahun yang lalu Leo masih tinggal di luar negeri untuk menempuh pendidikan S2. Pria itu baru kembali ke Indonesia dan tinggal di rumah orangtuanya setelah jelita sudah bekerja di kediaman tersebut selama tiga tahun. Walaupun berada dalam satu atap yang sama, keduanya sangat jarang berinteraksi karena Leo yang lebih sering menghabiskan waktunya di kantor dan hangout bersama teman-temannya. Keduanya bahkan mungkin hanya pernah satu kali dalam setahun berbicara satu sama lain.
Jelita segera menarik cincin yang ada di jari manisnya itu dan meletakkannya bersamaan dengan anting dan kalung yang duluan ia lepaskan tadi. Setelah itu Jelita beralih menatap ke arah kakinya, ia perlahan berusaha menundukkan badannya agar tangannya lebih mudah menggapai sepatu yang ia kenakan saat ini.
Kondisi perut jelita yang buncit karena kehamilannya membuat ia kesulitan untuk menggapai sepatu tersebut. Walau sudah mencoba berkali-kali, tangannya tetap tidak bisa menjangkau telapak kakinya, malahan dadanya mulai terasa sesak karena dirinya yang terus mencoba membungkukkan badannya.
Di tengah usaha Jelita, pintu kamar tiba-tiba terbuka dari luar. Dari balik pintu muncul Leo yang berjalan masuk ke dalam kamar dengan penampilan yang sudah tidak serapi saat prosesi pernikahan mereka. Jas yang tadi dikenakan oleh pria itu sudah ia pegang di tangannya, menyisakan kemeja putih dengan dasi yang sudah dilonggarkan.
Jelita langsung menundukkan kepalanya karena rasa gugup begitu melihat wajah datar dan tatapan tajam yang pria itu layangkan padanya.
tanpa mengatakan apapun Leo menutup pintu kamarnya itu dan berjalan ke arah meja kecil yang berada di sudut kamarnya dekat jendela. Ia segera membuka laci meja tersebut dan mengeluarkan sebuah map dari sana lalu berjalan kembali ke arah ranjang.
Jelita sedikit terkejut saat sebuah map terlempar ke pangkuannya. Ia segera mengangkat wajahnya menatap bingung pada Leo yang sudah berdiri di hadapannya saat ini.
“i..i..ini apa?” Tanya Jelita kebingungan.
“Buka dan baca sendiri,” perintah Leo dengan nada datar.
Walau kebingungan, Jelita tetap bergerak membuka map yang ada di pangkuannya itu. Begitu map tersebut terbuka, ia segera membaca berkas yang ada di dalam map tersebut. Tentu saja ia tidak bisa menyembunyikan wajah terkejut begitu selesai membaca semua isi dari surat di dalam map itu.
“Ini…….”
“Surat Perjanjian,” ucap Leo dengan nada tegas. “Kamu nggak berpikir bakal selamanya jadi istri saya kan Jelita?” lanjutnya bertanya dengan nada sinis.
Entah kenapa dad4 jelita terasa begitu sesak dan nyeri membaca setiap kata yang tertulis dalam surat perjanjian yang dibuat oleh Leo, bahkan pria itu sudah lebih dulu menandatangani surat itu sebelum diberikan pada dirinya.
“Saya kasih kamu waktu satu tahun setelah bayi itu dilahirkan. Begitu dia sudah tidak memerlukan ASI kamu, maka kita harus bercerai saat itu juga. Kamu sama sekali nggak bisa menuntut harta apapun dari keluarga kami dan hak asuh anak itu akan jatuh ke saya,” ucap Leo.
Jelita mengangkat wajahnya menatap tajam pada Leo. “Dia juga anak saya, bukan hanya anak kamu,” ujar Jelita dengan suara bergetar.
Leo tertawa sinis mendengar perkataan Jelita. “Memangnya apa yang bisa kamu berikan kalau anak itu hidup bersama kamu? Jangankan pendidikan dan lingkungan yang berkualitas, untuk makanan bergizi saja belum tentu kamu bisa memberikannya.”
Jelita hanya bisa terdiam karena tidak mampu membantah perkataan pria di hadapannya ini. Bagaimanapun ia menyangkal, faktanya dirinya memang tidak bisa memberikan kehidupan yang lebih baik dibandingkan keluarga Mawardi. Rasanya begitu sakit ketika dirinya menyadari betapa menyedihkan hidupnya saat ini. Setelah bertahun-tahun hidup sebatang kara, akhirnya ia punya kesempatan untuk memiliki satu-satunya keluarga dalam hidupnya yaitu anak yang dikandungnya ini. Namun, karena kehidupannya yang menyedihkan, bahkan untuk membesarkan anaknya saja ia tidak layak.
“Kenapa kamu diam saja?” tanya Leo yang melihat Jelita yang diam dan tidak segera menandatangani surat perjanjian tersebut. “Jangan bilang kamu nggak rela tanda tangan surat itu karena nggak mau bercerai dari saya dan kehilangan gelar sebagai Nyonya di keluarga Mawardi,” tuduh Leo.
Perkataan leo tentu saja menyentil harga diri Jelita. Ia tentu saja tidak terima terus direndahkan oleh pria yang tidak lain adalah ayah dari anak yang dikandungnya saat ini. Dengan tatapan kesal Jelita segera meraih kasar pena yang ada di tangan Leo, lalu tanpa berpikir panjang lagi ia menandatangani surat perjanjian yang dipegangnya itu. “Apa kamu puas sekarang?” tanya Jelita dengan nada datar sambil menyodorkan map tersebut pada Leo.
Sambil tersenyum puas Leo meraih map yang disodorkan Jelita lalu meletakkannya di dalam laci meja kecil yang ada di samping ranjang tempat Jelita duduk saat ini.
“Ingat Jelita, jangan pernah kamu mencoba mengharapkan hal lebih dalam pernikahan kita ini. Setelah bayi itu tidak lagi membutuhkan ASI kamu, segera pergi dari rumah ini dan jangan ganggu kehidupan saya lagi,” ucap Leo memperingatkan Jelita.
Jelita sama sekali tidak menjawab perkataan Leo dan malah memilih untuk memalingkan wajahnya agar tidak perlu menatap pria dihadapannya itu. Selain itu sebenarnya ia sedang berusaha sekuat tenaga untuk tidak meneteskan air mata yang entah kenapa sudah menggenang di dalam matanya. Berkali-kali ia terus mengingatkan dirinya untuk tidak bersikap lemah di hadapan pria bernama Arfandi leo Mawardi yang beberapa jam lalu sudah resmi menjadi suaminya ini.
Di tengah keterdiamannya, Jelita tiba-tiba dibuat terkejut saat merasakan sesuatu sedang menyentuh tangannya. Ia langsung terdiam kaku saat melihat Leo Mawardi sudah berjongkok di hadapannya dan tengah membuka sepatu yang ia kenakan saat ini.
Setelah selesai membuka sepatu Jelita, tanpa mengatakan apapun Leo segera berdiri dan berjalan menuju area kamar mandi. Pria itu langsung masuk ke dalam kamar mandi dan beberapa detik kemudian terdengar suara gemericik air yang menandakan bahwa ia tengah mandi saat ini.
Setelah melalui hari yang panjang ini, Jelita merasa tubuhnya benar-benar sudah tidak tahan dengan rasa lelah yang menyerangnya. Ia segera bergerak perlahan naik ke atas ranjang lalu membaringkan tubuhnya di sana. Hanya butuh waktu beberapa menit hingga akhirnya Jelita yang memang sudah kelelahan sejak tadi langsung terlelap nyenyak dalam tidurnya dengan posisi dirinya yang masih mengenakan gaun putih sederhana yang membalut tubuhnya serta make up tipis yang masih menempel di wajahnya.