Suasana sebuah bangunan tampak ramai oleh penjaga yang bertugas.
Senjata lengkap dengan berbagai merek berada dalam masing-masing tubuh para penjaga sehingga siapa pun musuh yang berada di dekat mereka akan dengan mudah di musnahkan.
Rupanya hal tersebut tak membuat Aldrich dan 10 anak buah yang ia bawa ke markas Roister yang selalu menantang klan miliknya.
Roister selalu berusaha untuk membuat klan Aldrich --Dark Flower--berada dalam posisi sulit dengan cara bersekongkol dengan aparat negara untuk memberantas Dark Flower agar bisa menjadi klan mafia mereka menjadi klan terkuat dan paling di segani oleh dunia.
Malam ini Aldrich serta anak buahnya akan memusnahkan klan Roister dari bumi ini.
Langkah yang diambil anak buah Aldrich dalam melumpuhkan lawan benar-benar baik dan tepat. Mereka menggunakan pistol peredam suara untuk membunuh lawan tanpa menimbulkan kericuhan.
Aldrich melangkah masuk dengan santai dan tenang, sementara Ed dan Sen bertugas untuk melindungi Aldrich dari musuh yang menyerang.
Sen membuka pintu bangunan berupa mansion yang terletak di pinggir kota kemudian mengawasi sekitar memastikan tidak ada jebakan, baru lah ia meminta Aldrich untuk masuk.
"Tuan, menurut informasi orang kita jika saat Jack berada di lantai dua, tengah berpadu kasih dengan beberapa perempuan," lapor Ed sambil tetap mengawasi keadaan.
Pistol Ed terulur ke arah dapur dan menembak cepat seorang pria yang mengarahkan senjatanya ke Aldrich hingga membuat para pelayan berteriak histeris.
"Bergerak." Aldrich hanya mengucapkan satu kata dan Sen sudah bergerak untuk menghabisi orang-orang yang masih di dapur. Baik itu pengawal atau pembantu rumah tangga.
Tak berselang lama Sen keluar dengan menarik seorang wanita cantik mengenakan seragam pelayan.
"Tuan, dia adalah wanita yang kau usir tempo hari. Kami sudah membuangnya ke laut tapi ternyata dia di selamatkan oleh anggota Roister." Sen menjelaskan dengan datar. "Dia ternyata mata-mata dari Roister, dan satu lagi masih ada di mansion kita. Bertugas di bagian belakang," tambahnya mengeratkan tarikan pada rambut wanita itu.
Aldrich menoleh menatap jijik wanita itu. Pria tampan dengan aura suram itu mendesis dan memerintah Sen untuk membunuh wanita itu di tempat.
"Baik, Tuan."
Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Sen mendorong wanita itu ke lantai dan menembak wanita malang itu tepat di dahinya.
"Urus yang lain dan jangan biarkan mereka lolos," perintah Aldrich pada Sen. "Kita urus yang di atas." Aldrich bergerak maju diikuti Ed menuju lantak dua.
Aldrich mengangguk ketika Ed menatapnya. Kemudian tanpa basa-basi, Ed menendang pintu hingga terbuka lebar dan menampilkan aktivitas menjijikkan dari dalam kamar.
Jack yang hampir mendapatkan puncaknya di atas tubuh seorang wanita tersentak kaget. Jack memutar kepalanya hanya untuk menemukan tatapan jijik dari musuh besarnya, Aldrich.
"Oh, aku tidak tahu jika aku kedatangan tamu terhormat di istanaku malam ini!"
Jack dengan santai mecabut miliknya dan terduduk di pinggir ranjang sambil merangkul dua wanita dalam dekapannya. Sementara wanita yang tadi berada di bawahnya kini tengah menatap Aldrich dengan tatapan lapar.
Pria tampan! Batin wanita itu berseru senang. Tatapan memuja dan senyum c***l ia lemparkan untuk Aldrich. Namun, bukan senyum atau tatapan penuh nafsu yang di tunjuk Aldrich untuknya melainkan sebuah tembakan yang tepat mengenai dahinya.
Hingga dia meregang nyawa, wanita itu masih tidak tahu apa kesalahannya untuk di bunuh secara tragis seperti ini.
Aldrich tersenyum sinis melihat tatapan takut yang di layangkan dua wanita dalam dekapan Jack.
"Kau salah, Jack. Aku bukan tamu terhormat. Tapi--" Aldrich menjeda ucapannya sejenak. "Malaikat maut yang akan membawamu ke Raja Yama."
"Ha-ha!"
Mendengar ucapan Aldrich, bukannya takut, Jack justru tertawa liar hingga tubuh berototnya bergetar. Sementara dua wanita lainnya hanya diam-diam menyeringai menatap Aldrich tanpa membuka suara.
Mereka memang terkejut tadi ketika teman mereka di tembak. Tapi, rasa takut mereka musnah begitu yakin jika Jack lebih kuat dari dua orang itu.
"Tuan Syega, aku sarankan sebelum kau memutuskan untuk kemari harusnya kau terlebih dahulu mengecek keadaan istanamu." Jack berujar dengan santai. "Aku yakin saat ini istana kebanggaanmu sudah rata dengan tanah," imbuhnya dengan seringaian sinis.
Aldrich tetap diam dengan dengan wajah datar dan dinginnya.
"Kau yakin?"
"Sangat." Jack mengangguk yakin. "Aku bisa memastikan jika saat ini orang-orangmu dalam istana sudah jatuh dalam reruntuhan bangunan. Mereka pasti sudah mati."
Aldrich tersenyum dingin dan berkata, "kalau begitu kau akan menemani orang-orangku di dunia lain."
Dor!
Dor!
Dor!
Tiga tembakkan menggema di kamar mewah dan luas tersebut membuat siapa pun yang mendengar pasti akan merasa ketakutan luar biasa.
Tidak ada suara jeritan dari lawannya dan tidak akan ada yang akan berani membuat perlawanan. Karena ketiga orang itu langsung bungkam seketika saat pistol di tangan Aldrich mengarah ke dahi mereka.
Aldrich melempar pistol pada Ed yang langsung di sambut pria itu. Kemudian ia membersihkan sapu tangan dari saku jasnya.
"Ledakkan rumah ini dan jangan sisakan apapun," perintah Aldrich yang tentu saja di angguki Ed.
Aldrich keluar dari kamar sebelum berhenti di samping pot bunga besar yang terletak di depan kamar Jack.
"Keluar lah," suruh Aldrich membuat Ed menatap atasannya bingung.
Namun, karena tak ingin menjadi sasaran amukan bosnya, Ed berujar,"iya, Tuan. Aku di belakangmu."
"Bukan kau yang aku maksud."
Ed bingung mendengar pernyataan tuannya. Namun, segera ia mengerti ketika matanya tak sengaja melirik ke arah pot bunga.
Ed bergerak maju menarik sesuatu dari pinggir pot lalu melemparkannya di depan Aldrich.
"Bocah ini akan kita apakan, Tuan?"
Aldrich menatap anak laki-laki berusia 5 tahun itu dengan tatapan tak terbaca. Sementara anak itu menatap Aldrich dan Ed dengan takut-takut.
Anak kecil itu sudah menyaksikan semua yang dilakukan orang itu pada ayahnya. Tentu saja ia juga pasti akan mati menyusul ayahnya dan juga wanita-wanita simpanan sang ayah.
"Bawa dia."
Ed menatap Aldrich tak percaya. Saat Aldrich bergerak untuk pergi, barulah Ed berniat untuk menyuarakan protes yang berakhir sia-sia. "Nak, kau akan ikut dengan paman. Berdoa lah agar kau tidak ikut mati mengikuti orang tuamu," ujarnya menakut-nakuti bocah kecil yang terlihat semakin pucat.
Yara menatap bintang di langit yang berkelip seperti tengah memperhatikannya dari atas sana. Berharap orang tuanya yang sedang memperhatikan dirinya.
Senyum gadis cantik itu mengembang ketika mengingat masa kecilnya saat kedua orang tuanya masih hidup.
Yara menangkup tangannya di d**a dan mulai memejamkan matanya sambil berdoa di dalam hati untuk kebahagiaan orang tuanya di sisi Tuhan. Hal tersebut memang sering dilakukan Yara ketika malam tiba.
Kedua kelopak mata gadis itu terbuka dan kembali menatap langit penuh bintang dengan senyum lebar.
Setelah beberapa menit berlalu, Yara berniat untuk masuk ke dalam, namun langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu yang mencurigakan di bawah. Lebih tepatnya di taman besar yang terletak di samping bangunan utama.
Itu adalah taman yang selalu ia bersihkan pagi dan sore bersama Alice. Mata gadis itu menajam ketika melihat sosok yang mencurigakan itu mengendap-ngendap sambil membawa sesuatu di tangannya.
Meski tempatnya sedikit gelap, namun mata Yara yang memiliki kelainan bisa melihat sosok itu membawa bungkusan hitam menuju bagian samping tempat keamanan tidak terlalu ketat.
Yara menyentuh dadanya dengan kernyitan di dahinya saat merasakan perasaan tak nyaman yang menghampirinya.
Ini perasaan yang selalu ia rasakan jika sesuatu yang buruk akan terjadi.
Segera sosok Yara berlari meninggalkan balkon keluar dari kamarnya dan mulai mengetuk kamar Alice dengan brutal.
"Yara, ada apa kau terlihat brutal seperti itu?" Alice keluar dan menatap Yara heran. Beruntung ia belum sempat mengubah penampilannya begitu juga dengan Yara.
"Ada sesuatu yang mencurigakan. Ayo, ikut aku!"
Yara menarik tangan Alice berlari menyusuri koridor dan menuruni anak tangga menuju arah tempat orang yang ia lihat mencurigakan tadi.
"Kita mau ke mana?" Alice menatap Yara yang terus menariknya.
Orang-orang yang mendengar kegaduhan yang di ciptakan Yara tadi keluar hanya untuk melihat kedua gadis itu terus berlari meski sudah coba di hentikan beberapa rekan mereka.
"Ikut saja."
"Hei, kenapa kita kesini? Jika Paman Ped tahu kita memasuki wilayah ini kita bisa di bunuh atau paling tidak kita akan di pecat," bisik Alice melirik sekeliling dengan takut.
Saat ini mereka berada di sebuah taman yang tabu untuk mereka masuki.
Di bangunan utama memang memiliki dua taman yang di hias dengan berbagai jenis bunga. Namun, taman ini adalah taman tempat si pemilik rumah bersantai sambil membaca buku di dalam rumah kaca.
Taman yang begitu tabu dan tidak boleh dimasuki oleh sembarangan orang kecuali Ped untuk membersihkan bagian dalam atau sekitar rumah kaca.
"Kau kejar orang itu dan minta pengawal untuk menangkap dia." Yara menunjuk ke arah seseorang yang baru keluar dari rumah kaca.
"Huh? Siapa?" Alice menatap arah yang di tunjuk Yara dan tidak melihat apapun. "Tidak ada apa-apa," komentarnya.
"Ikuti jalan itu dan kau akan menemui orang itu. Dia mengenakan pakaian hitam dan akan tersamar dengan gelap." Yara menjelaskan secara terburu-buru. "Gunakan matamu untuk lebih jeli lagi. Orang itu bisa saja menyamarkan tubuhnya dalam kegelapan."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan? Dan, mengapa kita harus menangkapnya?" cerca Alice tidak bisa menyembunyikan keheranannya.
"Aku curiga dia meletakkan sesuatu di dalam rumah kaca itu. Ayo, kita bergerak."
Yara berlari memasuki rumah kaca dan menemukan jejeran rak berisi buku-buku dan juga beberapa bunga terletak di pojokan dan dijadikan hiasan dinding. Bahkan, saat mendongak, maka mata seseorang akan di hadapkan dengan tumbuhan merambat yang menghiasi atap kaca.
Saat ini bukan saatnya Yara mengagumi interior bangunan karena yang harus ia lakukan ialah mencari bungkusan hitam yang di letakkan otang itu.
Yara yakin sekali jika orang itu pasti meletakkan bungkusan itu di suatu tempat dalam rumah kaca. Yara meyakinkan hal itu karena saat orang itu keluar dari rumah kaca sudah tidak membawa apa pun.
Yara mulai membongkar buku-buku yang tersusun di atas rak dan mulai mengobrak-abrik meja kerja yang terletak di pojok menghadap bunga matahari yang tertanam di luar rumah.
Yara belum menemukan apa-apa membuatnya sangat cemas apalagi perasaan tak enak semakin menjadi-jadi di dalam hatinya.
Yara menatap kolam kecil yang terletak di seberang tempatnya berada. Dengan penerangan lampu minim dari bangunan utama, Yara mulai melewati satu per satu rak buku yang di buat seperti labirin hingga ia berada di depan kolam yang membentuk panjang dari ujung ke ujung.
Bukan kolam itu yang menarik minat Yara melainkan jejeran tumbuhan yang terletak di seberang kolam.
Yara yakin jika semua tempat di dalam rumah kaca sudah ia periksa dan hanya tempat ini lah yang belum ia jamah.
Yara masuk ke dalam kolam yang tingginya sebatas leher dan mulai berjalan pelan dengan hati-hati hingga tiba di pinggir kolam.
Yara berusaha naik ke atas hingga beberapa kali percobaan barulah ia bisa duduk di pinggir dan mulai bergerak memeriksa tumbuhan yang berada di hadapannya. Hingga 4 menit kemudian barulah ia menemukan sebuah tas terletak di pojok di antara tanaman lavender.
"Bom?" Yara terkesiap ketika tas sudah terbuka.
Gadis cantik itu memperhatikan waktu yang tersisa dalam bom tersebut. Hanya tinggal 6 menit lebih 12 detik lagi. Yara mulai memeriksa perangkat dalam bom tersebut dengan hati-hati dan mulai berpikir cara menjinakkan bom.
Yara pernah membaca hal semacam ini di buku dalam ruang rahasianya, namun ia belum pernah mempraktikannya secara langsung, dan Yara takut akan mengambil resiko jika ia salah mengambil langkah.
Namun, jika bom tersebut tidak di matikan sesegera mungkin maka akan berakibat fatal. Paman Ped, Alice, orang-orang di dalam bangunan ini, serta dirinya tidak akan pernah selamat.
Bom yang berada di dalam tas ini adalah jenis bom dengan skala besar yang bisa menghancurkan hutan beserta isinya.
Akhirnya Yara memutuskan untuk mengambil resiko dengan cara menghentikan waktu bom tersebut sebelum kehabisan waktu. Setidaknya Yara sudah berusaha, batinnya mulai menyemangati.
Yara mulai mengotak-atik dan mulai mencabut beberapa kabel yang di rasa cukup untuk menghentikan waktu.
Keringat dingin sebesar biji jagung jatuh menghias wajah cantiknya padahal tadi ia baru berendam di kolam itu.
Waktu tersisa 10 detik. Yara dengan keberanian setipis tisu mencabut kabel terakhir dan mulai menutup matanya erat-erat. Setidaknya ia sudah berusaha untuk menghentikan bom. Jika pun ia gagal tidak akan ada penyesalan di dalam hatinya. Satu-satunya yang ia sesali adalah ketidakmampuannya menyelamatkan orang-orang tak bersalah.
"Apa yang kau lakukan?"
Sebuah suara mengejutkan Yara membuat gadis itu segera bangkit berdiri dan mulai memutar tubuhnya. Namun, ketidakseimbangannya membuat kakinya tergelincir dan jatuh ke dalam kolam.
"Argh!"