Aldrich melirik jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya dan mendengkus karena sampai saat ini sosok gadis itu tak jua muncul di hadapannya.
Aldrich keluar dari ruangannya dengan kemeja hitam melekat di tubuhnya. Pria tampan dengan mata berwarna biru gelap itu menyusuri koridor di lantai kamar tempat Yara tinggal.
Sampai di tengah jalan, Aldrich tiba-tiba menghentikan langkahnya dan mengernyit bingung karena untuk apa ia ada di sini? Aldrich berniat untuk memutar tubuhnya kembali ke kamarnya berada, namun kakinya justru tetap melangkah mencari kamar Yara.
Aldrich tahu dimana kamar gadis itu karena ia sendiri yang merekomendasikan pada Ped untuk memberikan kamar itu pada Yara. Kamar yang pernah Aldrich gunakanan tiga tahun lalu sebelum pindah ke kamar lain yang lebih luas.
Kening pria itu mengernyit ketika melihat pintu kamar yang terkunci dan senyum dingin muncul di wajah tampan tanpa ekspresinya.
Aldrich meraba sebuah kotak yang berada di samping pintu dan menekan sesuatu di atasnya. Tak lama terdengar suara klik pertanda pintu sudah bisa terbuka. Tanpa melakukan sesuatu yang berlebihan, Aldrich membuka pintu dengan mudah dan melangkah masuk.
Tatapan Aldrich memperhatikan kamar Yara yang tertata rapi dan tidak ada baju bergelantungan atau kotoran sedikit pun. Kemudian ia mengitari kamar tersebut seraya menyentuh satu-persatu furniture di dalam kamar dan tidak menemukan setitik debu.
Langkah kakinya membawanya ke jendela kamar yang tidak terkena sinar lampu di samping tempat tidur. Gadis ini entah lupa untuk menghidupkan lampu kamar atau memang ia tidak suka cahaya yang terlalu terang.
Sekian lama Aldrich termenung di dekat jendela, Aldrich mendengar suara pintu kamar mandi terbuka dan tak lama sosok seputih salju itu keluar dari kamar mandi hanya mengenakan selembar handuk yang menutup bagian atas dan setengah pahanya.
Aldrich diam tanpa suara ketika sosok yang tak lain adalah Yara tak menyadari kehadirannya. Sosok Yara mendekat ke arah lemari yang berada tak jauh dari posisinya saat ini.
Gadis itu membalikan tubuh ke arahnya berada dan memekik terkejut ketika melihat siluetnya berada.
"Tidak buruk, lumayan," komentarnya menatap tubuh Yara dari atas hingga bawah.
Yara bergerak berniat untuk melarikan diri, namun Aldrich terlebih dahulu menahan tubuhnya dan menghimpitnya di antara pintu lemari.
"A-apa yang kau lakukan?" Suara Yara terbata-bata sambil mendongak menatap Aldrich takut. Gadis itu mengeratkan pegangan pada handuknya.
Aldrich tidak menjawab. Kepalanya turun menatap celah diantara tangan Yara yang tengah memegang erat handuknya. Aldrich kemudian menaikkan pandangannya hingga bertatapan langsung dengan manik hijau tosca dan biru milik Yara yang terlihat ketakutan. Aldrich baru menyadari warna bola mata Yara yang sesungguhnya terlebih lagi terlihat sedikit jelas diantara cahaya remang.
"Kecil sekali," gumam Aldrich membuat kening Yara mengernyit tak paham.
"Ini--"Aldrich menyentuh tangan Yara yang tengah memegang ujung handuk diantara belahan payudaranya.
Jemari Aldrich menyentuh tangan Yara membelainya pelan dan bergerak hingga berada di bagian bawah payudaranya. Hal tersebut kontan membuat Yara dengan refleks menepis tangan Aldrich yang sudah semena-mena menyentuh bagian tubuh berharganya.
"A-apa yang kau lakukan?" Wajah Yara memucat apalagi melihat senyum Aldrich yang tampak menyeramkan.
"Menyentuhnya."
Yara berusaha mendorong Aldrich dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya berusaha untuk menahan pegangan handuk. Dirinya sudah terkurung dengan tubuh tinggi Aldrich membuat Yara merasa tak nyaman terlebih lagi kedua tangan Aldrich berada di kedua sisi kepalanya.
Posisi intim membuat Yara tak nyaman apalagi Aldrich tengah berusaha untuk mendekatkan bibirnya. Yara melengos begitu saja ketika bibir pria itu hampir menyentuh bibirnya.
Yara menghela napas lega karena bibirnya kali ini selamat, namun ia harus menahan napas saat bibir Aldrich justru menempel di leher putihnya.
Aldrich menghirup napasnya dalam-dalam mencium harum dari tubuh gadis yang tengah ia kurung saat ini. Lidah Aldrich terulur menjilat leher gadis itu hingga membuat si empunya tanpa sadar melenguh.
Tangan Aldrich turun untuk merengkuh pinggang Yara sementara bibirnya melumat leher dengan harum yang membuatnya merasa lapar. Yara berusaha memberontak mendorong Aldrich untuk menjauh, namun pria itu bergeming dan semakin mengeratkan dekapannya.
"Ugh!"
Yara berusaha untuk mengangkat sebelah kakinya dan menendang bagian milik Aldrich yang berada di sela-sela pahanya. Aldrich melepaskan dekapan dan lumatannya kemudian mundur beberapa langkah sembari mengusap bibir dengan tangannya.
Mata tajamnya menatap Yara kemudian seringaiannya muncul sembari menikmati ekspresi ketakutan Yara.
"Lumayan juga. Lain kali aku akan mencoba yang lebih menyenangkan lagi," tuturnya dengan wajah tanpa dosa.
Tanpa kata Aldrich berbalik keluar dari kamar Yara. Setelah pintu tertutup, Aldrich menyentuh miliknya yang berdenyut sakit hasil dari tendangan Yara barusan. Namun, pria itu tetap tersenyum dingin karena sudah mencicipi benda empuk dan lembut itu.
Sementara Yara yang merasa diperlakukan tidak menyenangkan hanya bisa berjongkok dan menangis sambil menutup wajahnya. Yara merasa nasibnya begitu buruk hingga harus menerima semua keadaan seperti ini. Namun, ia harus kuat. Jika tidak, ia tidak akan bisa bertahan di rumah ini.
Jika keadaan terus berlanjut Yara janji ia akan meninggalkan tempat ini sesegera mungkin karena ia pergi dari rumah untuk mencari keamanan bukan kesengsaraan yang harus ia terima lagi dan lagi.