Aldrich memarkirkan mobilnya di antara jejeran mobil yang lain. Turun dari mobil, Aldrich langsung di sambut sapaan hormat para pengawal yang langsung menyadari kehadirannya.
Aldrich melangkah memasuki pintu besar yang terpampang di hadapannya dengan kawalan pengawal yang bertugas mengawalnya. Pria tampan itu melangkah lurus memasuki rumah besar hingga ia tiba di sebuah taman yang terletak di samping rumah.
Taman luas yang sudah di hias dengan bunga warna-warni dan banyak orang-orang berdatangan untuk memberi selamat pada si pemilik hajat.
Aldrich menghampiri seorang wanita tua yang tengah di kelilingi banyak wanita sosialita yang langsung menyingkir ketika melihat kedatangan Aldrich.
"Alde, kau akhirnya datang juga!" Wanita tua yang merupakan nenek Aldrich dari pihak almarhum ayahnya memeluk dengan erat tubuh tinggi Aldrich.
"Hentikan, Nek. Aku tidak bisa bernapas,"ujar Aldrich membuat sang nenek melepaskan pelukannya dengan wajah cemberut.
"Kau tidak merindukanku, Alde," keluh wanita tua itu.
"Aku merindukanmu." Aldrich berucap dengan wajah datar khasnya, membuat wanita tua bernama Joyce atau kerap di sapa Joy itu merengut.
"Kau bilang jika kau merindukan aku? coba kau berkaca dan lihatlah ekspresimu saat berkata seperti itu."
"Tampan seperti biasa."
"Alde, kau--"
"Al, akhirnya kau datang juga!"
Aldrich menatap ibunya datar. Wanita paruh baya itu sungguh tidak malu menyapa dirinya seperti orang yang sangat dekat. Padahal jujur saja Aldrich tidak pernah dekat dengan wanita yang sudah mengandung dan melahirkannya tanpa membesarkan selayaknya ibu yang ada di dunia ini.
"Alde, bersikap sopan lah. Bagaimanapun dia ibumu," ujar Joy menegur cucunya.
"Aku tidak bisa." Aldrich mendengkus sinis lalu membuang wajahnya karena tak sudi menatap wanita itu lama-lama.
Tak berselang lama Andrew, suami Melisa yang juga merupakan ayah tiri Aldrich datang bersama seorang gadis yang berpenampilan cantik dan seksi hingga membuat semua mata terpana memandangi gadis itu.
Melisa tersenyum menatap kedatangan mereka lalu tatapannya ia alihkan kembali pada Aldrich meski putranya itu tidak menatapnya sama sekali.
"Al, kenalkan, dia Jena. Nah, Jena ini adalah anak bibi yang ingin bibi kenalkan denganmu." Melisa tersenyum manis menatap Aldrich kemudian beralih menatap Jena yang juga tengah menatap Aldrich penuh minat.
"Siapa?" tanya Aldrich sembari memasukkan tangannya ke dalam saku celana.
"Aku Jena. Kau?" Jena tersenyum menyapa Aldrich lebih dulu.
"Maksudku, kau siapa dan memiliki hak apa untuk menjodohkan aku?"
Senyum Melisa membeku ketika mendengar pertanyaan bernada dingin yang di ucapkan Aldrich untuknya. Wajahnya memucat apalagi saat mendengar ucapan Aldrich yang membuat tubuh Melisa bergetar penuh kesakitan juga emosi yang membara.
"Orang asing tidak berhak untuk ikut campur dalam urusanku."
"Alde, apa yang salah dengan perjodohan yang di rancang ibumu? Kau sudah cukup matang untuk menikah," sela Joy ikut mendukung keinginan Melisa. Joy sangat berharap jika cucunya ini akan segera menikah dan memiliki anak agar hidupnya tidak akan berjalan seperti robot lagi.
"Nek, aku akan menikah tapi tidak dengan wanita yang di jodohkan dia denganku," tutur Aldrich menatap neneknya datar. "Aku pulang dulu, dan hadiah akan di serahkan orangku padamu," imbuhnya sebelum berbalik pergi.
Aldrich melangkah tanpa suara dengan kawalan ketat para pengawal diiringi tatapan penasaran yang di layangkan para tamu undangan. Namun, Aldrich bergeming tak peduli dengan keadaan sekitar.
Pria tampan dengan setelan jas abu-abu-itu pergi meninggalkan sang nenek yang terus menyerukan namanya. Sayangnya Aldrich sudah menulikan telinganya.
Mobil mewah yang di sopiri oleh Jimmy membelah jalanan Ibukota sementara di belakangnya,
Aldrich duduk dengan tenang dengan mata yang ia arahkan ke arah jendela.
Jimmy mengusap tengkuknya yang terasa merinding merasakan aura tidak mengenakan yang menguar dari belakang. Jimmy hanya berharap bosnya ini tidak berbuat aneh-aneh misal dengan cara melemparkan mobil dari gedung lantai 407, pikir Jimmy mulai melantur.
"Ke hotel."
Tuh kan! Seru Jimmy dalam hati. Perasaannya mulai tak enak membuatnya segera melirik Aldrich takut-takut.
"U-untuk apa, Tuan?" tanyanya mulai pucat.
Aldrich tak menjawab melainkan memberikan tatapan mematikan untuk sang sopir yang langsung bungkam di tempat.
Sesampainya di hotel, Aldrich melangkah masuk kemudian menaiki sebuah lift khusus yang akan membawanya langsung menuju panthouse.
Aldrich menghempaskan tubuhnya di ruang tamu dengan wajah datar dan ekspresi marah yang ia tampilkan ketika ia seorang diri di wilayah pribadinya.
Aldrich marah pada wanita itu. Wanita yang dengan beraninya ikut campur urusan kehidupannya sementara ia sendiri tidak pernah menggubris wanita itu.
Ingin rasanya ia membunuh wanita itu, namun apa daya ia tidak akan mengotori tangannya dengan darah wanita yang sudah membuat hidupnya hancur.
Aldrich bangkit berdiri memasuki ruang penyimpan wine dan tak lama ia keluar dengan tiga botol minuman di tangannya. Kembali setelah ia meletakkan botol minuman, Aldrich memasuki dapur mengambil gelas kristal lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa hitam berharga ribuan dolar.
Pria itu mulai menuangkan wine dengan kualitas tinggi yang di produksi oleh perusahaannya sendiri. Perusahaan minuman keras dengan harga perbotol bisa membeli satu buah motor sport.
Ah, Aldrich memiliki semua yang orang lain punya yaitu uang, uang, uang, dan uang. Namun, ia tidak memiliki apa yang dimiliki orang lain.
Keluarga, sahabat, dan bahkan seorang teman pun Aldrich tidak memilikinya. Ia hanya memiliki rekan bisnis yang bertugas untuk menjilat padanya, dan juga anak buah yang bekerja untuknya.
Jadi apa? Siapa yang mengatakan jika ia memiliki segalanya? Segala yang ia miliki hanya simbolisme saja tanpa ada ikatan batin atau perasaan melankolis.
Setiap tegukan yang di cerna Aldrich melalui tenggorokannya merupakan ingatan kesakitan yang tidak pernah diketahui oleh orang lain.
Aldrich benci mendengar orang-orang mengatakan ia adalah manusia paling beruntung di dunia ini karena memiliki wajah tampan, bentuk tubuh sempurna, dan kekayaan yang melimpah. Mereka yang mengatakan hal seperti itu mungkin tidak pernah merasakan hidup di tengah keramaian namun terasa sepi dari hati nuraninya.
Nurani, eh? Rasanya ia tidak memiliki itu sudah sejak lama.
Aldrich terus meneguk minuman yang sangat jarang ia sentuh hingga beberapa botol dan membuatnya mabuk.
Aldrich tidak keluar dari panthous hingga menjelang tengah malam membuat Jimmy yang berada di bawah bergerak gelisah.
Sedari siang Aldrich menghilang dan belum ada kabar apapun membuat Jimmy menghela napas berat sejak beberapa jam yang lalu.
Tak berselang lama suara telepon Jimmy terdengar membuatnya tersentak. Segera Jimmy mengangkat panggilan yang tak lain berasal dari Aldrich.
"Iya, Tuan?"
Jimmy terdiam mendengar ucapan tuannya di seberang sana sebelum bergerak ke baseman untuk mengambil mobil karena Aldrich sedang dalam perjalanan turun dari lift.
Aldrich dengan langkah sedikit terhuyung dan mata memerah keluar dari pintu lift menuju pintu keluar.
Meski langkahnya sedikit sempoyongan, namun tidak ada yang berani untuk mendekat karena tatapan peringatan dari penjaga Aldrich yang berada di sekitar pria itu.
Aldrich masuk ke dalam mobil saat pintu sudah di buka seorang pengawal. Segera setelah pintu tertutup, mobil pun melaju meninggalkan hotel berbintang yang merupakan salah satu usaha Aldrich.
Di tengah perjalanan mobil yang dikendarai Jimmy sedikit menghambat dan membuat Aldrich marah.
"Kau tidak sedang mengendara kura-kura!" sentaknya keras membuat Jimmy terperanjat.
"Tapi tuan, di depan ada seorang wanita yang menghalang laju kita." Dengan takut Jimmy menjelaskan apa yang ia alami saat ini.
Aldrich yang tengah memejamkan matanya segera membuka kelopak matanya dengan mata menyipit.
"Aku tidak suka langkahku dihalangi," gumam Aldrich dingin membuat Jimmy berkeringat dingin. "Tabrak!"
Tes!
Satu tetes keringat dingin jatuh dari kening Jimmy. Jika orang yang akan di tabrak itu gangster atau lelaki jahat maka Jimmy tidak akan ragu untuk melakukannya. Tapi, ini ....
"Tabrak!"
Seketika itu mobil melaju kencang hampir menabrak wanita itu, namun wanita itu cukup beruntung karena ia hanya terkena sedikit goresan bukan terbanting.
"Bagus," komentar Aldrich singkat.
Jimmy mengelus dadanya yang berdebar menyakitkan. Bagus hidungmu, bos, rutuk Jimmy dalam hari.