5. Terpaksa Berhenti

781 Kata
“Nak Barra!” Seseorang memanggilnya saat berjalan menapaki jalan setapak kecil yang dilaluinya menuju ke sebuah kafe. Pertemuan singkat dengan para klien telah berakhir, kini dia ingin pulang untuk menyambut kepulangan neneknya dari rumah sakit. “Ya, ada apa Pak? Bapak kenal saya?” Seorang pria tua yang tampak membungkuk berjalannya, kini berada di hadapannya, berdiri dengan senyum yang cukup menawan menurutnya. “Nak Barra, beruntung aku bertemu kamu hari ini. Ada yang ingin aku bicarakan mengenai nenekmu,” “Nenekku?” Pria tua itu mengangguk, pria seusia dengan papanya itu tampak mengulurkan tangannya dan menyebutkan namanya. “Perkenalkan, Pak Romlan. Kamu Barra cucu tersayang dari Jessica, kan?” Barra ingin mengangguk tapi ia urungkan, tiba-tiba saja terlintas sesuatu yang kurang berkenan di hatinya dan dia menelisik wajah pria tua yang guratan wajahnya menampilkan ketampanan di waktu mudanya. “Kita bicara di sana, ayo, sekalian pesan minuman, biar aku yang traktir kamu,” Barra mengikuti langkah pria itu dan ingin mendengar apa yang akan dibicarakannya. “Duduklah! Aku butuh waktu banyak untuk bisa bertemu denganmu,” Barra melihat ke sekeliling, ada seorang anak kecil laki-laki yang terlihat terjatuh tersandung batu saat dia berlarian tadi. Seorang wanita menolongnya, ia hampir memekik karena wanita itu merupakan ibu dari penjual takjil yang sedang dicarinya. Tapi pria tua yang bersamanya mengajaknya bicara. Ia menghela napas sambil meremas jemarinya karena kesal. “Nenekmu, beliau katanya sakit, ya?” Barra menatapnya, lalu mengangguk. “Sakitnya pasti cukup parah,” Barra mengerutkan keningnya. “Memangnya Bapak kenal dengan nenekku?” Pria itu menunduk lalu mendesah perlahan. “Ceritanya cukup panjang. Tapi aku tidak akan mengatakan sekarang. Hanya ingin tahu kabar terbaru dari nenek Jessica,” “Bukannya bapak tadi bilang sudah tahu? Nenekku memang sakit. Hampir satu minggu dirawat,” “Ya, aku mendengarnya dari seseorang. Dan sekarang aku ingin bertanya langsung padamu,” Barra diam saja, dia belum tahu apa maksud pembicaraan ini. Bapak tua itu menerima minuman yang mereka pesan. Seorang pelayan mengantarkannya berikut makanan yang dipesannya. Pria tua itu ternyata memesan nasi dan minta ijin padanya untuk makan. Sebenarnya dia enggan berbicara cukup lama tapi dia penasaran dengan yang akan dikatakannya lagi. Setelah menghabiskan makanannya, pria tua itu menangis. “Maafkan aku, Barra. Selama ini telah mengawasimu hingga akhirnya memberanikan diri bertatap muka seperti ini,” “Anda tahu namaku dari mana?” Pria itu terdiam sejenak lalu tersenyum. “Aku telah melihatmu sejak lama dan selalu mengawasi setiap aktivitasmu,” Barra mengerutkan keningnya. Pria itu berbicara cukup banyak dan membuatnya tertegun bahkan sangat tercengang. ** “Anne, ayo masuk, dokter telah memanggil,” Anne berjalan mengikuti langkah kaki ibunya menuju ke dalam ruangan dokter dan memeriksakan sakitnya. Ia kena asam lambung dan dokter menyarankan agar beristirahat penuh sampai kondisi memungkinkan untuk beraktivitas lagi. Senja mulai merayap, langit Jakarta memerah keemasan, tanda waktu berbuka puasa semakin dekat. Di sebuah gang sempit, Anne duduk dan tampak lesu. Biasanya, di saat seperti ini, dia sudah sibuk menata dagangan takjilnya di depan rumah. Namun, hari ini, ia hanya bisa duduk termenung di teras, menatap nanar teman-temannya yang sibuk berjualan. "An, kamu yakin tidak mau berjualan? Pembeli pasti ramai hari ini," ujar Rina, tetangga sekaligus teman dekatnya, sambil menata kolak pisang buatan ibunya. Anne menggeleng lemah. "Tidak, Rin. Ibu melarangku. Asam lambungku kambuh lagi, dan Ibu bilang aku harus istirahat total." Rina menghela napas. Ia tahu betul bagaimana semangatnya Anne berjualan takjil untuk pertama kalinya saat bulan Ramadan ini. Karena dengan cara inilah yang bisa membuat Anne mengisi kekosongan waktu sambil menunggu panggilan kerja seperti dirinya. Ini juga salah satu cara Anne membantu perekonomian keluarganya, terutama agar bisa membantu mengurangi beban keluarga. Namun, kesehatan Anne memang seringkali menjadi penghalang. "Tapi, Rin, aku sudah berangan-angan ingin jualan setelah selesai sakit," keluh Anne, matanya berkaca-kaca. “Malah aku sudah bungkus camilan ringan ke dalam pouch cantik itu. Kamu lihat, kan cukup banyak lho aku bungkusnya,” keluhnya lagi. Rina menepuk bahu Anne, mencoba menghibur. "Ibumu benar, An. Kesehatanmu lebih penting. Biar aku bantu jualkan sebagian dagangan kamu, ya? Kamu istirahat saja di dalam." Anne tersenyum tipis, merasa terharu dengan kebaikan Rina. "Terima kasih, Rin. Kamu memang sahabat terbaikku." Dengan berat hati, Anne masuk ke dalam rumah. Diambilnya dagangan miliknya yang sudah terbungkus rapi. “Ini Rin, jumlahnya ada 30, kamu aku kasih bonus 2 pouch. Harganya dari aku dua ribu lima ratus, kamu jualnya terserah deh,” Rina menerimanya kemudian berpamitan pergi karena hari sudah mulai sore. Anne melepas kepergian temannya dengan wajah sedih. Ia duduk termenung dan memilih masuk ke kamar saat temannya benar-benar telah pergi tak terlibat lagi punggungnya. Rasanya sangat sedih harus menghentikan aktivitas berjualannya. Ibunya pun terpaksa libur jualan agar bisa merawat dirinya yang sedang sakit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN