Suasana warung makan tempat kerja Santi dan Jelita hari ini nampak begitu ramai pengunjung. Pesanan nampak tidak berhenti masuk dan makanan terus keluar dari area dapur, dimana hal itu juga membuat piring kotor tidak berhenti datang.
Jelita yang duduk sambil mencuci tumpukan piring kotor beberapa kali harus memukul area belakang pinggangnya yang terasa begitu pegal karena terlalu lama membungkuk. Keringat terus bercucuran membasahi dahinya serta beberapa kali ia menghela nafas panjang, berharap itu bisa sedikit meredakan rasa lelahnya saat ini.
Terlihat dari area dapur Santi berjalan menghampiri Jelita sambil membawa setumpuk piring kotor di tangannya. Ia berjongkok di samping Jelita dan meletakkan piring-piring tersebut. “Pelanggan di depan masih banyak yang harus dilayanin. Kalau udah selesai baru aku ke sini bantuin kamu ya,” ujar Santi yang menatap Jelita dengan tatapan khawatir. Ia tentu saja tidak tega melihat Jelita yang sedang berbadan dua harus mencuci begitu banyak tumpukan piring kotor itu sendirian.
Jelita tersenyum mendengar perkataan Santi. “Udah nggak usah khawatir, aku nggak pa pa kok Santi. Kamu selesaiin pekerjaan kamu aja dulu,” jawabnya agar Santi tidak terlalu khawatir pada dirinya.
“Ya udah aku ke depan dulu ya,” pamit Santi yang akhirnya kembali berdiri dan berjalan masuk ke dalam dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya, dimana masih banyak pelanggan yang harus dilayani.
Jelita menatap kepergian Santi dengan helaan nafas panjang lalu kembali melanjutkan pekerjaannya berkutat dengan tumpukan piring kotor yang harus segera dibersihkan.
Sejujurnya walau pekerjaan Jelita hanya duduk dan mencuci piring. Tidak bisa dipungkiri saat keadaan warung cukup ramai, ia sering merasa sangat kelelahan duduk berjam-jam untuk membersihkan tumpukan piring kotor tersebut. Namun, dirinya tidak ingin terlalu mengeluh dan bahkan menyerah hanya karena rasa lelahnya, karena selain pekerjaan ini belum tentu ia bisa mendapatkan pekerjaan lain guna menabung biaya kelahirannya.
Jelita berjanji pada dirinya sendiri, jika setelah melahirkan nanti ia akan mencari pekerjaan yang lebih baik untuk membiayai hidupnya dan anaknya. Ia tentu tidak ingin anaknya hidup menderita dan tidak mendapatkan kehidupan yang baik.
“Bantu Mama ya nak, biar Mama bisa kuat,” gumam Jelita menatap perut buncitnya. Setiap kelelahan ia memang sering berbicara dengan anaknya, dan entah kenapa hal itu selalu memberikan energi ekstra yang membuatnya kembali bersemangat menjalani aktivitasnya.
Jelita kembali melanjutkan pekerjaannya, meraih satu persatu piring untuk dibilas dengan air, disabuni lalu kembali dibilas dengan air sebelum ditaruh ke tempat jemuran piring. Di tengah kegiatannya itu Santi terlihat kembali muncul dari arah dapur menghampiri dirinya.
“Jelita, di luar ada yang nyariin kamu,” ujar Santi memberitahukan.
Jelita menatap Santi kebingungan. “Siapa yang nyariin aku?”
Santi memberikan gelengan sebagai jawaban, menandakan bahwa ia tidak mengenal orang yang mencari Jelita.
Walau nampak kebingungan, Jelita memilih segera berdiri dari duduknya dengan dibantu oleh Santi. Keduanya berjalan bersama keluar dari area cuci piring menuju dapur dan langsung ke area warung untuk menemui orang yang mencari Jelita.
Langkah kaki Jelita langsung terhenti di depan pintu keluar dapur ketika matanya menangkap sosok orang yang mencarinya itu. Sekali lagi Jelita harus terdiam kaku dengan perasaan takut sambil memeluk erat perutnya.
“Kak Jelita.” Terlihat seorang gadis muda berlari menghampiri Jelita dengan wajah ramah. Di belakang gadis itu seorang wanita paru baya menatap Jelita dengan tatapan sendu dan mata berkaca-kaca.
Jelita tidak bisa berkata-kata, mulutnya seakan kaku saat ini. Ia hanya bisa terdiam dengan jantung berdegup kencang.
“Jelita, gimana kabar kamu nak?” ujar Arumi Naswa dengan nada pelan sambil berusaha meraih tangan Jelita.
Jelita refleks bergerak mundur selangkah menghindari mantan majikannya itu, ia juga menjauhkan tangannya yang baru akan diraih oleh Nyonya dari Bagas Mawardi itu.
Arum dan Sophia tentu saja menyadari ketakutan yang sedang dirasakan oleh Jelita saat ini, apalagi melihat bagaimana wanita itu berusaha menjauh dari mereka.
“Kak Jelita, aku sama Ibu sama sekali nggak berniat jahat. Kita nemuin kakak untuk menebus kesalahan yang udah dilakukan Kak Leo,” ujar Sophia berusaha memberikan penjelasan.
