Bab 8

1592 Kata
“Ma..maksud perkataan anda apa Tuan?” Tanya Jelita dengan suara bergetar takut. Bagas melirik ke arah Leo yang masih terduduk di lantai dan memegang perutnya yang kesakitan. “Bantu kakak kamu berdiri Sophia,” perintah Leo. Mendengar suara tegas Ayahnya membuat Sophia refleks bergerak cepat ke arah Leo dan membantu kakaknya yang masih kesakitan itu untuk segera berdiri. Dengan susah payah Leo segera berdiri sambil meringis menahan rasa sakit akibat pukulan Ayahnya. Bagas kembali menatap ke arah Jelita dan kemudian beralih menatap perut wanita itu. “Mungkin kamu memang tidak membutuhkan pertanggung jawaban dari keluarga kami Jelita. Tapi, anak yang ada dikandungan kamu bukan hanya hak kamu tapi juga hak keluarga Mawardi, karena dia adalah cucu kandung saya,” ucap Bagas. Jelita tidak bisa mencegah degup jantungnya yang berdebar kencang karena rasa takut. Ia seakan menyadari bahwa dirinya bisa saja akan kehilangan anak yang dikandungnya ini begitu mendengar perkataan pria paru baya dihadapannya ini. “Sa..saya yang mengandung bayi ini Tuan,” jawab Jelita dengan suara terbata. Bagas memberikan anggukan menyetujui perkataan Jelita. “Kamu benar, memang kamu yang mengandung anak ini. Tapi apa kamu bisa menjamin bahwa cucu saya ini akan mendapatkan kehidupan yang baik jika hanya hidup bersama dengan kamu? Apa dia akan mendapatkan kebutuhan gizi yang baik, makan yang baik, pendidikan yang baik dan lingkungan yang baik?” Tanya Bagas. “Sa..saya bisa bekerja keras untuk memberikan yang terbaik untuk anak saya,” jawab Jelita, walau sejujurnya ada sedikit keraguan dalam hatinya. “Terbaik seperti apa yang kamu maksud Jelita? Sekarang saja kamu harus bekerja sebagai tukang cuci piring di tengah kondisi kamu yang sedang hamil. Apa kamu minum vitamin atau Su5u ibu hamil untuk memberikan gizi yang cukup bagi bayi dikandungan kamu? Apa kamu memeriksakan kesehatan kandungan kamu?” Pertanyaan Bagas Mawardi membuat Jelita langsung terdiam dan tidak mampu menjawab perkataan pria itu. “Makanan yang kamu konsumsi selama masa kehamilan kamu ini jelas tidak bisa memenuhi kebutuhan gizi seorang ibu hamil. Bisa saja membuat bayi yang kamu kandung akan tidak sehat saat lahir nantinya. Selain itu, lingkungan tempat tinggal kamu bukanlah tempat yang aman untuk seorang anak kecil nantinya.” Jelita semakin tidak bisa menjawab perkataan pria paru baya dihadapannya ini. “Dia adalah keturunan keluarga Mawardi Jelita. Dia punya hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan mendapatkan fasilitas terbaik selama hidupnya. Kamu akan jadi Ibu yang sangat jahat jika membiarkan anak kamu harus hidup menderita bersama kamu disaat dia sebenarnya punya kesempatan untuk hidup lebih baik dengan identitasnya sebagai keluarga Mawardi.” Walau hatinya berat, Jelita tidak bisa menyangkal bahwa perkataan Bagas Mawardi adalah sebuah kebenaran. Walau sangat menyayangi bayi di dalam kandungannya ini, bagaimana mungkin ia begitu egois membiarkan anaknya harus hidup menderita seperti dirinya disaat dia sebenarnya bisa saja mendapatkan kehidupan yang lebih baik. “Yang dikatakan suami saya benar Jelita. Cucu kami berhak untuk tumbuh di lingkungan yang baik dan mendapatkan berbagai fasilitas terbaik dalam hidupnya. Dia juga berhak ditangani oleh dokter profesional selama kehamilan kamu ini agar nantinya bisa lahir dengan kondisi sehat,” ujar Arum yang ikut memberikan penjelasan pada Jelita. Airmata mulai mengalir membasahi pipi Jelita. Ia merasa begitu sesak di hatinya menyadari bahwa semua yang dikatakan