Ed melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Pria itu sesekali mengelak ketika tembakan dari musuh di sekitarnya.
Mengapa aku terjebak seperti ini, "rutuk Ed untuk yang kesekian kalinya.
Ed mulai merasakan tak enak pada ban mobilnya. Laju mobilnya sedikit oleng laporan mau tak mau rela mobilnya tepat di jembatan besar dengan air sungai mengalir deras.
Ed melempar tubuh keluar dari mobil dan berusaha mengelak dari tembakan musuh yang berdatangan.
"Sial! Apa aku harus berenang di sini? Ini tidak elit sama sekali!" rutuknya lagi.
Tidak ada pilihan lain bagi Ed untuk segera mengambil keputusan dengan cara masuk ke sungai.
Musuh semakin mendekat membuat Ed segera menyelam dan melengkapi dirinya di bawah jembatan.
"Dimana b******n tengik itu? Aku ingin meremas jantungnya dan menghancurkannya hingga berkeping-keping!"
Terdengar sebuah suara penuh kebencian dari seorang musuh. Dia memiliki dendam pribadi dengan Ed dan berharap bisa membunuh Ed dengan inisiatif sendiri.
"Dia mungkin sudah lebih dulu lari dari sini. Ayo, kita pergi," ujar sebuah suara dengan tenang.
Sementara Ed tersenyum sinis mendengar pembicara dua orang di atas. Sungguh tahu trik apa yang digunakan orang-orang bodoh di atasnya. Maka Ed memilih untuk membuka baju yang ia pakai dan mengikatnya pada kayu yang baru saja melewatinya dan mendorong kayu tersebut keluar dari jembatan tempat ia marah.
Usai melakukan apa yang sudah ia rencanakan, Ed mulai berenang dengan tubuhnya di dalam udara menjauh dari jembatan tempatnya.
Ed harus segera pergi sebelum para musuh datang menjemputnya di bawah sini. Ed akan mengambil napas jika ia menemukan tempat yang tepat untuk menghirup udara. Pemuda itu tidak ingin salah ambil langkah yang bisa saja membuatnya kehilangan nyawa berharganya.
Posisi Ed sudah cukup jauh dari para musuh dan ia bisa mendengar suara tembakan beruntun dari tempatnya berada. Hal itu membuat Ed tersenyum sinis dengan kebodohan para musuh. Andai saja Ed bukan di latih dari perusahaan pertahanan Aldrich, mungkin saja ia sudah mati tertembak atau kehabisan napas di dalam air.
Beruntung Ed mempelajari cara menyelamatkan diri baik di udara, darat, mau pun air. Jika tidak, maka jodohnya pasti menjadi perawan tua kelak.
Sementara Ed berjuang bersembunyi dari musuh, Aldrich justru bersantai menikmati kopi yang ia seduh sendiri di ruang kerjanya hingga suara telepon mengganggu waktu senggangnya.
"Ada apa, Nek?" sapa Aldrich datar pada nenek kandungnya.
Nenek dari pihak ayah yang terus-menerus menerornya dengan pertanyaan kapan menikah. Hal tersebutlah yang membuat Aldrich malas jika sang nenek sudah menghubunginya.
"Cucuku, kapan kau akan menjenguk nenekmu yang sudah tua ini? Apa kau menunggu nenekmu berada di dalam peti mati dulu baru kau mau mengunjungi nenek?"
Suara wanita tua itu terdengar dari balik telepon membuat Aldrich memutar bola matanya malas. Neneknya ini selalu membicarakan tentang kematian padahal sakit saja tidak pernah, dengkus Aldrich dalam hati.
"Nek, apa kau sudah menerima pernyataan dari dokter jika kau sakit jantung?" tanya Aldrich datar.
"Oh, tentu saja tidak," sangkal nenek dari seberang sana.
"Kolesterol?"
"Tidak."
"Darah tinggi?"
"Tidak, Al."
"Lalu, mengapa kau selalu berbicara soal kematian jika kau tidak memiliki riwayat penyakit berbahaya?" ujar Aldrich tenang. "Jika kau sudah memiliki daftar penyakit berbahaya maka aku akan sekali dalam dua bulan untuk menjengukmu," tandasnya membuat sang nenek murka di seberang sana.
"Anak bodoh, kau mendoakan nenekmu sendiri? Kau benar-benar cucu kurang ajar! Lihat saja aku tidak akan menghubungimu lagi!"
Aldrich menghembuskan napasnya menatap layar ponsel yang sudah mati. Sang nenek memang penuh dengan drama yang selalu membuat Aldrich sakit kepala. Mau tidak mau Aldrich harus mengunjungi sang nenek jika tidak ingin mendapat laporan dari klub miliknya bahwa wanita tua itu datang ke klub dan membuatnya malu untuk yang kesekian kalinya.
???
"Apa katamu?"
Alice menjerit keras ketika mendengar ucapan Sen yang memerintahkannya ke suatu tempat atas perintah Aldrich.
"Nona Alisa-- ah, maksudku Alice, ini adalah perintah Tuan Muda. Jika kau menolak tentu saja Tuan Muda tidak akan memaksamu," ucap Sen dengan tenang.
Ingin sekali rasanya Sen menggaruk telinganya yang terasa gatal akibat teriakan Alice, namun apa daya saat ini ia harus bersikap tenang dan profesional.
"Kau memerintahkan aku untuk menuju tempat itu?" ulang Alice tak percaya. "Tentu saja aku langsung menolaknya," tandas Alice langsung.
"Bukan aku, tapi Tuan Aldrich."
Alice mencibir, namun satu detik kemudian Alice sepertinya menyadari sesuatu. Segera matanya melotot menatap Sen seolah ingin menelan pria berwajah tampan itu hidup-hidup.
"Kau tadi menyebutkan nama siapa?" desis Alice sambil berkacak pinggang.
"Nona Alice," jawab Sen polos.
"Sebelum itu!"
"Oh, aku tadi salah menyebutkan nama. Aku tadi menyebut Nona Alisa. Maklum saja namamu hampir mirip dengan nama sepupu tuan," jelas Sen dengan senyum miringnya.
"Apa?" Wajah Alice memucat membuat Yara yang sedari tadi diam menatap sahabatnya cemas.
"Alice, kau tidak apa-apa?" tanya Yara memegang dahi Alice yang sudah berkeringat dingin.
"Tidak. Aku tidak apa-apa," jawab Alice dengan gelengan pelan.
"Jika kau tidak mau ke sana sendirian, biar aku temani," tawar Yara pada Alice. Yara tadi sempat mendengar jika Alice di perintah untuk mengambil barang di gudang dan teman barunya ini menolak dengan alasan takut. Maka dari itu Yara memutuskan untuk menemaninya saja.
"Tidak usah. Aku bisa jalan sendiri. Lagi pula kau tidak boleh keluar dari sini jika tidak ingin di temui kakak tirimu," ujar Alice mengingatkan Yara jika ia sendiri masih buron.
"Aku mengerti." Yara mengangguk paham.
Tak lama Alice dan Sen melangkah pergi meninggalkan Yara sendiri di taman belakang. Bingung karena tidak ada hal yang bisa ia lakukan, Yara memutuskan untuk mencari keberadaan Ped untuk menanyakan tentang masakan yang di sukai Aldrich agar ia bisa memasaknya sesuai perintah Tuan Muda itu.
"P-permisi," sapa Yara dengan gugup pada seorang pelayan wanita yang tengah melintas.
Pelayan wanita itu berhenti dan menatap Yara dengan seksama kemudian timbul senyum jijik saat melihat penampian Yara.
"Ada apa?" tanyanya ketus.
"B-bolehkah aku bertanya di mana Paman Ped saat ini berada?"
"Dia ada di gudang bahan makanan," jawab pelayan itu sambil mendengkus sinis.
"Gudang makanan?" ulang Yara. "Kalau aku boleh tahu letak gudang bahan makanan ada di mana?" tanyanya dengan hati-hati.
"Dasar tidak berguna. Seperti itu saja kau tidak tahu," cibir si pelayan penuh hina. "Gudang bahan makanan ada di dekat dapur," jawabnya kemudian melengos pergi.
Yara yang di tinggal hanya mampu melempar senyum sendu saat ada seseorang yang tidak mau berada di dekatnya lama-lama.
Sudah biasa, batinnya berucap lirih.
___***___
Aldrich turun dari mobil sembari memantau dari luar sebuah gedung kosong tempat ia membuat janji dengan kelompok macan hitam.
Aldrich tersenyum sinis memikirkan kelompok macan hitam yang memiliki nyali besar ber-konspirasi dengan klan Relox untuk menjatuhkan klannya.
Terus lah bermimpi untuk orang-orang yang ingin menjatuhkannya karena itu tidak akan pernah berhasil. Seperti contohnya macan hitam yang hanya kelompok kecil dan berani menantangnya. Lihat, apa yang akan mereka terima saat ini, cibir Aldrich dalam hati.
"Tuan, beberapa dari mereka sudah berada di dalam, dan anggota lainnya sudah menunggu di depan hutan, " lapor Sen berbisik di dekat Aldrich.
"Perintahkan Robert untuk meledakkan markas Relox, dan bunuh semua anggota macan hitam yang terlibat," perintah Aldrich yang langsung dijalankan Sen.
"Tuan, apa kita akan masuk sekarang?" tanya Ed tak sabaran. Ed ingin sesegera mungkin membalas dendam dengan anggota Relox yang sudah membuatnya sengsara dengan berenang sepanjang sungai hingga ia bisa bebas dari kejaran.
"Perintah Nill dan Will untuk menjarah harta yang di dapat kelompok Ten di laut selatan," ujar Aldrich membuat Ed merengut diam-diam.
"Baik, Tuan." Ed dengan pasrah menjalankan perintah Aldrich dan mulai menghubungi kedua kakak beradik itu sesuai dengan perintah.
"Masuk," ucap Aldrich singkat ketika Ed usai menghubungi Will.
Aldrich, Ed, dan Sen melangkah masuk sementara pengawal lain bertugas menjaga di belakang.
Ketiganya berdiri di ruang kosong dengan nuansa gelap dan hanya di terangi cahaya bulan yang memantul dari kaca maupun atap yang sudah kosong.
"Satu snapper arah jam 12. Satu panah tepat di arah jam 3, sisanya senjata api biasa di masing-masing arah jam," bisik Aldrich dengan suara yang teramat pelan.
Sen dan Ed hanya mengangguk tak kentara sebagai tanggapan mereka. Mereka percaya dengan feeling atasan mereka yang tidak akan pernah meleset.
"Tuan Syega, kau sudah datang rupanya," ucap seorang pria dengan kepala pelontos.
Pria bernama Idrus Jasod ini adalah ketua dari kelompok macan hitam. penampilannya seperti seseorang yang tidak berbahaya tapi aslinya sangat kejam dan keji.
Mereka merampok, membunuh, dan bahkan tidak segan-segan untuk memperkosa korbannya meski korban sudah meninggal. Aldrich harus membereskan kelompok ini dan ia akan mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak penting di negara ini atas prestasinya melumpuhkan kelompok macan hitam yang meresahkan masyarakat.
Aldrich tidak akan mengusik macan hitam jika mereka tidak memiliki niat buruk pada kelompoknya.
"Hm. Apakah kau bahagia aku datang?"
Aldrich tersenyum dan menatap Idrus dengan tatapan tajam. Sementara matanya terus mengukur anggota bagian tubuh Idrus yang harus ia urus lebih dulu.
"Tentu. Aku bahagia kau datang. Ah, lalu bagaimana dengan barang yang aku pesan?" tagih Idrus tak sabaran.
"Tuan, harusnya kau tahu jika kau ingin membeli sesuatu, kau harus menyediakan uang terlebih dahulu, bukan?" Aldrich membentuk senyum murung dengan mata tajam menatap lekat pada hidung Idrus yang terlihat bagus.
Idrus tertawa terbahak-bahak diikuti oleh sepuluh anak buahnya yang sudah mengelilingi mereka.
"Tentu, Tuan Syega. Aku sudah menyediakan uang itu untukmu," ujar Idrus terdengar sinis. Aldrich tak peduli dengan respons Idrus karena saat ini ia tengah mempersiapkan sesuatu di tangannya.
Idrus memberi kode pada anak buahnya untuk meletakkan koper di atas meja yang sudah tersedia, kemudian diikuti oleh Sen yang meletakkan koper hitam besarnya di dekat koper milik Idrus.
"Buka," perintah Aldrich pada Sen yang tentu dikerjakan Sen dengan baik.
Sen memeriksa uang dalam koper dengan sebuah alat pendeteksi dan segera mengangguk pada Aldrich.
Idrus yang melihat hal itu tersenyum dan memberikan kode pada anak buahnya.
Satu detik setelah koper terbuka, gas beracun langsung menyebar keluar dari dalam koper di mana jebakan sudah disiapkan oleh Aldrich dan anak buahnya.
Anak buah Idrus yang menghirup terlalu banyak gas beracun tewas di tempat sementara yang lainnya sigap mengeluarkan pistol mereka dan menembak ke arah Aldrich dan dua pengawalnya yang sudah bersembunyi di balik tembok.
Ketiga pria itu memakai masker yang sudah mereka sediakan dan menembak orang-orang yang melayangkan tembakan ke arah mereka atau yang bersembunyi di balik kegelapan.
"Ugh!" Aldrich meringis sedikit ketika tangannya terkena peluru membuat Sen dan Ed bergegas melindungi Tuan Muda mereka.
"Kalian bereskan yang lain dan jangan perdulikan aku," desis Aldrich dingin.
Sen dan Ed mengangguk kemudian mulai memberikan tembakan pada orang-orang yang kini muncul semakin banyak di dalam gedung.
Dua puluh menit kemudian baku hantam terus terjadi membuat Aldrich memerintahkan Sen dan Ed untuk segera lari keluar dari gedung.
Ketiganya berlari sembari menghindari tembakan bahkan sesekali peluru musuh hampir bersarang di kepala dan punggung mereka.
Aldrich dan kedua anak buahnya berhenti di bawah sebuah pohon yang menghadap ke arah gedung.
"Tuan, mengapa kita berlari?" tanya Ed menatap tuannya penasaran.
Aldrich terdiam sejenak sembari menatap tajam ke arah gedung tempat mereka bertransaksi tadi.
"Kita mungkin bisa menang melawan musuh dengan senjata atau baku hantam." Aldrich menjeda ucapannya sejenak dan melanjutkan, "tapi kita tidak akan menang jika harus melawan bom jebakan."
Sebelum Sen dan Ed sempat mencerna perkataan Aldrich, suara ledakan keras dan api besar yang berasal dari gedung tak terpakai tersebut terjadi begitu cepat.
Sen dan Ed membelalakan mata mereka ketika melihat api besar dan juga jeritan orang-orang di dalam gedung terdengar samar-samar di telinga mereka.
"Tuan--"
Dor! Dor!
Aldrich menembak dua peluru ke atas pohon membuat Sen dan Ed lagi-lagi mengernyit heran. Namun, belum sempat mereka bertanya dua sosok terjatuh dan tepat menindih Sen dan juga Ed yang tidak sempat pindah posisi seperti Aldrich.
"Itu upah kalian karena ketidakwaspadaan kalian terhadap lingkungan," ucap Aldrich acuh tak acuh. "Kalian urus sisa-sisa dari mereka yang menunggu di perbatasan hutan," ujarnya sebelum berbalik pergi.
Aldrich dengan santainya pergi meninggalkan kedua anak buahnya yang tengah berjuang untuk menyingkirkan dua mayat musuh dari atas tubuh mereka.
"Aku curiga jika bos memiliki mata di atas ubun-ubun kepalanya," rutuk Ed kesal.
Pemuda itu mulai membersihkan tubuhnya yang berlumuran tanah serta daun yang berserakan diikuti Sen yang bergerak tanpa berkomentar.
"Ini hanya hukuman ringan karena kita tidak peka akan lingkungan," ujarnya santai. Sen kemudian pergi diikuti Ed meninggalkan gedung Bex yang hancur tak jauh dari keberadaan mereka saat ini.
Sementara Aldrich yang baru saja tiba di kediamannya melangkah turun dari mobil lalu masuk ke dalam istananya.
Para penjaga yang berjaga menunduk hormat melihat kedatangan sang pemilik rumah.
Aldrich membuka pintu kamarnya dan menatap Yara yang tengah bersandar di dinding dekat pintu kamar.
Mata gadis itu hampir tertutup rapat dan ketika melihat kedatangannya, gadis itu segera menegakkan tubuhnya dengan mata yang sedikit dilebarkan untuk menahan rasa kantuk yang menghampirinya.
"T-tuan," sapanya terbata-bata. Segera setelah itu Yara bergerak sedikit menghampiri Aldrich dan berdiri di depannya dengan kepala tertunduk.
"Hm." Aldrich berdeham kemudian mengalihkan perhatiannya pada penjuru kamar yang rapi, bersih, dan juga harum sesuai dengan seleranya.
"Tuan, tanganmu terluka!" Yara hampir menjerit kaget melihat jas biru Aldrich yang terlihat basah bahkan darahnya menetes dan mengotori lantai.
"Tuan, biarkan aku membantumu untuk membersihkan luka itu. Jika dibiarkan maka akan berakibat fatal," ucapnya lagi ketika tak mendapat respon Aldrich.
"Memangnya kau bisa menyembuhkan luka ini?" tanya Aldrich dingin. "Ini peluru yang bersarang di lenganku, bukan jarum kecil," imbuhnya acuh.
"Aku bisa mengobatinya, Tuan. Tapi, aku butuh peralatan lengkap," balas Yara tegas. Gadis itu terlihat bersemangat untuk mengobati Aldrich.
"Kalau begitu beritahu Ped apa yang kau butuhkan," perintah Aldrich dingin.
"Baik, Tuan!"
Yara berlari keluar kamar meninggalkan Aldrich yang menatap gadis itu dengan pandangan tak terbaca.
Yara terlihat begitu bersemangat dan bahkan mungkin tengah ketakutannya saat ini pada Aldrich.