Pagi itu, semua berjalan lancar dan tenang. Meskipun persiapannya relatif singkat karena pernikahan ini cenderung dadakan, tapi progresnya bisa dikatakan sempurna.
Rumah yang nantinya akan menjadi tempat tinggal mempelai wanita, berhasil disulap menjadi tempat resepsi pernikahan yang megah dan mewah. Ketika uang sudah berbicara, hasilnya memang tidak perlu diragukan lagi.
“Jika menolak hidup bergelimang harta tanpa harus kerja keras, Fadia benar-benar bodoh,” ucap Bruno pada sang istri.
“Nyatanya pada akhirnya dia bersedia menerima takdirnya menjadi istri Juragan Iwan. Takdir baik yang akan membawanya hidup makmur. Dan tentunya kita kecipratan untungnya juga,” balas Bonita.
“Kalau begini, bukankah kita tidak sia-sia membesarkannya? Ya meskipun dia sempat kabur selama dua tahun, tapi yang penting kita bisa menemukannya.”
“Benar, Sayang. Aku sempat berpikir kalau Fadia itu beban yang tidak berguna dalam hidup kita yang kesusahan, tapi ternyata dia lumayan memberikan keuntungan untuk kita sekarang,” kata Bonita. “Oh ya Mas, kapan rombongan Juragan Iwan tiba?”
Sejenak Bruno melirik arloji mahal dengan merek ternama yang melingkar di tangannya. “Seharusnya setengah jam lagi mereka sudah tiba di sini.”
“Bagus, lebih cepat lebih baik. Fadia yang mau menikah, tapi aku yang malah tidak sabar,” kekeh Bonita.
Mereka berdua tertawa puas sampai kemudian tawa mereka mendadak lenyap saat seorang pria yang dipercaya menjadi salah satu yang mengawasi gerak-gerik Fadia mengabarkan kalau calon pengantin wanita tiba-tiba menghilang.
Bruno mengepalkan tangannya dengan emosi. “Tidak mungkin! Bagaimana bisa dia menghilang?!”
“Terakhir dia berada di ruangan pengantin, Pak. Saya sangat yakin akan hal itu. Tapi setelah beberapa menit tidak kunjung keluar, kami memeriksanya dan ternyata Fadia tidak ada di dalam. Hanya ada penata rias dan asistennya yang sudah tidak sadarkan diri.”
“Periksa semua CCTV!”
“Itu dia masalahnya, Pak. Semua CCTV mendadak tidak berfungsi.”
“Apa kamu gila sampai meremehkan semua ini?” Bruno semakin naik pitam.
“Maaf, Pak. Ini terlalu rapi jika Fadia melakukannya sendiri. Meskipun tidak punya bukti, saya pikir dia dibantu oleh lebih dari satu orang.”
“Kamu sedang melakukan pembelaan diri setelah gagal menjaga perempuan lemah sehingga dia berhasil kabur?”
“Maaf, Pak. Saya bukan bermaksud….”
“Cari Fadia sampai ketemu!” Wajah Bruno sudah bersiap mengamuk dan melampiaskan amarahnya. Namun, pria itu berusaha menahan diri.
“Kamu harus bertanggung jawab!”
“Baik, Pak. Saya dan tim sedang berusaha mencarinya.”
“Sial. Bahkan tidak lama lagi rombongan pengantin pria akan tiba.” Bruno benar-benar tak tahu harus bagaimana lagi.
Bruno dan istrinya memang sempat mewanti-wanti hal ini. Ya, bagaimana jika Fadia melarikan diri? Namun, mereka menganggap itu mustahil terjadi mengingat Fadia tidak punya siapa-siapa untuk membantunya. Sayangnya anggapan itu ternyata salah karena kini Fadia sungguh menghilang.
“Bagaimana ini, Mas? Sebentar lagi rombongan Juragan Iwan tiba.” Bonita mulai cemas. “Kita harus bilang apa pada Juragan Iwan?”
“Semuanya kacau jika kita gagal menemukan Fadia.”
***
Meskipun Fadia sudah menunjukkan tanda-tanda pasrah dan bersedia dinikahkan dengan Juragan Iwan, tapi penjagaan di rumah ini tidak sedikit pun dilonggarkan. Namun, jangan panggil Arsen jika tidak bisa menaklukkan penjagaan yang ketat.
Berawal dari nekat ditambah dukungan-dukungan dari beberapa orang yang pria itu percaya bisa melancarkan aksinya membawa kabur calon pengantin wanita, semua berjalan sesuai rencana yang memang sudah disusun sangat matang.
