8. Kenapa, An?

790 Kata
Pagi ini, ketika akan berangkat ke kantor, Barra melihat mamanya panik saat keluar dari kamar neneknya. “Barra! Cepat kamu kesini!” “Ada apa, Mah?” Mamanya tampak bercucuran air mata, lalu menyuruhnya pergi ke kantor dan mengajak gadis pembuat takjil. “Buruan! Pergi sekarang!” Barra tidak mengerti sebetulnya tapi mamanya menangis dan minta dia pergi. Di kantor, terlihat Anne baru saja datang dan menata mejanya. “Ne, Ane!” “Ya, Pak,” Gadis itu tampak sumringah dan tersenyum lebar saat menoleh ke arahnya, darahnya berdesir. Jujur, ia kagum saat melihatnya. “Ne, ikut aku ke rumah, yuk!” “Apa, Pak? Ngapain, eh maksud aku … “ “Nenekku sakit, tiba-tiba pagi ini ingin ketemu kamu, beliau pernah mencicipi takjil buatan kamu,” ujar Barra. Anne membulat matanya, “Tapi, Pak apa hubungannya denganku? Kan takjilnya udah nggak buat lagi? Maaf, semenjak ibu kecelakaan waktu itu, waktu Anne terkuras untuk mengurus ibu,” Memang semenjak kecelakaan beberapa minggu yang lalu, saat ibunya mengalami kecelakaan ketika pulang dari berbelanja bahan takjil, semua jadi buyar. Anne tidak bisa lagi membuat takjil untuk dibawa ke kantor dan hari ini ibunya akan dibawa ke rumah sakit lagi. “Ayo, mamaku sudah mewanti-wanti agar tidak terlalu lama mengajakmu ke rumah!” Anne bergegas mengikuti langkah atasannya yang langsung pergi keluar dan masuk ke mobilnya. Beberapa karyawan lain merasa heran dan ingin tahu apa yang dilakukan mereka. “Ngapain tuh si Anne sama CEO kita? Keganjenan jadinya ditempelin terus tuh!” ketus seorang wanita yang berkacamata tebal. Sementara itu Anne hanya diam saja saat berada di dalam mobil, ia bingung karena dia belum pernah bertemu dengan keluarga orang kaya. “Pak, apa yang sebenarnya terjadi? Ehm … nenek Pak Barra kenapa sih?” Barra hanya meliriknya sebentar, lalu menyuruh Anne untuk mengikuti permintaan neneknya. “Permintaan yang bagaimana ini, Pak?” tanyanya lagi. Barra mengedikkan bahunya lalu membelokkan mobil ke arah kanan dan masuk ke sebuah pelataran luas dengan lingkungan yang cukup asri disana. Sebuah rumah mewah yang cukup besar membuat Anne takjub, mereka masuk kesana setelah mobil yang ditumpanginya berhenti didepannya. “Ayo, An. Kita masuk. Nenek Jessica sudah menunggu,” Anne menangguk dan masuk ke setiap ruangan yang di dalamnya benar-benar luas dan sangat mewah. Mereka berhenti di depan sebuah kamar dan Anne bimbang saat Barra mengajaknya masuk. “Ayo, temui nenek!” “Ehm … nggak Pak, disini saja,” jawabnya takut-takut. Ia memandang ke sekeliling dan melihat ada sebuah guci besar dan sepertinya sangat mahal. Ia menghela napas dan menelan ludahnya saat seorang wanita cantik nan bersahaja berdiri menyambut kedatangan mereka. “Barra, kami menunggumu! Ajak dia masuk ke dalam!” Wanita itu terlihat cantik tapi melirik dengan cukup sinis meski bukan sebuah kebencian tapi cukup membuatnya takut untuk melangkah masuk meski diperintahkan untuk menemui seorang nenek. Tiba-tiba tangan atasannya menggandengan tangannya dan menyuruhnya untuk rileks. “Nenek Jessica tidak bisa melihat, jadi kamu harus sabar saat menghadap nenekku!” “Ya, Pak. Tapi …” Belum sempat ia meneruskan pertanyaannya, seorang nenek tua yang cukup ramah menyapanya. “Ini pasti gadis pembuat takjil itu,” Barra tersenyum dan menyodorkan tubuhnya untuk maju selangkah dan mendekati neneknya. “I-iya, Nek,” “Kesini! Aku ingin kita ngobrol sebentar, maaf ya aku tidak tahu kamu dimana tapi ingin sekali mengajakmu mengobrol,” Anne melirik ke arah atasannya yang sedang membuka lebar-lebar pintu balkon kamar ini. “Ya, Nek. Ehm … maaf, Nyonya Jessica,” Nenek tua Jessica tersenyum dan mengarahkan tangannya untuk mengajaknya duduk di sampingnya. “Duduklah disini, aku ingin tahu lebih banyak tentang kamu,” Anne mengangguk, ia lupa kalau nenek tua di sampingnya ini buta, setelah menyadarinya ia pun duduk di samping wanita tua itu. Barra terlihat mengintip dari balik balkon, ia duduk disana sambil merokok. Sesekali melirik ke arah Anne yang sedang duduk mendengarkan cerita neneknya yang penuh banyak kisah. Ia baru tahu kalau gadis itu tengah dirundung masalah. Tadi sebelum pergi, Anne minta waktu sebentar untuk pulang nanti sekitar jam sepuluh. Ibunya akan dioperasi lagi bagian kakinya dan dia diminta ikut ke rumah sakit mengantar ibunya. Ia melihat jam di ponselnya, masih jam sembilan. Sudah satu jam setengah mereka berdua mengobrol. Neneknya tertawa begitu keras. Barra melihat kebahagiaan di mata sang nenek meski tidak bisa melihat tapi ia bisa merasakan ada seberkas harapan yang entah apa itu dia sendiri tidak tahu. Anne tersenyum padanya dan memberikan kode di jam dinding, pertanda ia harus pulang. Barra baru akan berdiri dan tiba-tiba neneknya berteriak cukup kencang. “Ja-jadi kamu cucu Wisnu?” Mamanya langsung masuk dan melihat apa yang terjadi, Barra bertanya sambil berbisik pada Anne. “Ne, ada apa?” “Pak, a-aku tidak tahu, Pak,” jawab Anne panik, wajahnya berubah cemas karena takut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN