Bab 7 - Selangkah Lagi

1615 Kata
Kenapa harus ada yang mengetuk pintu di saat-saat seperti ini? Bukan, ini bukan tentang mengganggu ciuman panas antara Fadia dengan Arsen. Fadia hanya takut ketahuan kalau ada Arsen di kamar ini. Fadia tidak mau apa yang Arsen rencanakan dan susun dengan susah payah berantakan begitu saja. Namun, tidak membuka pintu sama halnya dengan menciptakan kecurigaan. Itu sebabnya mau tidak mau Fadia harus membuka pintu untuk melihat siapa yang datang. Tentunya Fadia memastikan Arsen sembunyi di tempat yang aman dulu, barulah ia berani membuka pintunya. “Siang Non Fadia,” sapa wanita paruh baya sambil membawa nampan berisi dua buah lunch box serta minumannya. “Saya ART di rumah ini. Izinkan saya masuk untuk meletakkan makan siang ini.” Sebenarnya tidak bisa dikatakan makan siang juga karena waktunya sudah terlalu terlambat. “Oh itu makan siang untukku dan Mbak terapis kecantikan yang ada di dalam, ya? Sini biar aku bawa sendiri aja.” “Biar saya yang bawa masuk ke dalam, Nona. Saya….” “Aku bisa bawa sendiri, Mbak.” Fadia tersenyum ramah, membuat ART luluh dan membiarkan Fadia mengambil alih nampan di tangannya. “Sejujurnya melihat Non Fadia, saya jadi teringat anak saya di kampung. Usia kalian tidak berbeda jauh,” ucap ART itu tiba-tiba. “Dan saya merasa prihatin Non Fadia harus menikah dengan laki-laki seusia Juragan Iwan bahkan Non Fadia harus menjadi istri keempat. Andai bisa, saya ingin membantu Non Fadia kabur dari sini.” Fadia berpura-pura tersenyum. “Mau bagaimana lagi, ini takdir yang harus aku terima.” “Saya juga sebenarnya disuruh memastikan apakah Non Fadia ada di dalam dan tidak kabur.” “Bilang pada paman dan bibi, kalau aku ada di dalam dan masih harus menjalani serangkaian perawatan kecantikan demi pernikahan besok,” ucap Fadia. “Tapi terapis kecantikan-nya sedang apa? Kenapa Non Fadia yang membuka pintu?” “Mbak terapis-nya sedang di kamar mandi. Dia pasti akan sangat berterima kasih setelah tahu dibawakan makan siang,” bohong Fadia spontan. “Kalau begitu jangan lupa dimakan makanannya ya, Non.” Fadia mengangguk. “Terima kasih ya, Mbak.” *** Setelah ART pergi, Fadia langsung masuk lagi ke kamar. Begitu pintu ditutup olehnya dari dalam, ia langsung merasa lega. Langsung saja ia meletakkan nampan berisi makanan di meja. Fadia bersyukur bisa menghadapi ART rumah ini dengan mudah. “Aman?” tanya Arsen seraya muncul dari arah walk in closet. “Aman. Barusan hanya ART yang membawa makanan.” “Walaupun hanya membawa makanan, tapi kamu tetap jangan lengah karena bisa jadi dia sedang mengawasimu,” kata Arsen. “Pokoknya di rumah ini … jangan pernah percaya siapa pun.” “Yayaya, aku hanya perlu percaya pada Mas Arsen seorang, betul?” “Saya serius.” “Aku juga serius,” balas Fadia. “Ya ampun, kamu ini membuat saya tidak bisa menahan diri. Saya tidak bisa jika tidak begini….” Arsen kembali mencium Fadia, ini seperti melanjutkan ciuman yang sempat terhenti karena kedatangan ART tadi. Arsen semakin menggebu-gebu mencium Fadia, terlebih tidak ada penolakan dari wanita itu, membuat Arsen sangat bersemangat. Hanya saja, ini sudah waktunya Arsen pergi. Untuk itu ia segera melepaskan ciuman mereka. “Fadia, kehilanganmu selama dua tahun ini membuat saya benar-benar merindukanmu,” ucap Arsen. “Meskipun saya tahu kamu tidak merindukan saya, tapi percayalah saya sangat merindukanmu.” Setelah mengatakan itu, Arsen kembali pada mode penyamaran dengan berpenampilan seperti semula. Ia kemudian pamit sekali lagi pada Fadia. “Sampai jumpa besok dan saya pastikan akan berhasil membawamu keluar dari sini.” Itu adalah kalimat terakhir Arsen sebelum meninggalkan kamar Fadia. Tentu saja Fadia berharap Arsen baik-baik saja dan bisa meninggalkan rumah ini dengan selamat agar bisa menjemput dirinya keesokan hari. Ya, sekarang Fadia sungguh menggantungkan harapannya pada seorang Arsen. Pria yang sebenarnya jauh lebih tua darinya, tapi Fadia justru merasa nyaman berdekatan dengan pria itu. Jujur, Fadia tidak menyangka Arsen mencoba menemukannya selama ini. Ia pikir, hubungan mereka hanya sebatas nafsu dan uang. Namun, rupanya pria itu benar-benar menaruh hati pada Fadia. Selama ini Fadia mengira tidak ada orang yang peduli apalagi benar-benar mencintainya, tapi ternyata pria bernama Arsen itu mampu melakukan segalanya demi menyelamatkannya dari pernikahan konyol yang seharusnya tidak terjadi. Mengingat tentang Arsen yang bahkan belum ada sepuluh menit meninggalkan kamar ini, seketika hati Fadia menghangat. Ia berharap besok semuanya berjalan lancar. *** “Aman, Nyonya … saya rasa Non Fadia pasrah menerima pernikahan ini,” ucap ART yang tadi ditugaskan membawa makanan sekaligus memastikan Fadia berada di kamar dan tidak kabur. “Saat saya mengantar makanan, Non Fadia sendiri yang menerimanya,” tambah sang ART. “Kamu yakin dia pasrah? Tadi pagi saat saya menemuinya, dia bersikeras menolak pernikahan ini,” balas Bonita. “Untuk membuktikan, saya sengaja mengujinya dengan memancing tentang menawarkan untuk membantunya kabur, tapi Non Fadia tidak tertarik. Bahkan, cenderung mengabaikan perkataan saya,” jelas ART. “Padahal normalnya dia meminta bantuan untuk melarikan diri, bukan? Terlebih dia tidak punya siapa-siapa lagi.” “Bagus kalau begitu. Tadinya saya pikir dia akan berusaha melakukan perlawanan pada terapis kecantikan yang melakukan perawatan pada tubuhnya lalu melarikan diri. Ternyata tidak,” kata Bonita. “Sepertinya dia sadar dengan posisinya yang sangat terdesak dan mustahil bisa kabur dari rumah yang penjagaannya cukup ketat ini.” Bonita kembali berbicara, “Tapi meskipun begitu, saya sebaiknya tetap di sini meskipun sebenarnya ingin sekali pulang.” “Nyonya butuh sesuatu?” “Bawakan saya minuman segar sekarang juga.” “Baik, Nyonya.” *** Terapis kecantikan itu baru bangun saat Fadia baru selesai makan. Fadia memang memutuskan makan duluan karena sudah lapar dan tidak tahu sampai kapan terapis itu memejamkan mata. “Nona….” Wanita itu terduduk sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Ya, tentu saja ia terkejut mendapati dirinya baru saja terbangun padahal seharusnya sedang melakukan serangkaian perawatan pada wajah dan tubuh Fadia. “Sudah bangun rupanya,” balas Fadia. “Makan dulu nih,” lanjutnya seraya menunjuk lunch box di meja. “Sebenarnya apa yang terjadi, Nona? Aku tidak habis pikir bisa-bisanya tertidur….” “Mengantuk itu manusiawi, kok,” potong Fadia. “Sejujurnya aku ketiduran lebih dulu. Saat aku bangun, aku mendapati kamu juga tidur. Aku nggak mempermasalahkan itu toh nggak lebih dari satu jam. Anggap aja itu waktu istirahat kamu dan sekarang waktunya makan. Setelah itu, barulah bisa dilanjutkan perawatannya.” “Terima kasih sudah memahaminya, Nona. Saya benar-benar minta maaf.” “Bukan masalah. Ayo, makan dulu.” “Baik, Nona.” Fadia bersyukur wanita di hadapannya ini tidak ingat kejadian detailnya. *** Kamar di mana Fadia berada saat ini sengaja dikunci dari luar agar wanita itu tidak kabur. Kabur lewat jendela pun bukan pilihan yang baik mengingat Fadia mustahil lompat dari ketinggian yang lumayan di lantai dua. Lagi pula Fadia sudah tidak kepikiran soal kabur lagi. Bagaimana tidak, wanita itu sudah punya harapan yang jelas bahwa Arsenlah yang akan membawanya kabur dari tempat sialan ini. Itu sebabnya saat menjelang malam seperti ini, Fadia memilih menonton TV di kamar dengan santai. Ia tak peduli kalau rumah ini sudah disulap sedemikian sempurna untuk keperluan pernikahan besok, yang Fadia perlu lakukan adalah tetap tenang agar bisa menghadapi hari esok dengan lebih rileks. Tiba-tiba pintu terbuka dari luar. Fadia spontan menoleh bersamaan dengan Bonita yang masuk menghampirinya. “Aku tahu kamar ini dikunci dari luar, tapi bisakah untuk tetap mengetuk pintu dengan sopan?” tanya Fadia cenderung santai. Melihat Fadia sedang bersantai, anehnya Bonita merasa ada yang janggal. Fadia tidak mungkin sedang merencanakan sesuatu, kan? “Fadia.” “Ya?” “Apa yang membuatmu berubah pikiran?” tanya Bonita kemudian. “Sampai tadi pagi kamu masih bersikeras menolak, tapi kenapa kamu se-santai ini. Kamu bersikap seolah pasrah akan dinikahkan dengan Juragan Iwan.” “Memangnya kenapa? Bukankah ini yang Bibi inginkan?” Fadia balik bertanya. “Bibi hanya merasa kamu sedang merencanakan sesuatu yang entah apa itu.” “Memangnya aku boleh kabur?” Bonita secepatnya menggeleng. “Jangan coba-coba.” “Tuh kan, jadi serba salah. Saat menolak dinikahkan, aku tetap dipaksa. Sekarang aku udah pasrah malah dikira sedang merencanakan sesuatu.” “Bukan begitu maksud bibi….” “Aku udah mempertimbangkannya, Bi. Aku nggak mau membuang-buang energi karena aku mustahil bisa kabur dari sini,” ucap Fadia sengaja. “Setelah dipikir berulang kali pun … aku merasa menjadi istri keempat bukanlah sesuatu yang seratus persen buruk. Seenggaknya aku bisa ongkang-ongkang kaki menikmati berbagai fasilitas dan harta Juragan Iwan, kan? Aku nggak perlu susah payah mencari uang lagi. Sekarang waktunya bagi aku untuk menikmati hidup,” lanjutnya yang tentu saja tidak sesuai dengan isi hatinya. “Akhirnya kamu sadar juga. Bibi senang mendengarnya,” balas Bonita. “Lagian kalau pernikahan ini gagal, paman dan Bibi pasti terkena dampaknya, bukan? Juragan Iwan pasti marah besar pada kalian,” kata Fadia. “Jadi, berterima kasihlah padaku.” “Berterima kasih apanya? Ini pelunasan balas budi,” sanggah Bonita. “Baiklah, terserah deh kalau begitu.” Bersamaan dengan itu, terdengar pintu yang diketuk. Pintu kamar yang memang terbuka lebar semenjak Bonita masuk, memungkinkan bagi Fadia untuk melihat siapa yang mengetuk pintu tersebut. “Akhirnya datang juga,” ucap Bonita menyambut seorang wanita yang mengetuk pintu barusan. “Ini calon pengantinnya?” “Ya,” jawab Bonita. “Silakan masuk.” Di sela-sela kebingungan Fadia tentang siapa wanita yang disambut hangat oleh bibinya, ia lalu menemukan jawaban saat beberapa orang lainnya masuk sambil membawa gaun-gaun yang cantik. Sudah pasti itu gaun pengantin. “Fadia, pilihlah yang kamu sukai dan nyaman bagimu,” ucap Bonita. Tentu saja Fadia akan memilihnya dengan jeli. Ia akan memilih yang paling simple dan nyaman supaya memudahkannya saat melarikan diri. Selangkah lagi. Aku jadi nggak sabar ingin cepat-cepat besok lalu kabur dari sini. Apakah rencana kabur Fadia akan berhasil?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN