Bab 7

1991 Kata
                       Aldrich tiba di kediamannya dan melihat tidak terjadi apa-apa. Pria itu menatap sekeliling dengan pandangan yang memperhatikan aktivitas yang bisa sajaakan. Semuanya berjalan normal kecuali suara keributan yang berasal dari sisi barat di dalam hutan.  Aldrich bergerak mengikuti para pengawalnya menuju hutan yang tak terlalu jauh dari bangunan utama.  Dengan lampu penerangan yang di bawa pengawal, Aldrich bisa melihat apa yang terjadi di tempat kejadian. Dua sosok tengah bergumul di tanah dengan gadis berpakaian hijau tua berusaha menahan seseorang di bawahnya.  "Apa yang kalian lakukan?"  Kedua sosok itu menoleh ke asal suara hingga beberapa detik kemudian sosok berpakaian hijau tua itu menarik sosok berpakaian hitam untuk bangkit berdiri. Karena lengah sosok berpakaian hitam itu tidak bisa melayani diri apalagi saat ini mereka tengah berada di kepung oleh para pengawal.  "Aku juga tidak tahu." Alice, sosok yang berpakaian hijau itu mengangkat bahunya. "Temanku hanya meminta aku untuk menangkapnya lalu di serahkan pada kalian." Alice menatap sekumpulan pria di lapangan dengan polos.  "Untuk apa temanmu meminta kau menangkap dia?" Kali ini Sen buka suara mewakili Aldrich.  "Dia dicurigai." Alice kemudian memelototi sosok berpakaian hitam itu. "Cepat katakan apa yang kau lakukan di rumah kaca milik tuan," bentak Alice pada sosok berpakaian hitam itu.  Aldrich tersentak ketika mengingat kata-kata yang di ucapkan Jack tadi di markas Roister. Pria itu memberi kode pada Ed untuk mengurus sosok berpakaian hitam. Setelah itu Aldrich berlalu begitu saja diikuti Sen yang setia di sampingnya.  "Hei, apa yang dilakukan pria itu? Mengapa dia pergi?" Alice menatap Ed penuh selidik, membuat pengawal pribadi Aldrich itu mendengkus mendengar Alice menyebutkan Aldrich dengan sebutan pria itu. "Dia adalah Tuan Aldrich, dan terserah dia mau kemana," ucap Ed ketus. Ed kemudian meminta para pengawal yang tersisa untuk membawa sosok hitam tersebut.  Alice membeku mengetahui jika pria itu adalah Aldrich. Segera setelah itu kesadaran menghantam pikiran Alice mengetahui jika pria itu pasti menuju rumah kaca.  Ini salahnya mengapa bisa melupakan wajah pria tampan yang sialnya sangat tak berperasaan itu.  Segera Alice melempar sosok berpakaian hitam itu ke tanah dan berlari tunggang langgang menuju taman samping dimana letak rumah kaca berada.  "Hei, tidak ada apa-apa di situ!" Alice berteriak mencoba menghentikan Aldrich namun sia-sia karena Aldrich sudah menghilang dari pandangannya.  Aldrich memasuki rumah kaca dengan wajah dingin dan semakin dingin ketika melihat ruangan tempat ia selalu menghabiskan waktu untuk beristirahat berantakan.  Telinga tajam Aldrich mendengar suara Tik ... Tik ... Tik. Kening pemuda itu mengernyit ketika sadar jika itu adalah suara bom yang berasal dari dalam ruang kaca.  Segera setelah itu Aldrich mencari sumber suara dan berhenti di depan kolam yang biasa ia gunakan jika ingin berendam di malam hari. Tatapan Aldrich jatuh pada punggung seseorang yang ia yakini adalah punggung perempuan.  Di bawah sinar bulan dan bintang serta di bantu dengan penerangan lampu dari rumah utama, Aldrich bisa melihat punggung perempuan itu terlihat rapuh. Apa yang dilakukan perempuan itu? Batin Aldrich bertanya. Namun, satu detik kemudian Aldrich tersentak saat suara yang ia cari tadi sudah menghilang seiring dengan menegangnya tubuh perempuan itu.  "Apa yang kau lakukan?" Aldrich menyuarakan pertanyaannya membuat perempuan itu terkejut dan segera menemukan kakinya tergelincir dan masuk ke dalam kolam.  Melihat hal itu segera Aldrich membuka jasnya dan hanya menyisakan kemeja putih lengan panjang serta dasi hitam yang melekat di lehernya. Aldrich melompat ke kolam dan menarik perempuan itu yang tengah menggapai-gapai di atas permukaan air. Aldrich menarik perempuan itu ke tepi kolam membuat perempuan itu mengambil napas sebanyak-banyaknya. Yara menghela napas lega ketika dirinya sudah berada di tempat yang aman. Segera setelah napasnya kembali teratur, Yara mengalihkan perhatiannya hanya untuk melihat tatapan tajam pria yang sudah menolongnya. Pria itu masih berada di dalam kolam tengah menatapnya dengan sinar tajam yang membuat tubuh Yara bergetar ketakutan.  "Apa yang kau lakukan di tempatku?"  Tubuh Yara semakin bergetar hebat ketika mendengar suara tajam penuh aura intimidasi yang berasal dari pria itu.  Yara tersentak ketika sebuah kain menutupi tubuhnya dan merasakan dekapan seseorang dari belakang. "Tuan Syega, aku minta maaf jika temanku sudah mengganggu waktu dan tempatmu. Lain kali aku akan mengajarinya tentang hal yang harus dan tidak boleh dia lakukan." Alice segera bangkit berdiri sambil menarik Yara tanpa melepaskan kain hijau yang menutupi tubuh perempuan itu.  Keduanya melangkah keluar tanpa menunggu respons Aldrich. Aldrich menatap tajam kedua sosok yang sudah menghilang di balik rak buku.  Tatapan pria itu kemudian beralih ke tempat Yara tadi berada dan melihat sebuah tas tergeletak di antara tananam. Segera Aldrich berenang ke tepian dan naik ke atasnya. Tatapannya  terpaku pada bom waktu yang tergeletak di atas tas  dengan kondisi tidak menyala lagi.  Mata Aldrich memicing menatap benda mati tersebut. Jelas-jelas tadi ia mendengar suaranya, batin pria itu berujar.  Mungkinkah gadis itu yang melakukannya? Tanyanya dalam hati.  "Tuan, ada yang bisa aku bantu?" Sen berdiri di seberang kolam menatap Aldrich yang tertegun di tempat.  "Selidiki dari mana Jack membeli ini." Aldrich melempar bom di tangannya pada Sen. Pria itu kemudian berujar, "selidiki tentang dua gadis yang baru saja keluar dari sini dan mintai datanya dengan konkret."  "Baik, Tuan."  Aldrich keluar dari kolam dengan menggenggam kacamata tebal milik gadis  yang ia tolong tadi. Aldrich berdiri di pinggir kolam menatap kacamata di tangannya dengan tatapan tak terbaca.  Sementara Yara yang sudah berganti pakaian kini duduk di pinggir tempat tidurnya dengan Alice yang menatapnya heran.  "Apa yang kau temukan di rumah kaca itu?" tanya Alice penuh selidik. "Dan, di mana kacamata milikmu?"  "Aku tidak tahu. Mungkin terjatuh di kolam," jawab Yara terkesan jujur. "Soal yang aku temukan di rumah kaca itu--" Yara menatap Alice dengan pandangan tak terbaca. "Aku menemukan bom," cicitnya membuat Alice terkejut bukan main. "Bom?" "Iya, tapi kau tenang saja. Bom itu sudah aku jinakkan." Yara menenangkan Alice yang mulai terlihat panik.  "Kau yakin bisa menjinakkan bom?" Alice menatap Yara tak yakin, namun gadis itu justru mengangguk tegas.  Alice heran. Bagaimana Yara memiliki pengetahuan dan keberanian untuk menjinakkan bom jika menghadapi manusia saja Yara sudah ketakutan setengah mati.  Alice menutup mulutnya tak percaya. Ini sebuah keajaiban jika Yara bisa menjinakkan bom. Manusia normal lainnya belum tentu bisa melakukan hal tersebut namun Yara mampu melakukannya.  Alice bertepuk tangan riang sambil tersenyum lebar.  "Hebat! Kau sangat hebat, Yara," puji Alice terdengar tulus. "Ngomong-ngomong dari mana kau belajar menjinakkan bom?" tanyanya menatap Yara penuh kagum dan selidik. Yara mengangkat bahunya dan menjawab, "aku pernah membaca bukunya."  