Kerja sama, kekompakan dan ketelitian orang-orang yang Arsen bayar mahal untuk hari ini benar-benar maksimal. Mereka tidak boleh ada kata lengah sedikit pun, sampai akhirnya Fadia berhasil digiring tanpa ada yang curiga sedikit pun kalau calon pengantin wanita tersebut hendak dibawa kabur.
Sungguh, Fadia deg-degan saat dirinya masih ada di rumah itu. Sempat terbesit dalam benaknya, bagaimana kalau semua ini gagal? Namun, Fadia tidak seharusnya meragukan Arsen karena saat ini … wanita itu sedang memasuki mobil yang sudah bersiaga sejak tadi.
Fadia spontan merasa lega saat mobil mulai melaju, membawanya meninggalkan rumah tempat dirinya ditawan sejak kemarin.
“Kamu terlihat sangat tegang,” ucap seorang pria yang duduk di samping Fadia.
Rupanya itu merupakan suara Arsen yang memang sengaja menunggu di mobil. Arsen tidak mengemudi, melainkan duduk di kursi belakang bersama Fadia. Sedangkan yang mengemudikan mobilnya adalah Hedy.
“Bagaimana mungkin aku nggak deg-degan?” balas Fadia. “Aku sempat mengira ini akan gagal dan syukurlah aku berada di mobil ini sekarang.”
“Wow, itu rombongan calon pengantin pria,” tunjuk Arsen pada beberapa mobil yang arahnya berlawanan.
“Aku nggak bisa membayangkan betapa kacaunya di rumah itu sekarang.”
“Pamanmu berada dalam masalah besar sekarang,” balas Arsen. “Saya sudah memeriksa latar belakang Juragan Iwan dan dia bukanlah tipe pasrah jika dikecewakan. Pamanmu pasti akan diberi pelajaran yang setimpal,” sambungnya.
“Lalu kenapa?” balas Fadia.
“Kamu tidak apa-apa?”
“Aku nggak peduli lagi sama paman,” ucap Fadia tanpa keraguan. “Lagian buat apa aku peduli pada orang seperti paman? Selama ini aku sudah cukup sabar menghadapinya dan banyak mengalah meskipun tahu hanya dimanfaatkan. Baik paman maupun bibi … mereka sama sekali nggak menyayangiku. Mereka bahkan udah keterlaluan dan aku nggak punya alasan lagi buat peduli pada mereka berdua.”
“Bagus Fadia, saya suka dengan jawabanmu. Jangan pernah menjadi perempuan lemah jika tidak mau diperlakukan semena-mena,” balas Arsen.
“Aku kabur untuk menyelamatkan hidup dan masa depanku. Sudah bagus aku nggak membalas perbuatan mereka. Pokoknya aku nggak peduli lagi apa pun yang terjadi pada mereka,” ucap Fadia.
Mobil pun semakin menjauh, menuju apartemen Arsen. Tempat mereka menghabiskan malam panas sekaligus bertemu untuk terakhir kalinya dua tahun lalu.
“Kamu mustahil kembali ke desa itu, jadi sebaiknya kamu tinggal di apartemen saya dulu. Tempat paling aman dari semua tempat di kota ini,” ucap Arsen saat mobil yang Hedy kemudikan mulai memasuki basemen.
Setelah memarkirkan mobil, Hedy lalu turun dan membiarkan bosnya hanya berdua bersama Fadia.
“Ini.” Arsen menyerahkan sebuah paperbag pada Fadia.
Fadia mengernyit. “Apa ini?”
“Meskipun hanya perlu menaiki lift, tapi tidak menutup kemungkinan orang-orang akan memperhatikanmu jika masih mengenakan gaun pengantin ini,” kata Arsen. “Kamu tidak mau dianggap pengantin yang kabur, kan? Meskipun sebenarnya memang benar kalau kamu kabur.”
“Selain itu, kamu juga tidak mau orang mengira kalau saya menculikmu. Jadi, gantilah pakaianmu sekarang.”
“Di sini? Di mobil ini.”
“Memangnya kenapa?” Arsen langsung menutup tirainya. “Di sini aman dan tidak akan ada yang melihat.”
“Bukankah Mas Arsen seharusnya keluar?”
“Kenapa memangnya kalau saya tetap di dalam?”
Dari ekspresi Fadia yang seperti orang yang hendak mengamuk, membuat Arsen segera berbicara lagi, “Ini saya mau turun, kok.”
Fadia tidak menjawab.
Arsen yang sudah membuka pintu mobilnya bergumam, “Padahal saya sudah pernah melihat semuanya, jadi untuk apa saya keluar.”
“Apa Mas Arsen bilang?”
Arsen spontan tersenyum sangat manis. “Tidak. Saya hanya bicara tidak jelas. Silakan ganti bajumu dan jangan lama-lama.”
Setelah Arsen menutup pintunya dari luar, Fadia langsung melihat isi paperbag pemberian Arsen.
“Dia bahkan menyiapkan pakaian ganti untukku. Apa boleh se-niat ini?” gumam wanita itu.
Selesai mengganti pakaiannya, Fadia lalu keluar. Arsen yang semula membelakanginya otomatis memutar tubuh ke arah wanita itu.
“Sudah selesai?” tanya Arsen.
Fadia pun mengangguk. Tak lama kemudian, mereka berjalan beriringan menuju lift. Selama perjalanan dari basemen hingga lift bergerak naik membawa mereka ke lantai di mana unit apartemen Arsen berada, keduanya tak banyak terlibat obrolan. Terlebih di lift bukan hanya ada mereka berdua.
Sampai kemudian, Arsen sudah berada di depan pintu apartemennya dan sedang memasukkan beberapa digit angka sebagai password-nya sehingga pintu pun terbuka.
Fadia mengikuti Arsen masuk. Namun, saat Arsen menghentikan langkahnya, sontak Fadia juga harus melakukan hal yang sama agar tubuhnya tidak menubruk punggung pria itu. Nyaris saja. Untungnya Fadia bisa mengendalikan tubuhnya.
“Kamu ngapain?” tanya Arsen.
“Enggak ngapa-ngapain.”
“Duduklah, saya ambil minuman untuk kamu dulu.”
Fadia pun mengangguk.
Tak lama kemudian Arsen menuju pantry. Tidak sampai lima menit, pria itu sudah kembali dengan dua botol minuman segar yang langsung diletakkan di meja.
Fadia yang sudah duduk di sofa berkata, “Terima kasih.”
Fadia pun meminumnya. Segel botolnya bahkan sengaja Arsen buka lebih dulu agar memudahkan Fadia saat ingin meminumnya.
“Ternyata Mas Arsen masih tinggal di sini setelah dua tahun berlalu,” ucap Fadia seraya menutup kembali botol minuman yang tersisa setengahnya.
Arsen yang baru selesai menenggak minumannya juga kembali menutup botolnya rapat-rapat dan meletakkannya di meja.
“Saya tipe orang yang tidak mudah betah jadi untuk apa pindah kalau tidak ada alasan yang jelas? Asal kamu tahu, tinggal di sini bertahun-tahun pun saya tidak akan kepikiran pindah. Belum tentu tempat yang baru akan membuat saya nyaman seperti di sini,” jelas Arsen.
“Saking betahnya,” balas Fadia sambil mengangguk-angguk.
“Bukan hanya itu. Ada alasan yang lebih utama kenapa saya tidak akan pindah, yaitu kamu. Saya menunggu kamu barangkali akan datang ke sini lagi. Sayangnya selama dua tahun menunggu, kamu tidak kunjung datang lagi.”
“Mana mungkin aku datang? Aku nggak punya alasan untuk itu. Seharusnya Mas Arsen nggak perlu menungguku.”
“Bagaimana mungkin saya tidak menunggumu?”
“Mas, hubungan kita dua tahun lalu itu … sebatas uang dan nafsu. Kita hanya saling membutuhkan satu sama lain. Aku membutuhkan uang Mas Arsen sedangkan Mas Arsen butuh teman tidur. Seharusnya Mas Arsen nggak perlu menambahkan perasaan.”
“Kamu pikir saya mencintaimu dengan rencana? Perasaan ini tiba-tiba muncul dan tidak bisa hilang bahkan setelah dua tahun. Jadi, bukankah sekarang waktunya bagi kamu untuk bertanggung jawab.”
Fadia mengernyit. “Apa? Bertanggung jawab?”
“Ya. Bertanggung jawab dengan cara menjadi istri saya.”
“Tunggu….” Fadia perlu loading dulu. “Mas Arsen bercanda, kan?”
“Saya serius. Saat saya hendak membebaskanmu dari rumah itu, saya sempat bilang agar kamu jangan berterima kasih dulu, kan? Tapi berterima kasihlah saat saya berhasil membawamu pergi dari sana. Nah, sekarang adalah waktunya kamu berterima kasih. Lebih tepatnya dengan cara menerima ajakan menikah dari saya.”
Fadia menggeleng. “Itu nggak masuk akal, Mas. Kenapa nggak bilang dari awal kalau cara berterima kasihnya begini?”
“Pikirkanlah, lebih baik menikah dengan saya atau Juragan Iwan?”
Fadia tidak menyangka akan begini jadinya. Haruskah ia menerima ajakan menikah dari pria di hadapannya ini? Pria yang usianya terpaut jauh dengannya?