Mentari pagi di ufuk timur belum sepenuhnya menghangatkan kota ini, namun gurat kecemasan sudah lebih dulu membekas di wajah Anne.
Di ruang tunggu rumah sakit, dinginnya lantai seolah ikut menusuk hatinya yang pilu. Ibunda tercinta harus menjalani operasi, sebuah pertarungan hidup dan mati yang membuat Anne tak bisa berbuat banyak selain meremas jemarinya sendiri.
Di tengah pusaran kekhawatiran itu, sebuah sapaan lembut menyentak nuraninya.
"Anne?"
Ia mendongak. Di hadapannya berdiri seorang pria dengan senyum teduh yang selalu berhasil menenangkan gejolak hatinya.
Arya. Teman sekelasnya yang selalu diam-diam memperhatikannya. Kehadirannya pagi itu seperti setitik cahaya di tengah kegelapan.
"Arya? Kamu kok ada di sini?" tanya Anne dengan suara serak.
"Aku dengar dari teman-teman," jawab Arya pelan, matanya menyimpan kepedulian yang mendalam.
Ia duduk di sampingnya, menjaga jarak namun kehadirannya terasa begitu nyata. "Bagaimana keadaan ibumu?"
Anne menghela napas. "Belum ada kabar. Doakan semoga operasinya lancar, ya."
Hening sejenak menyelimuti mereka. Arya tak berusaha menghibur dengan kata-kata klise. Ia hanya ada, hadir sepenuhnya di sampingnya.
Kehangatan diamnya justru terasa lebih menenangkan daripada rangkaian kalimat penyemangat yang seringkali terasa hampa.
"Kamu sudah sarapan?" tanya Arya kemudian, memecah keheningan dengan nada lembut. Anne menggeleng lemah. "Mau aku belikan sesuatu? Atau kopi?"
Anne kembali menggeleng, namun kali ini ada sedikit kehangatan menjalari hatinya. Perhatian sederhana pria itu terasa begitu berarti di tengah situasi sulit ini. Lebih dari sekadar teman, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Arya, sebuah kelembutan yang membuat jantung Anne berdebar tak menentu. Ia tahu, jauh di lubuk hatinya, Arya menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.
Namun, di tengah musibah yang menimpanya, Anne belum mampu memikirkan hal lain.
Waktu terus berjalan lambat. Setiap detik terasa seperti jarum yang menusuk-nusuk. Arya tetap setia menemani, sesekali menawarkan air minum atau sekadar bertanya kabar terbaru.
Kehadirannya yang tanpa pamrih menjadi sumber kekuatan tak terduga bagi Anne.
Hingga akhirnya, seorang dokter keluar dari ruang operasi dengan senyum lega. "Operasinya berjalan lancar," ucapnya, dan seketika air mata Anne tumpah. Bukan lagi air mata kecemasan, melainkan air mata kelegaan yang bercampur haru.
Arya segera meraih tangan Anne, menggenggamnya erat. "Alhamdulillah," bisiknya tulus.
Dalam momen kelegaan itu, Anne menatap Arya. Ia melihat ketulusan di matanya, kepedulian yang begitu nyata. Musibah ini, di tengah kesedihannya, justru membuka matanya pada sebuah rasa yang selama ini tersembunyi.
Bukan hanya rasa sayang seorang teman, tapi lebih dari itu. Kehadiran Arya di saat tergelap nya, tanpa banyak bicara namun begitu berarti, telah menorehkan kesan yang mendalam di hatinya. Mungkin, di balik musibah ini, ada sebuah benih cinta yang mulai bersemi.
Setelah mendengar kabar bahwa operasi ibunya berjalan lancar, Anne merasakan kelegaan yang luar biasa. Air mata haru masih membasahi pipinya ketika Arya menggenggam tangannya erat, menyalurkan ketenangan yang ia butuhkan.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Seorang perawat menghampiri mereka dengan raut wajah sedikit khawatir.
"Maaf, Ibu pasien membutuhkan transfusi darah segera. Persediaan golongan darah O negatif di bank darah sedang menipis," ujar perawat itu dengan nada cemas.
Seketika, senyum di wajah Anne memudar. Ia tahu betul betapa langkanya golongan darah ibunya. Kepanikan mulai menyeruak di dadanya. "Lalu bagaimana, Sus? Apa yang harus kami lakukan?" tanyanya dengan suara bergetar.
Ayahnya juga bingung karena sebelumnya tidak menyangka jika mereka harus mencari golongan darah yang cukup langka ini.
"Yah, bagaimana ini?" tanya Anne dengan penuh kecemasan.
Arya dengan sigap menimpali, "Golongan darahku O. Apakah aku bisa mendonorkan darah?"
Perawat itu tampak sedikit ragu. "Tentu saja bisa, Tuan. Tapi kami membutuhkan beberapa kantong, dan kami tidak yakin satu orang pendonor bisa mencukupi semuanya."
Kecemasan kembali mencengkeram hati Anne dan juga Ayahnya. Ia menatap Arya dengan tatapan penuh harap. "Apa kamu yakin, Nak Arya?" tanya Ayahnya Anne penuh harapan.
"Tentu, Pak, Anne. Jangan khawatir. Kita pasti bisa mengatasinya," jawab Arya mantap, berusaha menyalurkan keyakinan padanya.
Namun, di tengah harapan itu, muncul suara lain yang membuat Anne terkejut. Seorang wanita paruh baya dengan wajah khawatir menghampiri mereka. "Arya? Kamu di sini? Ada apa?" tanyanya dengan nada sedikit curiga.
Arya menoleh dan tampak sedikit terkejut melihat wanita itu. "Mama? Ehm ... aku sedang menemani Anne. Ibunya baru selesai operasi dan membutuhkan transfusi darah."
"Oh ya, Anne, Pak, perkenalkan ini mama Arya,"
Tante Rina, wanita yang ternyata adalah mamanya Arya, menatap Anne dengan tatapan menilai. Ada keraguan dan sedikit ketidaksenangan di matanya. "Golongan darah O negatif itu langka sekali. Kamu yakin bisa membantu?" tanyanya pada Arya, nadanya terdengar kurang ramah pada Anne.
Rupanya wanita itu mendengar apa yang mereka bicarakan. Sepertinya wanita itu kurang menyukainya dan berharap anaknya tidak memberikan darahnya pada orang lain terutama untuk ibunya.
Anne merasakan sedikit sentakan di hatinya. Ia mengerti kekhawatiran seorang ibu, namun nada bicara wanita itu membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi, ia menangkap tatapan kurang setuju yang dilayangkan padanya.
"Aku akan berusaha semaksimal mungkin, Mah," jawab Arya dengan sopan namun tegas.
Mamanya tampak menghela napas. "Baiklah.Tapi jangan sampai kamu sendiri yang sakit. Kamu punya riwayat anemia, Arya."
Ucapan wanita itu bagai petir di siang bolong bagi Anne. Ia baru tahu bahwa Arya memiliki riwayat anemia. Kekhawatiran kembali menyeruak, kali ini bukan hanya untuk mamanya, tapi juga untuk Arya.
"Arya, kamu punya anemia? Kenapa kamu tidak bilang?" tanya Anne cemas.
Arya menatap Anne dengan senyum tipis. "Ini bukan saatnya membahas itu. Yang penting sekarang adalah membantu ibumu."
Namun, Anne tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Di satu sisi, ia sangat berterima kasih atas niat baik Arya. Di sisi lain, ia tidak ingin pengorbanannya membahayakan kesehatannya sendiri.
Konflik batin mulai berkecamuk di benaknya. Ia harus memilih antara menerima bantuan Arya dengan risiko kesehatannya, atau mencari cara lain di tengah keterbatasan waktu dan persediaan darah.
Momen kelegaan pasca operasi kini berganti dengan dilema yang tak kalah berat.
Ia bingung dan berusaha untuk mencari cara lain. Ayahnya berusaha mencari dengan menghubungi beberaow kerabat dan orang-orang terdekat yang bisa dihubungi mereka.