Alice jatuh tak sadarkan diri ketika mendengar jawaban polos Yara. Hal tersebut membuat Yara kesulitan untuk mengangkat tubuh temannya ke atas tempat tidur.                               __****__ Yara membuka matanya ketika terik matahari menerpa wajahnya. Gadis cantik itu tampak tertegun sejenak ketika sepasang mata tengah menatapnya dengan pandangan tertarik.  "Alice, apa yang kau lihat?" tanyanya menatap Alice heran.  "Tidak ada." Alice mengangkat bahunya. "Aku hanya tidak percaya jika di dunia ini benar-benar ada kecantikan seperti dirimu. Aku curiga--" Alice menatap teman barunya dengan tatapan tak terbaca.  Yara bangkit dari posisinya menatap Alice tegang. Ketakutan muncul di hati Yara jika Alice sudah mencurigai tentang keberadaannya saat ini.  "C-curiga kenapa?"  "Jika kau adalah keturunan Dewi Aprodith."  Yara tersenyum dan bergumam, "kau terlalu melebihkan sesuatu."  "Tidak. Aku serius. Aku tidak melebih-lebihkan sesuatu. Ini fakta -- hei,  kau mau ke mana?" jerit Alice kesal saat dirinya tidak di respons oleh gadis itu.  "Aku ingin mandi.  Ini sudah siang, Alice," jawab Yara lembut.  Gadis cantik itu mengambil handuk yang tergantung di dinding dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Namun, sebelum benar-benar masuk, Yara mendengar pertanyaan Alice.  "Kenapa aku bisa ada di sini?"  "Kau pingsan tadi malam, dan aku membawamu ke atas tempat tidurku."  "Astaga!" Alice menepuk dahinya dan bergumam,"jadi, tadi malam itu bukan mimpi?"  Melihat jam yang tergantung di sisi dinding, Alice segera bergegas berlari keluar dari kamar Yara memasuki kamarnya. Hari sudah siang. Mereka harus bekerja. Jika tidak, maka Silly akan memarahi mereka kali ini. Sementara di bangunan utama tepatnya di lantai tiga, Aldrich tengah bersantai di balkon ditemani secangkir kopi dan beberapa jenis cemilan untuk mengganjal perut. Asap menguap dari dalam cangkir ketika Aldrich menyeruput kopi hitamnya, sementara mata tajamnya tidak pernah lepas dari balkon yang berada tepat di seberang. Pikiran Aldrich masih mengingat apa yang di katakan Sen padanya beberapa saat yang lalu.  "Namanya Yarasya Megando. Usia 19 tahun dan merupakan adik tiri Dari Jena Stward dan Sarah Stward. Nona Yara sering di siksa dan di pukul oleh kedua kakak tirinya."  "Semenjak orang tuanya meninggal, Nona Yara tidak pernah diizinkan untuk keluar rumah dan diperlakukan seperti budak." "Nona Yara tidak diizinkan menikmati haknya."  "Tapi, pengacara keluarga Megando sudah lama mencurigai kedua kakak beradik itu dan menyimpan apa yang menjadi hak Nona Yara. Pengacara itu tidak lagi memberikan uang tunjangan untuk Nona Yara setelah curiga apa yang mereka lakukan." "Saat ini Sarah dan Jena tengah mencari keberadaan Nona Yara karena pengacara itu ingin bertemu dengan Nona Yara yang kabur dari rumah ketika dia di siksa."  "Ini berkas lengkap Nona Yara dan tuan bisa membacanya. Serta ini foto-foto Nona Yara sesaat sebelum orang tuanya meninggal."  Mengingat percakapannya dengan Sen tadi, Aldrich menunduk dan mulai membaca seluruh laporan yang diberikan Sen. Di mulai dari hari-harinya dan bahkan masakannya yang terbukti lezat juga tertulis di dalam berkas.  Aldrich mengambil foto berisi wajah seorang gadis berusia 12 tahun yang terlihat cantik dengan mata bulat dengan kedua bola warna mata yang berbeda. Hidung mancung, pipi sedikit berisi, rambut hitam nan panjang, serta memiliki senyum yang manis.  Gadis ini memang terlihat sangat cantik dan mungkin saat ini ia akan bertambah cantik, pikir Aldrich. Namun, mengapa ia membuat wajahnya menjadi seperti bukan dirinya. Kening Aldrich mulai mengernyit.  Apa mungkin dia ingin bersembunyi dari kedua kakak tirinya?   Aldrich kembali mengambil cangkir  di atas meja dengan mata menatap tajam balkon yang menjadi pusat perhatiannya tadi.  Tanpa di sangka, Aldrich melihat sosok itu keluar dan tengah berdiri menghadap matahari yang belum terlalu terik. Mata gadis itu terpejam dengan senyum manis yang terpampang nyata di mata Aldrich.  Rambut hitam panjangnya terurai indah tersapu angin lembut. Wajah putih bersih tampak terlihat memukau di bawah sinar matahari. Aldrich mengernyit karena baru kali ini ia melihat seorang gadis yang memiliki kecantikan begitu nyata.  Gadis itu segera masuk ke dalam mungkin karena merasa tengah di perhatikan oleh seseorang. Aldrich menghela napas dan melipat tangan di d**a sambil terus menatap pintu balkon yang sudah tertutup.  Tadi malam ia belum sempat melihat wujud asli gadis yang sudah menyelamatkan puluhan orang dalam mansion karena selain tidak adanya penerangan juga teman gadis itu sudah menutup wajahnya terlebih dahulu dengan kain.  Terlalu banyak berpikir membuat Aldrich jengah. Lebih baik ia memikirkan langkah apa yang akan ia ambil untuk gadis cantik itu.  Segera Aldrich keluar dari tempatnya berada berjalan ke ruang kerjanya. Sebelum masuk ia sempat meminta pengawal yang berjaga untuk memanggil Ped.  Tidak membutuhkan waktu lama untuk Aldrich menunggu karena saat ini Ped sudah berdiri di hadapannya dengan setelan hitam putih khas pelayan.  "Ada yang bisa aku bantu, Tuan?" "Aku dengar kau  yang memasukkan pelayan itu." Aldrich menatap Ped dengan pandangan tak terbaca membuat Ped sedikit gemetar.  "Itu benar, Tuan." Ped mengakuinya. "Tapi, aku mohon tuan untuk tidak memecatnya. Aku tahu kesalahannya karena sudah masuk ke ruang pribadi tuan. Aku akan memberitahukannya tentang apa yang bisa dan tidak bisa dia lakukan," pinta Ped. Ped sudah menyukai gadis kecil itu sejak awal dan sudah menganggap Yara sebagai putrinya sendiri. Jadi, ia akan melakukan segala cara agar gadis itu tidak terusir.  Aldrich memutar tinta emasnya di antara jari telunjuk sambil menatap Ped dengan tatapan tak terbaca. Pria tampan dengan aura dingin itu mengalihkan perhatiannya pada frame foto yang memperlihatkan wajahnya di tengah panorama alam.  "Aku tidak akan memecatnya," ucap Aldrich datar membuat Ped menghela napas lega. "Aku akan membuatnya menjadi pelayan pribadiku. Bagaimana menurutmu, Ped?" tanyanya sambil mendongak menatap Ped tajam.  "A-apa?" Ped membelalakkan matanya tak percaya.  "Tapi, Tuan--" "Ah, Ped, kau setuju atau tidak?" Ped menghela napas berat dan tanpa daya ia hanya bisa menyetujui permintaan Aldrich.  Ped berharap semoga saja Tuan mudanya ini akan sedikit berbaik hati untuk tidak menyiksa Yara.  "Baiklah kalau begitu aku permisi, Tuan." Ped pamit undur diri diiringi tatapan tak terbaca dari Aldrich.  Tak lama setelah Ped keluar, seseorang kembali mengetuk pintu dan orang tersebut tak lain adalah Sendro.  "Tuan, saya kembali membawa informasi tentang gadis bernama Alice yang bersama Nona Yara," ujar Sen tanpa basa-basi.  Aldrich mengangguk melihat berkas dari pelayan bagian belakang. Aldrich tersenyum miring ketika mengetahui identitas asli dari Alice.  "Biarkan saja dia. Nanti jika dia membuat ulah maka tugasmu adalah mengembalikannya ke tempat asal," ujar Aldrich menatap Sen tajam. Sen mengangguk dan pamit undur diri meninggalkan Aldrich dalam keheningan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN