Bab 12

970 Kata
Aldrich melangkah santai memasuki bangunan istana yang sengaja ia bangun di tengah hutan. Aldrich menyukai kesepian maka tidak heran ia membangun istananya di tengah hutan namun dengan fasilitas yang tentunya lengkap. Langkah Aldrich terhenti saat matanya tak sengaja melirik ke arah taman dimana pelayan pribadinya tengah merangkai robot mainan bersama seorang anak kecil. Aldrich ingat anak kecil itu Itu adalah bocah lima tahun yang ia ambil dari kediaman Jack sebelum ia memutuskan untuk meledakkan kediaman Jack. Aldrich memutuskan menghampiri mereka dan berdiri tak jauh dari kedua orang yang segera menyadari kehadirannya. Keduanya berdiri dan menundukkan kepala mereka secara bersamaan ketika melihat kedatangannya. Aldrich tersenyum sinis dan menatap jijik tangan Yara yang ia anggap pasti penuh dengan kuman. "Sterilkan tanganmu dan siapkan aku kopi hangat," perintahnya sebelum berbalik pergi. "Aku pergi dulu, Alan. Tolong rapikan kembali mainanmu sebelum Tuan muda marah," ujar Yara sebelum ia berbalik pergi. Yara berlari kecil menuju kamarnya dan membersihkan tubuh terutama tangannya agar tidak ada sedikit pun kotoran yang menempel dan membuat Aldrich marah. Segera setelah itu Yara membuatkan kopi sesuai standar yang sudah disebutkan Pedro. Gadis muda dengan penampilan buruk rupa itu melangkah menuju lantai dua dimana tempat Aldrich saat ini berada. "Permisi, Tuan. Ini kopinya," ujar Yara kemudian mulai menata kopi dan piring kecil berisi kue di atas meja. Setelah itu Yara mundur beberapa langkah sembari berdiri dengan kepala menunduk. Bulu kuduk Yara meremang ketika melihat sepatu Aldrich mendekat ke arahnya. Yara sedikit terkejut saat Aldrich mengangkat dagunya kemudian tanpa basa-basi menempelkan bibir mereka hingga membuatnya terbelalak. Tuan muda yang sangat mencintai kebersihan melakukan perbuatan yang seharusnya menjijikkan untuk dilakukan penderita myshphobia seperti Aldrich. Ini tidak mungkin! Apa sebenarnya yang dilakukan pria ini? Mencuri ciuman pertama darinya? Batin Yara tak terima. Yara mendorong tubuh tinggi Aldrich ketika merasakan bibir pria itu mulai bergerak. Yara mundur beberapa langkah setelah berhasil terbebas dari kungkungan bibir Aldrich dan tanpa sadar mengusap bibirnya dengan kasar. "K-kau, a-apa yang kau lakukan?" Yara menatap Aldrich takut sementara yang di tatap justru tersenyum sinis. "Aku hanya melakukan apa yang aku suka," sahut Aldrich santai. "Bibirmu ternyata tidak membuatku jijik. Apa kau pernah mencampurkan seauatu ke dalam makananku?" tuduh Aldrich tak mendasar, membuat Yara segera terbelalak. "A-aku tidak mencampurkan sesuatu ke dalam makananmu, Tuan. Kau bisa tanya pada paman Ped." Yara menggeleng panik dengan air mata bercucuran menetes membentuk aliran anak sungai. Sementara Aldrich hanya tersenyum dingin tanpa menyahut ucapan Yara. Aldrich memberi kode pada Yara untuk segera keluar dari ruangannya, sementara ia sendiri duduk di sofa yang menghadap langsung ke balkon. Hari menjelang sore dan Aldrich tidak berniat untuk melakukan apapun selain duduk santai sembari menikmati angin di sore hari. Sementara Yara bergegas kembali ke kamarnya sambil mengusap air matanya. Bibir sucinya sudah ternoda oleh perbuatan sang majikan dan itu yang membuat Yara sedih karena tidak bisa menjaga kesucian tubuhnya untuk suaminya kelak. "Hei, Yara, mengapa kau menangis?" Alice yang berniat untuk menghampiri Yara di kamarnya terhenti di tengah koridor ketika melihat teman barunya berjalan sambil sesekali mengusap air matanya. "Aku tidak apa-apa, Alice. Tadi kakiku tersandung dan ini sedikit sakit makanya aku menangis," tutur Yara mencoba tersenyum. Gadis cantik itu membawa Alice ke kamarnya yang memang sedikit berbeda dari kamar pelayan yang lain. Mungkin kamar ini bisa dikatakan mewah seperti kamarnya yang berada di rumah lama sebelum dikuasai Jena. "Kau yakin jika kau tidak sedang membohongiku?" Alice menatap Yara curiga, namun Yara hanya menggelengkan kepalanya dan mencoba tersenyum. "Aku tidak apa-apa, Alice." Yara menatap Alice lembut. "Lalu, bagaimana dengan harimu di rumah belakang?" tanyanya menghalihkan topik pembicaraan. "Biasa saja, selain tiga gadis buruk rupa itu yang selalu menggangguku," sahut Alice santai, membuat Yara menatapnya cemas. "Apa kau tidak apa-apa?" "Tidak apa-apa. Aku bukan gadis lemah yang begitu mudah untuk di tindas," sahut Alice kalem. Alice kemudian menanyakan hari-hari Yara selama bekerja dengan Aldrich yang dijawab gadis cantik itu apa adanya. Kecuali, insiden ia tercebur di kolam dan Aldrich yang sudah mencuri ciuman pertamanya. Keduanya berbincang hingga hari menjelang petang baru lah Alice pamit undur diri kembali ke rumah belakang. Yara yang sudah merasakan tubuhnya lengket karena belum mandi sir memutuskan untuk menuju kamar mandi yang berada satu ruangan dengan kamarnya. Yara mulai membuka satu persatu kain yang melekat di tubuhnya hingga menampakkan tubuh seputih salju dengan bentuk tubuh yang akan membuat pria mana pun akan tergiur. Payudara bulat dan kencang. Perut rata, kaki jenjang dengan porsi tubuh yang tidak terlihat kurus atau berisi. Yara memang memiliki tubuh yang menjadi kriteria semua wanita. Ini adalah alasan kedua kakak beradik itu, Jena dan Sarah untuk tidak mengizinkan atau membiarkan Yara keluar diri rumah. Jika ada orang lain yang bertanya tentang Yara, maka mereka akan menjawab jika Yara sedang menempuh pendidikan di luar negeri. Yara mulai membersihkan tubuhnya. Sabun beraroma apel ia gunakan untuk ia bilas di tubuhnya sementara rambut hitam legamnya ia bilas dengan menggunakan sampo yang memiliki aroma menenangkan. Tiga puluh menit kemudian. Yara keluar dari kamar mandi hanya mengenakan selembar handuk mandi yang memang tersedia di dalam. Gadis cantik itu itu lupa untuk membawa pakaian ganti tadi. Namun, ia sangat yakin jika tidak ada yang akan masuk ke dalam kamar karena pintu sudah ia kunci sebelum masuk ke kamar mandi. Yara melangkah santai mendekati lemari pakaian yang terletak di dekat jendela kamar. Yara memilah satu set pakaian berupa baju kaus warna merah muda lengan panjang dan rok panjang hingga semata kaki pemberian Alice. Yara membalikkan tubuhnya ke arah jendela dengan gorden yang tidak pernah ia buka. "Astaga!" Yara memekik terkejut dan tanpa sadar menjatuhkan set pakaian yang ia pegang ke lantai ketika melihat sebuah siluet seseorang yang berdiri tenang di dekat jendela kamar. Orang itu bersandar nyaman di kusen kayu dengan tangan terlipat di d**a sembari menatap Yara dengan tatapan tajam khasnya. "Tidak buruk, lumayan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN