Aldrich menatap tajam Yara yang tengah fokus membersihkan luka di lengan kirinya.
Aldrich menggigit bibirnya ketika merasakan peluru yang di tarik keluar dari dagingnya. Meski ditarik secara perlahan namun rasa sakit itu tetap terasa dan sangat nyata.
Aldrich mengalihkan perhatiannya ke tempat lain dan mengernyit jijik saat matanya tak sengaja melihat darahnya menetes dan jatuh ke lantai.
Pria tampan itu menghela napas berat ketika indra penciumannya mencium bau besi yang begitu tajam. Aldrich tidak bisa marah karena itu darahnya sendiri bukan orang lain atau pun pada gadis yang saat ini tengah fokus membungkus kewenangan dengan perban.
Sudah tiga puluh menit berlalu dan baru selesai setelah gadis itu menutup rapi lengannya yang terluka.
"Tuan, lukamu sudah aku obati dan mungkin dalam waktu dua minggu lukamu akan sembuh," ujar Yara seraya bangkit dari duduknya.
Sedari tadi ia berjongkok sambil merawat Aldrich sementara pria itu dengan santai duduk di sofa dalam kamar.
"Hmm. Bersihkan kotoran itu dan beri pengharum ruangan," perintah Aldrich seraya bangkit dari duduknya.
"Tuan, apa kau akan mandi terlebih dahulu?" tanya Yara ketika melihat Aldrich merekomendasikan keluar.
"Hm. Kau buatkan aku makan malam dan antarkan ke lantai 4 rumah ini," katanya sebelum berbalik pergi.
Yara menghela napas kemudian mulai melepaskan sarung tangan sutra pemberian Ped tadi dan setelah itu ia mulai membersihkan ceceran darah tanpa meninggalkan setitik kotoran sedikit pun.
Setelah itu Yara keluar dari kamar Aldrich mendatangi kamar Ped untuk menanyakan makanan apa yang biasa di makan Aldrich.
Ped awalnya terkejut mendengar jika Aldrich meminta dimasakan oleh Yara, namun segera pria paruh baya itu menjelaskan jenis makanan Aldrich yang sering di makan seperti steak, bacon, atau pun jenis makanan berat lainnya.
Yara dengan penuh perhatian mendengarkan apa yang dikatakan Ped. Gadis cantik itu kemudian memutuskan untuk membuatkan sup iga dan beberapa makanan ringan lainnya.
Memasuki dapur Yara mulai mengolah bahan makanan dengan ditemani oleh Ped. Sambil bercerita kedua orang itu melanjutkan pekerjaan mereka dan sesekali menanyakan hobi masing-masing.
Ped semakin menyukai Yara yang ia rasa memiliki sifat keibuan dan juga lembut baik perilaku serta perkataan. Ped jadi membayangkan seandainya jika Yara mau menjadi istri si Tuan dingin, pikir Ped saat itu.
"Paman, aku sudah menyelesaikan semuanya. Tuan memintaku untuk membawa makanan ke lantai 4," ujar Yara usai menyusun mangkuk ke dalam nampan besar.
"Ah, segera bawalah itu ke tempat tuan. Lantai empat adalah lantai tempat biasa tuan berada." Ped tersenyum tenang menatap Yara dan membantu gadis itu membuka pintu lift.
"Terima kasih, Paman." Yara melempar senyum manis pada Ped sebelum pintu lift tertutup.
Yara menatap penuh minat pada dinding lift yang begitu mengkilat di setiap sisi. Ini kali pertama ia menaiki kotak berjalan dalam keadaan sendiri membuatnya sedikit takut.
Namun, ketakutan Yara berhasil teratasi ketika pintu lift terbuka membuatnya bisa menghembus napas lega.
Yara keluar dari lift dan langsung di suguhi pemandangan yang membuatnya kagum dan juga shock secara bersamaan.
Ternyata di lantai empat tidak ada ruangan lain seperti ruangan di lantai sebelumnya. Pemandangan kolam renang, alat gygm, sofa, dan tempat tidur berukuran single bad mampu memanjakan mata Yara.
Yara berdecap kagum dengan ruangan yang tertata rapi pada tempatnya. Bahkan, desain intereornya juga terkesan mewah dan mungkin serba mahal, pikir Yara pada saat itu.
Tak ingin terus mengagumi hal-hal berbau mewah di hadapannya, Yara memutuskan untuk tidak memperdulikan hal itu lagi. Gadis cantik itu mengedarkan pandangannya kesekitar ruangan mencari keberadaan Aldrich yang langsung ia temukan tengah meliuk-liukkan tubuhnya di dalam kolam.
Pencahayaan ruangan yang tidak terlalu minim dan suara kecipratan air membuat Yara sadar akan kehadiran pria itu.
Yara memutuskan untuk mendekati sebuah sofa berukuran panjang dan meletakkan hidangan yang ia bawa di sana dengan posisi berada dekat dengan pinggir kolam.
Usai meletakkan hidangan tersebut Yara memperhatikan letak posisi piring serta memastikan tidak ada sedikit kotoran yang akan membuat tuan muda di rumah ini marah.
Yara menatap lurus ke depan tidak memperhatikan Aldrich sama sekali ketika pria itu keluar dari kolam dengan tubuh nyaris tidak berbusana.
Kain segitiga berwarna hitam hanya mampu menutup sedikit bagian intim miliknya yang mungkin akan membuat wanita mana pun tidak akan pernah bisa mengalihkan tatapan dari tubuh berbentuk sempurna itu berkat hasil olahraga. Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk Yara yang pikirannya saat ini tengah melanglang buana entah kemana sampai Aldrich berdiri di hadapannya dan meniup matanya barulah Yara tersadar dari lamunannya.
"Maafkan saya karena melamun, Tuan." Yara menundukkan kelapanya namun tatapannya terpaku pada sesuatu yang belum pernah ia lihat seumur hidupnya.
"Astaga!"
Yara segera membalikkan tubuhnya membelakangi Aldrich dan menutup matanya yang sudah melihat apa yang tidak boleh ia lihat. Tubuh gadis itu bergetar ketakutan apalagi Aldrich yang tidak bergerak seinci pun dari belakangnya.
"M-maaf, Tuan," ucap Yara dengan suara gemetar.
Setelah sekian lama tidak ada balasan dari Aldrich, Yara memutuskan untuk memutar tubuhnya kembali. Namun, belum sempat ia memutar sepenuhnya tubuh Yara sudah terlebih dahulu di dorong dan tercebur masuk ke dalam kolam.
Yara yang tidak siap berusaha untuk menggapai udara. bahkan air kolam sudah masuk ke hidung dan mulutnya membuat ia tidak bisa bersuara.
Sementara Aldrich yang merupakan pelaku utama orang yang sudah mendorong Yara justru duduk santai sambil menyeruput jus yang tersedia di atas meja dan menatap Yara dengan tatapan tak terbaca.
Setelah sekian menit dan tidak ada pergerakan dari dalam kolam barulah Aldrich dengan langkah malas berjalan menuju kolam dan melompat ke dalamnya.
Aldrich berenang ke pinggir kolam dimana tubuh Yara sudah terbaring di sana dengan mata yang sudah tertutup rapat.
Aldrich bergerak dan menarik gadis itu sembari memeluk pinggangnya dan membawanya keluar dari air untuk di baringkan di pinggir kolam.
Aldrich tersenyum sinis melihat wujud asli gadis itu. Kacamata yang dikenakan sudah tidak ada lagi. Cairan hitam yang menghiasi wajahnya pun luntur namun masih menempel di wajahnya.
Tangan Aldrich bergerak membersihkan wajah Yara dengan sapu tangan untuk makan hingga memperlihatkan wajah tanpa cela Yara.
"Ini, hm?" gumamnya tersenyum miring.
Aldrich melakukan pertolongan pertama dengan menekan d**a gadis itu namun tidak berhasil membuatnya berdecap tak suka. Tak ingin pelayan ini mati tanpa melakukan dosa padanya, Aldrich dengan ekspresi jijik mendekatkan bibirnya di bibir Yara.
Rasa kenyal, dingin, dan perasaan tak ingin melepaskan tautan bibirnya pada Yara membuat Aldrich terbelalak. Tak ingin berlama-lama Aldrich memberikan napas buatan pada Yara beberapa kali hingga gadis itu terbatuk dan mengeluarkan air yang tertelan.
Aldrich bangkit berdiri menuju sofa tanpa menutup tubuh nakednya dan meminum jus yang masih tersisa di dalam gelas. Pria tampan itu dengan santai mencicipi camilan ringan di dalam wadah tanpa menatap Yara yang kini berdiri kebingungan menatap sekitar hingga akhirnya tatapannya jatuh pada sosok dewa malam.
Aldrich.
"Bagaimana rasanya terlepas dari cairan hitam dan kacamata yang sering kau kenakan?"
Aldrich bertanya dengan nada dingin tanpa menatap Yara sedikit pun. Namun, pertanyaan Aldrich mengejutkan Yara hingga gadis itu kembali tersungkur dan hampir terjatuh ke dalam kolam.
Yara menundukkan kepalanya di hadapan Aldrich. Sungguh ia tidak menyangka jika penyamarannya akan diketahui oleh majikannya sendiri.
Hal tersebut membuat Yara ketakutan akan hukuman apa yang akan ia terima apalagi ia pernah mendengar segelintir pelayan pernah bercerita tentang kekejaman Aldrich pada pengkhianat.
"Kau tahu apa kesalahanmu?"
Yara semakin menundukkan kepalanya saat mendengar nada dingin Aldrich. Gadis cantik itu semakin yakin jika sebentar lagi dirinya pasti akan berakhir mengenaskan seperti apa yang diceritakan beberapa pelayan.
Yara terpaksa mendongakkan kepalanya ketika Aldrich menyentuh dagu dan mengangkatnya dengan telunjuk. Yara memejamkan matanya merasa tak sanggup bertatapan langsung dengan mata tajam Aldrich.
"Tidak ada yang menyuruhmu untuk menutup mata," desis Aldrich tajam, membuat Yara segera membuka matanya seketika itu.
"T-tuan," lirihnya terbata-bata. Air mata ketakutan mengalir membasahi pipi Yara.
Yara semakin ketakutan saat Aldrich menarik sudut bibirnya membentuk senyum dingin yang begitu menyeramkan.
"Apa kesalahanmu?" ulang Aldrich sekali lagi.
Yara dengan air mata menetes mengalir di pipinya berucap dengan nada terputus-putus menjelaskan apa kesalahannya.
"A-aku membohongimu dengan cara menyamar. T-tapi aku tidak berniat berbuat jahat pada siapa pun."
Aldrich menyeringai sinis menatap manik biru dan hijau gadis itu yang memancarkan ketakutan mendalam.
"Kau yakin itu?" Aldrich mendekatkan bibirnya pada bibir Yara hingga tidak ada jarak yang tersisa. Hal tersebut kontan membuat Yara terkejut dan refleks mundur beberapa langkah ke belakang hingga menimbulkan jarak.
Melihat reaksi Yara, Aldrich tersenyum sinis kemudian mengibaskan tangannya memberi kode pada Yara untuk pergi.
Tidak ingin berlama-lama berada di dekat manusia menyeramkan seperti Aldrich, Yara segera bergegas pergi tanpa mau menoleh ke belakang. Gadis itu merasa kedinginan karena baju basah dan juga udara dingin yang menerpa tubuh lemahnya.
Sementara Aldrich menatap punggung Yara dengan senyum dingin yang menghiasi wajah tampannya. Aldrich mengusap ujung bibirnya dengan jempol dan menggeleng pelan.
"Manis juga," komentarnya. Aldrich kemudian mengambil posisi duduk dan mulai menyantap sup buatan Yara setelah memperhatikan kebersihannya hingga tidak membuatnya jijik.
Sedikit demi sedikit sup ia suap masuk ke dalam mulutnya dan meresapi rasanya yang memang nikmat di lidahnya.
"Lumayan," komentarnya lagi.
Sup tandas dan Aldrich mulai menyantap beberapa hidangan lainnya dengan rasa yang juga nikmat membuat Aldrich mengangguk setuju dengan pikirannya. Usai menyantap semua hidangan di atas meja, Aldrich kembali menceburkan dirinya di dalam kolam dan mulai berenang dengan lincah. Meski hari sudah sangat malam, namun Aldrich tidak merasa dingin karena ia sudah biasa melakukan hal tersebut.
Keesokan paginya Yara mulai menyiapkan sarapan untuk Aldrich di ruang tempat Aldrich biasa sarapan. Gadis cantik dengan penampilan yang ia buat sejelek mungkin melangkah masuk ke dalam ruangan dan meletakkan nampan berisi hidangan di atas meja.
"Sarapan, Tuan," tuturnya lembut.
Yara kemudian mundur beberapa langkah dengan kepala tertunduk sementara tangannya saling bertautan gugup. Gadis cantik itu merasa tatapan Aldrich semakin menyeramkan baginya terlebih lagi ketika ingatannya kembali pada kejadian tadi malam dimana Aldrich hampir saja mencium bibirnya meski hanya tersisa jarak sedikit.
"Bersihkan kaca itu dan jangan tinggalkan noda," perintah Aldrich sembari menunjuk kaca jendela yang berada tepat di belakangnya.
Yara mengangguk patuh kemudian melangkah keluar ruangan untuk mengambil pembersih kaca. Setelahnya Yara kembali dan mulai mengerjakan pekerjaan yang di perintahkan Aldrich. Sementara pria tampan dengan setelan jas lengkap itu melirik sekilas dan mulai menyantap makanan yang terhidang di atas meja.
Kening Aldrich mengernyit merasakan rasa berbeda dari sarapannya dengan hidangan yang ia santap tadi malam. Aldrich meletakkan sendok dan garpu di atas meja tanpa menimbulkan suara.
Pria berwajah dingin itu bangkit dari duduknya melangkah pelan ke arah Yara dan berdiri tepat di belakang gadis itu dengan menyisakan jarak 4 senti.
"Apa yang kau campurkan dengan makananku, Nona Yara?"
Yara tersentak memutar tubuhnya hingga langsung berhadapan dengan d**a bidang terbalut kemeja hitam, jas abu-abu, dan dasi abu-abu milik sang majikan.
"T-tuan," lirih Yara ketakutan.
Yara sebenarnya takut untuk berada di dekat pria menyeramkan ini. Sedari tadi ia berusaha untuk tidak membuat sedikit pun kesalahan agar Aldrich tidak mendekat atau menegurnya. Namun, rupanya Aldrich selalu bisa mencari celah untuk kesalahannya.
"Makanan yang kau bawa tadi rasanya tidak enak," ucap Aldrich dingin. Mata tajamnya menatap Yara dengan pandangan setajam silet seolah siap merobek kulit gadis.
"T-tuan, makanan itu adalah makanan yang biasa k-kau makan." Yara berucap lirih. "Paman Ped yang mengatakan itu padaku," imbuhnya.
Aldrich tersenyum sinis, kemudian mengangkat dagu Yara dengan telunjuknya dan mendekatkan bibirnya pada Yara. Aldrich berbisik, "tapi aku tidak suka."
"T-tuan ingin di gantikan menu lain?" lirih Yara dengan jantung berdetak kencang. Sungguh kali ini ketakutannya berada di level ekstrem dengan kedekatan mereka. Ingin menangis rasanya namun ia tidak bisa melakukan hal tersebut atau akan membuat Aldrich murka.
"Tidak," sahut Aldrich santai.
"L-lalu, Tuan?"
"Aku ingin kau memasak sendiri untuk makananku." Aldrich berucap lirih. "Apa kau bersedia?" Tatapan pria itu menajam melihat mata gadis itu yang berkaca-kaca.
"Ah, tentu saja kau bersedia." Aldrich membuat jarak di antara mereka. "Aku memang tidak suka mendengar kata 'tidak' yang terlontar dari siapa pun," imbuhnya tanpa mendengar jawaban Yara.
Yara terbelalak namun sedetik kemudian ia mengangguk setuju dengan perintah Aldrich. Statusnya masih sebagai pelayan yang harus siap menerima perintah dari atasan.
Tanpa kata Aldrich melenggang pergi meninggalkan Yara yang masih terpaku di tempat sembari menatap punggung tegap Aldrich yang menghilang di balik pintu.
Yara menghembuskan napas lega karena Aldrich sudah pergi. Gadis cantik itu kembali mulai membersihkan kaca yang memang sudah bersih, namun karena sang majikan begitu mencintai kebersihan mau tak mau Yara harus menuruti perintah.
Yara berjalan keluar dari ruangan Aldrich ketika semua kaca sudah ia bersihkan. Gadis cantik itu membawa serta nampan berisi makanan yang tidak di sentuh Aldrich sama sekali menuju dapur besar yang terletak di lantai dasar.
Yara keluar dari dapur kita meletakkan nampan dan peralatan pembersih kaca tadi. Langkah membawanya menuju taman yang terletak di samping rumah. Taman kecil yang hanya ada beberapa jenis bunga serta sebuah kursi yang sedang duduki seorang anak kecil.
Anak kecil? Kening Yara mengernyit dan segera siap untuk menghampiri anak kecil tersebut.