Jelita menarik nafas dalam sebelum memberikan senyuman ramah pada pasangan Ibu dan anak dihadapannya ini. “Nyonya, Non Sophia. Saya nggak tahu bagaimana kalian bisa tahu keberadaan saya, tapi saya nggak butuh kalian untuk menebus apa yang sudah terjadi. Saya sudah tidak punya hubungan apapun dengan keluarga Mawardi, dan kejadian dimalam itu anggap saja tidak pernah terjadi.” Setelah mengatakan hal itu Jelita langsung membalikkan badannya hendak kembali masuk ke area dapur.
“Mungkin kamu bisa mengatakan hal itu jika keadaan kamu saat ini tidak sedang hamil Jelita,” ucap Arumi Naswa dengan nada tegas.
Langkah kaki Jelita langsung terhenti begitu mendengar kalimat tersebut. Ia segera membalikkan badannya dan menatap penuh kebingungan ke arah mantan majikannya itu. “Maksud Nyonya apa?”
Arum kembali maju selangkah mendekati Jelita dengan sorot mata yang menatap lekat. “Jika kamu tidak sedang mengandung saat ini, kamu bisa saja memutuskan hubungan diantara kita Jelita. Tapi kamu lupa bahwa yang ada di kandungan kamu saat ini bukan hanya anak kamu, melainkan cucu kandung saya dan penerus keluarga Mawardi,” ucap Arum dengan nada tegas.
Tangan Jelita refleks memeluk perut buncitnya dengan wajah yang ketakutan mendengar perkataan tersebut. “i..in..ini anak saya Nyonya, sama sekali tidak ada hubungannya dengan keluarga Mawardi,” ujar Jelita berbohong namun dengan nada terbata-bata.
“Apa kamu yakin bisa mempertanggungjawabkan perkataan kamu ini? Jika ternyata anak yang kamu kandung ini terbukti keturunan Mawardi, apa kamu sanggup menerima konsekuensinya?”
Jantung Jelita berdegup kencang, kakinya langsung terasa lemas dan tidak sanggup menopang tubuhnya. Santi dan Sophia refleks memegangi Jelita agar wanita hamil itu tidak terjatuh membentur lantai.
*****
Sebuah mobil terlihat melaju pelan memasuki area sebuah rumah berlantai empat yang adalah kediaman keluarga Bagas Mawardi. Begitu mobil tersebut berhenti tepat di depan teras rumah, pintu mobil bagian kemudi langsung terbuka dan turun seorang pria berjas yang bergerak membukakan pintu belakang mobil.
Dari dalam mobil keluar putra sulung keluarga Mawardi yang juga merupakan pewaris sah Mawardi Corps yaitu Arfandi leo Mawardi. Begitu sudah berdiri tegak di samping mobilnya, pandangan pria itu tanpa sengaja tertuju ke area garasi mobil.
“Bukannya Ayah masih ke Bandung untuk urusan pekerjaan, kenapa mobilnya sudah ada di rumah?” Tanya Leo pada sopir pribadinya.
“Saya dengan dari sopir pribadi Tuan bagas, katanya beliau tiba-tiba ada urusan mendesak yang mengharuskannya untuk segera pulang. Kalau tidak salah Nyonya Arum yang menelpon Tuan untuk segera pulang Pak,” ujar Sopir tersebut menjawab pertanyaan Leo.
Leo mengerutkan alisnya merasa bingung dan penasaran. Hal apa yang membuat Ibunya bisa tiba-tiba memaksa Ayahnya pulang disaat masih ada pekerjaan yang harus diurusnya.
Tidak ingin terlalu lama terjebak dalam pikirannya, Leo segera melangkahkan kakinya menaiki tangga rumah menuju pintu masuk. Ia semakin dibuat bingung saat melihat pintu masuk rumah yang terbuka lebar, seakan memang tengah menunggu dirinya untuk masuk ke dalam.
“Aku pulang,” teriak Leo berusaha memberitahukan orang rumah tentang kedatangannya sambil berjalan memasuki rumah.
Begitu Leo tiba di ruang keluarga, ia melihat Ayahnya, ibunya serta adiknya Sophia yang duduk di sofa ruang tengah sambil menatap lurus pada dirinya. Ekspresi wajah ketiga orang tersebut nampak tidak ramah menatapnya, lebih tepatnya ada amarah di dalam sorot mata mereka.
“Kalian nungguin aku?” Tanya Leo kebingungan sambil berjalan mendekati keluarganya itu. Ia semakin memicingkan matanya dengan ekspresi bingung saat menyadari bahwa tidak hanya keluarganya yang berada di ruang tengah saat ini.
Ada seseorang yang duduk di sofa yang berhadapan dengan keluarganya dengan posisi membelakangi dirinya sehingga ia tidak bisa melihat orang tersebut.
Leo segera mempercepat langkahnya untuk menghampiri mereka dan melihat siapa yang sedang bersama dengan orangtuanya.
Tubuh Leo Mawardi langsung terdiam kaku dengan wajah panik dan syok begitu mendapati bahwa yang duduk bersama keluarganya saat ini ternyata adalah Jelita Ekawati, wanita yang tiga hari ini membuat dirinya cukup frustasi hingga tidak fokus dengan pekerjaannya.