Yara berdiri dengan kepala menunduk di depan majikan barunya.
Awal mula ia terkejut mendengar dari Ped jika ia akan dipindahkan ke bangunan utama. Namun, Ped segera menjelaskan jika saat ini Tuan Muda tengah mencari seorang pelayan untuk melayaninya.
Berhubung karena Yara tidak memiliki tugas tetap jadilah ia dipindahkan Ped di bangunan utama karena memang Yara sangat rajin dan pekerja keras. Itu adalah sederet ucapan penuh kebohongan yang di sampaikan Ped.
Ped tahu jika Yara cenderung takut untuk bertemu dengan orang baru. m
Maka dari itu Ped tidak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
Aldrich duduk di kursinya menatap Yara dari atas ke bawah dengan pandangan datar. Pria itu sedikit kagum dengan Yara yang sangat pandai dalam mengubah penampilan.
Lihat saja rambut di kepang tiga, wajah kusam, tangan hitam, serta kacamata tebal yang menghiasi matanya. Aldrich yakin jika kacamata itu pasti di pinjamkan oleh Alice.
"Ped," panggil Aldrich tanpa mengalihkan perhatiannya pada Yara.
"Iya, Tuan. Aku di sini." Ped maju satu langkah hingga berdiri di samping Yara.
"Kau berikan dia tugas-tugas yang harus dia kerjakan," perintah Aldrich yang tentu saja dianggguki Ped.
Aldrich kemudian memberi kode agar Ped dan Yara keluar dari ruangannya. Tak lama setelah kedua orang itu keluar, Aldrich bangkit dari duduknya keluar dari istana mewahnya.
Laju mobil yang membawa Aldrich menuju kantornya yang berjalan dengan kecepatan sedang hingga beberapa detik kemudian ponsel sopir yang bikin nyaring memecahkan suasana di dalam mobil.
"Tuan, ada jebakan di depan sana. Apa yang akan kita lakukan?" tanya sang sopir setelah menerima telepon.
"Tabrak siapa pun yang menghalangi," jawab Aldrich dingin.
Hanya sebuah mobil 'kan? Aldrich tak peduli jika mobilnya rusak karena ia masih bisa membeli yang baru, atau paling tidak ada banyak koleksi mobilnya yang tersusun di dalam garasi.
Benar saja apa yang dikatakan sopir tersebut jika di depan mereka saat ini orang-orang berwajah menyeramkan berdiri di depan kendaraan mereka masing-masing. Tatapan tajam mereka arahkan pada mobil Aldrich seolah ingin melumat Aldrich hidup-hidup.
"Sekarang, Tuan?" tanya sopir setelah kendaraan mereka berada dalam jarak lima meter.
"Hm," sahut Aldrich dingin.
Jimmy, sang sopir yang sering melakukan tugas ini segera menekan gas dengan kencang hingga membuat orang-orang itu terkejut dan mereka membubarkan formasi demi menyelamatkan hidup kecil mereka.
Motor yang berjejer rapi segera di tabrak oleh mobil sport keluaran terbaik tahun ini dari perusahaan Aldrich. Sementara kawanan penjahat hanya mampu terdiam atas kejadian tak terduga yang mereka lihat dengan mata kepala sendiri.
Mobil Aldrich berhenti sejenak untuk menstabilkan posisi yang hampir oleng sebelum kendaraan tersebut kembali melaju meninggalkan para penjahat yang bersiap mengejar. Namun, apalah daya jika kendaraan beberapa dari mereka sudah ringsek.
"Dasar gila!" umpat mereka akan sikap Aldrich.
Sesampainya di parkiran kantor Aldrich segera turun ketika pintu mobil di buka seorang pengawal yang baru saja tiba.
"Perbaiki mobil itu lagi," perintahnya pada Robert.
"Baik, Tuan."
Aldrich kembali berjalan diikuti beberapa pengawal yang bertugas diiringi tatapan hormat dari para karyawan hingga ia masuk ke dalam lift.
"Hei, aku sungguh penasaran akan seperti apa wanita yang mendampingi Tuan Syega. Apakah dia akan sangat cantik?" bisik seorang karyawan wanita pada temannya.
"Aku juga tidak tahu," balas temannya. "Aku bahkan tidak pernah melihat dia dekat dengan seorang gadis," lanjutnya sambil mengangkat bahu.
"Jangankan dekat dengan wanita, sekretarisnya saja tidak pernah berada dalam jarak satu meter darinya," timpal seorang lainnya, membuat semua yang berada di sana menoleh dengan penasaran.
"Kau serius? Gosip dari mana itu?" tanya para wanita itu mulai penasaran.
Wanita yang mengucapkan kalimat tersebut segera tersenyum bangga. Wanita itu menjawab, "tentu saja dari Nella, sekretarisnya langsung."
"Oh, aku curiga jangan-jangan Tuan Syega itu adalah seorang--"
"Perusahaan menerima karyawan dengan IQ di atas rata-rata untuk mensejahterakan perusahaan bukan untuk memperlebar mulut dengan gosip," sindir sebuah suara, membuat beberapa wanita yang tengah bergosip segera mengalihkan perhatian mereka.
"Tuan Sen. Selamat pagi!" sapa mereka dengan wajah pucat. Mereka kini tengah ketakutan karena membicarakan atasan sendiri dengan gosip yang belum tentu benar.
Sen hanya melirik sekilas pada sekelompok orang-orang itu sebelum melangkah pergi memasuki lift menuju lantai tempat Aldrich berada.
"Tuan," panggil Sen ketika tiba di pintu ruangan Aldrich.
"Masuk!"
Sendro segera masuk ketika mendengar perintah tuannya. Pria itu memberi kode pada pengawal lain untuk menjaga tempat mereka saat ini agar tetap kondusif.
"Tuan, penyusup yang di tangkap kemarin malam sudah di eksekusi dan mayatnya sudah diberikan pada serigala peliharaan tuan," lapor Sen membuat Aldrich mengangguk puas.
"Tuan, salah satu anak buah kita yang kita kirim ke Itali untuk menyelidiki kasus pembunuhan pejabat di sana tewas dalam sebuah ledakan," kata Sen lagi memberi laporan.
Aldrich tersenyum dingin mendengar pernyataan Sen.
"Itu adalah harga untuk sebuah pengkhianatan," ujarnya datar.
"Benar, Tuan. Di Italia dia tidak hanya untuk mencari tahu tentang pembunuhan itu tapi juga menjual informasi tentang klan kita pada musuh."
"Hm. Mungkin ada beberapa yang akan menganggap jika ancaman untuk tergabung dengan klan kita dan berkhianat hanyalah gertakan saja."
Sen mengangguk menyetujui ucapan Aldrich. Lalu seakan teringat dengan sesuatu Sen menatap Aldrich dengan ragu.
"Katakan apa yang ingin kau tanyakan," perintah Aldrich yang mengerti dengan ekspresi orang kepercayaannya.
"Tuan, apakah benar jika kau mengangkat seorang pelayan dari bagian belakang untuk menjadi pelayan pribadimu?" tanya Sen setelan ragu untuk beberapa saat.
Aldrich mengangguk.
"Mengapa, Tuan? Apa ada sesuatu yang mencurigakan dari gadis itu?" tanya Sen penasaran. Pasalnya Aldrich akan selalu menjauhkan perempuan mana pun dari dirinya. Tapi ini? Entah lah Sen juga tidak tahu karena jalan pikiran Aldrich sulit untuk di tebak.
"Karena dia tidak sesederhana yang terlihat," jawabnya datar.
Kening Sen mengernyit tak mengerti.
"Dia adalah orang yang sudah menjinakkan bom," katanya membuat Sen mundur beberapa langkah.
Sen menggeleng tak percaya mendengar jika seorang gadis bisa menjinakkan bom. Ini bom, bukan petasan yang bisa di hentikan dengan di siram air saja. Tapi, ini bom. Sekali lagi ini bom.
"Kau tidak percaya?" Sebelah alis Aldrich terangkat menatap Sen dengan seringaian penuh. "Itu urusanmu."
__****__
Aldrich pulang ketika hari mebnjelang malam. Tatapan pria itu beralih menatap seorang pengawal yang terlihat baru turun dari lantai atas.
"Selamat malam, Tuan," sapa pengawal dengan hormat.
Aldrich mengangguk kemudian berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai tempat kamarnya berada.
Pintu lift terbuka dan menampakkan koridor dengan para pengawal yang bertugas di sekeliling. Satu hal yang paling mencolok di antara para pengawal tersebut membuat Aldrich mengernyit.
"Di mana gadis pelayan itu?" tanyanya pada seorang pengawal.
"Pelayan yang tuan maksud berada di dalam, Tuan, atas perintah Ped," beritahu seorang pengawal.
Aldrich tidak menyahut. Pria itu melangkah masuk ketika pintu kamarnya dibuka oleh seorang pengawal.
Aldrich menatap sekeliling ruangannya dan tidak menemukan siapa pun hingga ia menolehkan kepalanya ke arah suara cicitan yang berasal dari balik pintu.
"Apa yang kau lakukan di sana?" Aldrich menatap dingin sosok Yara yang berdiri dengan kepala menunduk, sementara tubuhnya menempel pada tembok di belakangnya.
"T-tuan, aku--"
"Tidak usah banyak bicara. Segera siapkan aku air hangat untuk mandi," perintah Aldrich tak mau mendengar ucapan Yara.
Aldrich membuka jas yang ia kenakan kemudian melemparnya pada Yara.
"Ah, satu lagi." Aldrich menatap Yara tajam. "Aku ingin sebelum kau menyiapkan air hangat untukku, kau harus terlebih dahulu mencuci tanganmu dengan cairan anti kuman beberapa kali," ujarnya penuh peringatan.
"B-baik, Tuan," jawab Yara bergetar ketakutan. Gadis itu sudah beberapa kali mendengar penjelasan Ped. Jadi, ia paham betul dengan karakter Tuan Muda di hadapannya ini.
Tak lama Yara keluar dari kamar Aldrich menuju letak kamarnya yang berada di satu lantai di bawah dan mulai mencuci tangannya beberapa kali hingga benar-benar bersih menurut opsi Aldrich. Lalu, setelah itu barulah Yara kembali ke kamar Alrrich dan melihat pria itu tengah bersandar di sofa dengan mata terpejam.
Tak ingin berlama-lama berada di dekat sang majikan, Yara memutuskan untuk bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah memastikan tidak ada kotoran atau hal-hal yang akan membuat majikannya marah, Yara keluar dari kamar mandi dan berdiri cukup jauh dari jarak Aldrich berada.
"Tuan, air untuk mandi sudah siap," ujarnya pelan.
"Hm."
"Tuan, adakah sesuatu yang kau butuhkan lagi?" Yara bertanya pelan. Dirinya sudah mengantuk dan ingin tidur, namun ia tidak bisa memejamkan matanya sebelum mendapatkan izin dari Aldrich.
"Kau bisa kembali," perintah Aldrich tanpa membuka matanya.
"Kalau begitu saya permisi, Tuan."
Yara pamit undur diri keluar dari ruangan Aldrich dengan kaki gemetar apalagi melihat para pengawal yang berkeliaran di koridor membuat Yara takut bukan main.
Setelah kepergian Yara, Aldrich membuka matanya dan menatap pemandangan di luar kaca dengan seringaian sinis.
"Bodoh," ujarnya dingin dengan pikiran yang hanya dia sendiri yang tahu.
Aldrich bangkit dari duduknya, membuka dasi, kemeja, ikat pinggang, dan celana yang ia kenakan hingga hanya menyisakan bokser hitam hampir setengah paha. Aldrich meletakkan pakaian kotor ke dalam keranjang yang tersedia dan menyembunyikan di tempat biasa pelayan mengambil pakaiannya.
Pemuda tampan dengan tubuh sixpack itu melangkah pelan masuk ke dalam kamar mandi dan mulai memperhatikan keadaan dengan seksama.
Aldrich mengangguk puas karena tidak ada setitik hal yang akan membuatnya jijik.
Aldrich mulai membuka dua helai pakaian terakhirnya dan memasukkanya ke dalam tas sampah yang akan di buang oleh pelayan keesokan harinya.
Aldrich memang terbiasa dengan memakai sekali pakaian dalamnya dan setelah itu akan ia buang tanpa mau mencucinya kembali.
Aldrich dan msyhphobia miliknya selalu saja mampu membuat orang yang mengetahui karakter Aldrich akan merasa tak percaya.
Perlahan tubuh polos itu menaiki tangga kecil dan mulai masuk ke dalam jacussi yang sudah terisi air hangat. Aldrich mulai merebahkan kepalanya pada bantal kecil yang yang tersedia khusus dan mulai memejamkan matanya menikmati otot-otot tubuhnya yang terasa keram karena seharian beraktivitas.
____
Keesokan paginya.
Aldrich menyesap kopi panasnya di taman bunga. Rasa pahit dengan campuran sedikit manis membuat Aldrich menikmati rasa yang memanjakan lidahnya.
"Apa yang kau sembunyikan dariku?"
Suara Aldrich memecahkan suasana yang hening, membuat Yara yang tengah menundukkan kepala di belakangnya seketika itu mendongak dan menatap punggung Aldrich tak percaya.
"S-sembunyikan, Tuan?" ulang Yara mulai ketakutan. Keringat dingin mengalir di dahinya mendengar pertanyaan Aldrich yang sepertinya sudah menaruh curiga padanya.
Hening yang menakutkan. Tidak ada suara Aldrich yang menyahut Yara selanjutnya. Hanya saja aura di sekitar ruangan terasa panas dan membuat Yara tak nyaman. Gadis cantik itu berusaha untuk tetap tenang meski kenyataan wajah pucat dan jantung yang berdebar kencang adalah bukti nyata jika saat ini ia tengah ketakutan.
"Tidak ada. Mungkin kau salah dengar," ujar Aldrich sembari bangkit dari duduknya.
Pria tampan itu membenarkan letak jasnya yang memang sudah rapi. Kemudian tatapannya beralih menatap Yara yang segera menundukkan kepalanya ketika tatapan tajam Aldrich mendarat padanya.
"Aku ingin kau memasakkan aku makan malam," perintah Aldrich yang langsung diangguki gadis itu.
Aldrich menatap Yara dengan pandangan tak terbaca. Dalam pikiran Aldrich selama satu hari kemarin ia sudah tahu jika Yara adalah tipe gadis yang selalu menuruti perintah orang lain dengan teliti.
"Kalau begitu, aku ingin kau merapikan kamarku." Aldrich berujar dingin. "Kau harus ingat untuk mencuci tanganmu dan menggunakan cairan anti kuman yang sudah tersedia," tandasnya.
"Baik, Tuan."
Aldrich tidak mengucapkan beberapa kata lagi. Pria itu segera keluar dari istana di mana sopir pribadi dan juga beberapa pengawal sudah siap menunggunya.
"Tuan, hari ini Nyonya Melisa ingin--"
"jangan katakan apa pun tentang wanita itu," sela Aldrich tak ingin mendengar laporan Sen.
"Tuan, nanti malam akan ada transaksi di gedung Bex dengan kelompok macan hitam," beritahu Sen lagi ketika mereka berada di dalam mobil.
"Lakukan sesuai plan C. Kelompok macan hitam tidak sebodoh yang terlihat." Aldrich tersenyum sinis membuat Sen yang tengah duduk di kursi depan mengernyit tak mengerti.
"Maksud tuan?"
"Kelompok macan hitam di dukung klan Relox untuk meruntuhkan kita. Jadi, hal yang kita lakukan nanti malam adalah menghancurkan rencana kedua kelompok." Aldrich berujar malas dengan mata tertutup.
"Baik, Tuan. Aku akan memerintah Ed untuk mengambil bom di gudang," ujar Sen dengan tenang.
"Jangan Ed."
"Kenapa, Tuan?"
"Karena saat ini dia sedang melarikan diri dari kejaran klan Relox."