oleh Bagas Mawardi dan istrinya memang benar. Ia memang memiliki ketakutan jika keluarga Mawardi mengambil anaknya. Namun dilain sisi ia sadar dirinya lebih tidak pantas untuk membawa anaknya hidup menderita bersama dirinya dengan segala kekurangannya saat ini. Jelita akhirnya hanya bisa memberikan anggukan pada kedua suami istri itu. “Yang Tuan dan Nyonya katakan benar. Saya tidak mampu memberikan kehidupan yang baik bagi anak saya, sudah seharusnya ia hidup bersama kalian setelah dilahirkan nanti.” Bagas Mawardi memberikan gelengan. “Bukan hanya dengan kami Jelita,” ucapnya dengan nada tegas. “Cucu saya harus memiliki status yang jelas dihadapan masyarakat dan tidak boleh menjadi anak yang lahir diluar pernikahan.” Perkataan Bagas Mawardi tentu saja membuat Leo dan jelita syok mendengarnya. Keduanya sama-sama memasang ekspresi terkejut karena paham betul tujuan perkataan Bagas Mawardi. “Ayah, jangan bilang Ayah mau aku menikah dengan perempuan ini.” “SUDAH SEPERTI INI KAMU MASIH MENOLAK UNTUK BERTANGGUNG JAWAB LEO MAWARDI,” bentak Bagas dengan suara keras penuh amarah menatap putranya itu. “Apa kamu masih keras kepala dan tidak menyadari bahwa kamu harus bertanggung jawab terhadap Jelita.” Leo akhirnya kembali terdiam dan menunduk. Tidak berani membantah perkataan Ayahnya lagi. “Tidak Tuan. Saya nggak bisa menikah dengan anak anda,” jawab Jelita sambil menggeleng keras. “Saya rela jika anak saya dibesarkan oleh keluarga anda agar dia mendapatkan fasilitas yang terbaik. Tapi, menikah secara paksa dengan anak anda bukan satu-satunya solusi.” “Lalu kamu ingin cucu saya lahir dengan status yang tidak jelas?” tanya Bagas sedikit meninggikan suara. Jelita memberikan gelengan dengan kepala yang menunduk takut. Arum sedikit ragu dengan keputusan suaminya itu. Akhirnya ia mendekati Bagas dan memegang pelan lengan suaminya itu. “Yah. Ibu rasa keputusan ini terlalu terburu-buru. Pernikahan bukan sesuatu yang main-main.” Bagas menggeleng tegas. “Memberikan status yang jelas pada cucu kita juga adalah sesuatu yang penting. Mereka berdua harus menikah agar anak mereka lahir dengan status yang jelas sebagai cucu sah keluarga Mawardi. INI KEPUTUSAN MUTLAK DAN TIDAK BOLEH ADA YANG MEMBANTAHNYA.” Perkataan tegas Bagas Mawardi membuat semua orang yang berada di ruang tengah rumahnya itu terdiam. Tidak ada yang berani membantah perkataannya yang sudah terdengar begitu tegas dan penuh penekanan. Bagas Mawardi kemudian menatap lurus pada putranya Leo Mawardi. “Apa kamu dengar perkataan Ayah Leo? Nikahi Jelita dan bertanggung jawablah dengan anak kamu yang ada dikandungannya,” perintah Bagas dengan nada tegas. Leo melirik sekilas ke arah Gina yang juga tengah menunduk. Ia lalu tanpa sengaja menatap ke arah perut buncit wanita itu. “Iya Yah,” jawab Leo akhirnya. Bagas menghela nafas lega setelah mendengar jawaban Leo. Tanpa mengatakan apapun lagi ia segera membalikkan badannya dan berjalan pergi menuju ruang kerjanya. “Sophia, antar kakak kamu ke kamarnya dan telpon Om Rafael untuk minta tolong datang ke rumah buat periksa kondisi kakak kamu,” perintah Arum setelah kepergian suaminya. “Iya Bu,” jawab sophia. Ia kemudian segera membantu kakaknya berjalan menuju kamarnya dengan langkah pelan karena pria itu masih meringis kesakitan akibat pukulan bertubi-tubi dari Ayah mereka. Arum kemudian meraih bagu Jelita dan merangkulnya lembut. “Ayo Jelita, biar tante anterin ke kamar tamu ya,” ucap Arum. Walau sedikit canggung dan kebingungan Jelita tetap memberikan anggukan sambil tersenyum tipis. Ia lalu mengikuti langkah mantan Nyonyanya itu menuju salah satu kamar tamu yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini. ***** Jelita nampak duduk di atas ranjang sambil terus mengusap lembut perut buncitnya. Ia kemudian mengangkat kepalanya memperhatikan keadaan sekitar kamar tamu yang ditempatinya saat ini. Kamar tersebut memiliki luas tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan kamar kosan yang ia tempati saat ini. Siapa sangka tempat yang dulu selalu dirinya bersihkan selama lima tahun bekerja di kediaman keluarga Mawardi, sekarang akan menjadi tempatnya untuk tidur nanti. Sejujurnya Jelita sangat tidak ingin bergantung pada keluarga dari pria yang sudah melecehkannya. Namun, perkataan Bagas Mawardi seakan menampar dirinya dan menyadarkan dia bahwa bagaimanapun dirinya berjuang sekuat tenaga untuk bekerja, ia tidak akan bisa memberikan kehidupan yang baik pada anaknya. Dibandingkan takut jika anaknya diambil keluarga Mawardi dan dipisahkan dari dirinya, Jelita sekarang malah jadi lebih takut jika anaknya hidup sengsara seperti dirinya yang harus berjuang di tengah kesendiriannya saat ini. Bahkan saat memikirkan bahwa selama enam bulan kehamilannya ini ia bahkan tidak memberikan asupan gizi yang baik untuk bayinya membuat Jelita merasa begitu menyesal. Suara pintu kamar yang tiba-tiba terbuka dari luar membuat Jelita dengan cepat mengusap airmata yang entah sejak kapan sudah membasahi pipinya. Ia kemudian melihat ke arah pintu dan menemukan Sophia yang berjalan menghampirinya sambil membawa sebuah nampan, dimana di atas nampan tersebut terdapat sebuah mangkok dan segelas air putih. Sophia segera meletakkan nampan yang dibawahnya di meja kecil samping ranjang yang diduduki Jelita lalu duduk di samping wanita hamil itu. “Ibu nyuruh aku bawain bubur kacang ijo buat kak Jelita,” ujar Sophia dengan nada lembut. “Bubur kacang ijo bagus untuk Ibu hamil. Kandungan gizinya banyak kaya protein, zat besi, vitamin dan folat," lanjutnya menjelaskan. Sophia Mawardi tentu saja memahami hal ini karena kebetulan dirinya memang mengambil jurusan kuliah di bidang ilmu Gizi. Hal itu membuatnya bisa tahu beberapa kandungan gizi dari makanan sehari-hari. “Makasih Sophia, tapi aku belum lapar. Aku bakal makan itu nanti,” ucapnya. Sophia mengangguk paham, menghargai Jelita yang mungkin memang belum merasa nyaman setelah kembali ke rumah mereka. Perlahan Sophia meraih tangan Jelita dan menggenggamnya lembut. “Kak jelita, Ibu dan Ayah sama sekali nggak berniat buruk kok sama kakak. Ayah ngelakuin semua ini hanya biar Kak Jelita dan anak kakak punya status yang jelas di mata masyarakat. Apalagi keluarga kami cukup dikenal oleh orang-orang. Kalau sampai publik tahu kakak mengandung anak dari keluarga Mawardi tanpa status yang jelas, kakak pasti bakal dibicarakan dan dinilai sebagai perempuan yang tidak baik, bahkan anak yang dikandung kakak bakal dianggap sebagai anak h4ram,” ujar Sophia berusaha memberikan penjelasan pada Jelita. Jelita tersenyum tipis sambil memberikan anggukan pada Sophia. “Aku ngerti kok Sophia,” jawab Jelita. “Aku sedikit kecapean. Boleh kan aku istirahat sebentar?" lanjutnya bertanya dengan nada memohon. Paham jika Jelita butuh waktu sendiri saat ini, sophia segera berdiri dari duduknya. “Ya udah kak, aku keluar dulu kalau gitu. Kakak istirahat yang tenang ya.” Sophia segera berjalan ke arah pintu dan keluar dari kamar tersebut. Meninggalkan Jelita yang masih diliputi berbagai tekanan di dalam hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN