Yara duduk di samping bocah laki-laki yang ia lihat tadi sembari memerhatikan wajah datar sang bocah.
"Sedang apa kau di sini? Apakah kau adalah anak orang yang bekerja di dalam rumah ini?" Yara bertanya penasaran. Pasalnya sedari tadi anak kecil di sampingnya hanya diam tanpa melakukan apa-apa.
"Itu bukan urusamu." Anak kecil itu melirik Yara sekilas kemudian mengalihkan perhatiannya ke tempat semula.
Mendengar jawaban dingin anak kecil ini membuat Yara tersenyum tulus. Menurut buku yang pernah ia baca di dalam ruang rahasianya, type anak seperti ini adalah type anak yang selalu menjauh dari keramaian dan asik dengan dunia mereka sendiri. Sifat seperti ini muncul dalam diri seseorang ketika ia merasa tidak ada yang perhatian atau mengajaknya untuk mengobrol santai seperti teman dengan teman.
"Aku hanya bertanya. Jika kau tidak ingin menjawab juga tidak apa-apa," sahut Yara tenang.
Yara kemudian mengeluarkan sebuah permen gagang dari kantong celananya dan membukanya secara perlahan. Permen yang diberikan Ped padanya tadi pagi saat ia membawa sarapan untuk Aldrich.
Yara memasukkan permen yang sudah ia kupas ke dalam mulutnya dan menikmatinya dengan mata terpejam. Ini adalah permen dengan rasa vanila paling enak yang pernah ia makan.
Sembari menikmati rasa permen dalam mulutnya, Yara mulai memejamkan matanya menikmati rasa yang begitu sehat dan segar di dalam mulut.
Tidak perlu membuka mata untuk melihat jika sepasang mata kecil itu tengah menatapnya karena insting Yara yang kuat meyakinkan jika bocah kecil itu tengah menatapnya penuh minat.
Yara membuka kelopak matanya dan bertatapan langsung dengan manik biru terang tersebut membuat si kecil gelagapan di buatnya.
"Kau mau? Aku masih punya satu." Yara kembali mengeluarkan permen dari saku celananya dan menyerahkannya pada anak laki-laki tersebut.
Anak laki-laki itu menatap tangan Yara ragu sebelum dengan malu-malu ia mengulurkan tangannya dan mengambil permen dari tangan Yara.
Di bukanya bungkus permen secara merata dan setelahnya ia mulai memasukkan permen gagang tersebut ke dalam mulutnya. Memang terasa enak terlebih lagi ini kali pertamanya ia tahu rasa dan bentuk dari permen.
"Enak? Ini kali pertama aku menikmati rasa permen setelah sekian tahun aku tidak merasakannya," gumam Yara membuat anak kecil itu menoleh heran. "Aku bahkan hampir lupa cara menikmati makanan ini," imbuhnya lagi.
"Mengapa? Apa ibumu melarangmu?" tanya anak kecil itu refleks.
Sesaat setelah ia menyadari pertanyaannya, anak kecil tersebut menutup mulutnya dan kembali menatap lurus ke depan bersikap seolah ia tidak pernah membuka suara atau pun menanyakan hal privasi pada Yara.
"Ibuku tidak pernah melarangku untuk menikmati permen. Hanya saja setelah kematian ibuku--" Seakan tersadar jika ia tidak boleh berbicara banyak tentang nasibnya, Yara segera mengalihkan topik lain untuk dibicarakan. "Hei, ngomong-ngomong siapa namamu?"
Hening.
Anak kecil itu tidak menjawab pertanyaan Yara sama sekali. Wajahnya mendatar dengan tatapan lurus ke depan sementara bibirnya tetap mengulum permen yang diambilnya dari tangan Yara.
"Ah, tidak apa-apa jika kau tidak ingin menjawab pertanyaanku," gumam Yara tak enak hati. Mungkin anak ini tidak ingin di dekati siapa pun, pikir Yara.
"Aku tidak memiliki nama."
Yara menoleh terkejut mendengar ucapan anak kecil tersebut. Yara mengira anak ini tidak mau membuka suara, namun setelah keheningan beberapa saat akhirnya buka suara juga.
"Bagaimana bisa kau tidak memiliki nama?" tanyanya heran. "Harusnya kau memiliki nama pemberian orang tuamu, bukan?"
"Aku tidak memiliki nama," ulang anak kecil itu tanpa merespon ucapan Yara.
Yara termenung sejenak sebelum menganggukkan kepalanya dan memutuskan untuk memberikan sebuah nama pada bocah kecil itu.
"Bagaimana jika aku memberimu nama Alan? Terlihat bagus untuk ukuran pria kecil dan tampan sepertimu," ujar Yara memberi usul.
"Memangnya siapa yang memberikanmu izin untuk memberiku nama?' tanya bocah kecil itu sinis. Meski ia merasa senang jika ada orang yang memberinya nama, namun ia tidak boleh begitu saja menunjukkannya.
Sebenarnya saat di rumah ayahnya yang sudah tewas, para pelayan memanggilnya dengan sebutan Tuan Muda dan tidak memiliki nama. Sementara ayahnya tidak begitu peduli terhadapnya karena yang diperdulikan lelaki itu hanya s**********n wanita saja.
"Tidak ada." Yara menggeleng polos. "Tapi, kau tidak memiliki nama. Jadi, aku bingung ingin memanggilmu dengan sebutan apa," tambahnya lagi.
"Ya sudah jika kau memaksa ingin memanggiku Alan. Aku akan menerimanya dengan berat hati." Alan menghela napas berat seolah pasrah akan dipanggil Yara dengan sebutan itu. Namun, tidak ada yang tahu apa yang di rasakan bocah berusia 5 tahun itu di dalam hatinya.
Sementara itu Aldrich yang baru saja turun dari mobil menghentikan langkahnya saat berniat masuk ke dalam gedung tempatnya bekerja ketika melihat sosok yang membuatnya muak.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Aldrich dingin.
Aldrich mundur beberapa langkah ketika sosok tersebut berniat untuk mendekatinya, sementara pengawal yang berjaga sigap langsung mengelilinginya.
"Al, mengapa kau bersikap jijik pada ibumu sendiri?"
Melisa, ibu Aldrich menatap putranya kecewa dengan reaksinya. Aldrich adalah putranya dan ia tidak bisa menerima begitu saja ketika sang putra bersikap seolah dirinya adalah kuman yang harus di jauhi.
"Aku tidak ingin dekat dengan kotoran." Aldrich mengernyit jijik membuat Melisa semakin sakit hati, namun pria itu tidak perduli.
"Nak, lusa adalah hari ulang tahun nenekmu. Aku ingin kau menghadirinya," ujar Melisa mencoba untuk tersenyum sembari membujuk Aldrich.
"Tidak perlu kau ingatkan karena aku pasti akan datang."
Pria tampan itu menyahut sembari melenggang pergi meninggalkan Melisa dengan pengawalan ketat agar wanita yang disebut sebagai ibunya itu tidak mendekat.
"Al!" panggil Melisa berusaha untuk mendekat, namun para pengawal Aldrich yang lain justru menghalanginya.
Aldrich menghempaskan tubuhnya di atas kursi kebesarannya dan mulai mengerjakan semua pekerjaan yang sudah di letakkan Sen di atas meja.
"Tuan, Nyonya tua menghubungi."
Sen masuk setelah mengetuk pintu dan menyerahkan sebuah telepon genggam pada Aldrich yang di terima pria itu dengan dengkusan.
"Halo," sapanya pada si penelepon.
"Aku sibuk dan ponselku mati,"sahutnya menjawab pertanyaan dari wanita tua di seberang sana.
"Iya, aku usahakan."
Sambungan telepon di matikan setelah percakapan usai. Aldrich menyerahkan telepon pada Sen dan menatap pria yang lebih tua darinya.
"Apa yang ingin kau perintahkan, Tuan?" Sen bertanya dengan kepala tertunduk.
"Aku ingin kau membelikan satu set perhiasan untuk wanita tua itu," perintah Aldrich yang langsung di turuti Sen.
"Baik, Tuan."