Yara melangkah keluar dari kamar ketika hari menjelang sore. Gadis cantik itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Yara menghentikan langkahnya ketika melihat kerumunan orang-orang yang terlihat melingkar.
Yara menjinjit berusaha untuk melihat apa yang dilihat, namun ia hanya bisa mendengar ratapan kesakitan suara perempuan tanpa melihat wajahnya.
"Ini akibatnya karena kau sudah berusaha untuk merebut perhatian Robin dariku!"
Suara wanita itu melengking terdengar di penjuru belakang rumah hingga membuat Yara mundur ketakutan.
Di sini ternyata ada penyiksaan kejam yang dilakukan seorang wanita terhadap wanita lainnya.
Yara memang tidak melihat secara langsung dan hanya bisa mendengar saja. Namun, hal itu sudah membuatnya ketakutan sampai mati.
Yara tersentak dan hampir menjerit ketika tangannya di tarik, sementara mulutnya di bekap dan di bawa ke suatu tempat yang cukup jauh dari posisi penganiayaan berlangsung.
Yara bergetar ketakutan melihat sosok gadis yang membekap dan menariknya ke tempat ini.
"K-kau--"
Perempuan di hadapannya tak bisa berkata-kata ketika melihat wujud Yara yang begitu cantik dan memukau.
"A-apa aku melakukan kesalahan?" Yara bertanya dengan takut ketika melihat ekspresi perempuan di depannya.
"Kau cantik sekali," ujar perempuan itu berdecap kagum.
Yara diam. Ia bingung mau mengatakan apa. Keringat dingin sudah membasahi dahinya, membuat gadis yang membekapnya tadi mengernyit heran.
"Mengapa kau terlihat ketakutan seperti itu? Bukankah kau sudah aman di sini?"
"Bukankah, kau akan menyiksaku juga?" Pertanyaan Yara membuat perempuan itu terkekeh geli.
"Aku justru menyelamatkanmu dari Lizy agar kau tidak di siksa olehnya," jelas "Kau pasti tidak tahu jika Lizy adalah perempuan gila yang penuh dengan rasa iri," lanjutnya lagi.
Yara bergeming karena memang ia tak tahu apa-apa.
"Ah, sepertinya kau tidak akan mengerti. Baiklah, pertama-tama agar kau aman dari jangkauan Lizy, kau harus mengubah penampilanmu agar tidak mencolok," ujar perempuan itu dengan niat membantu.
"Nah, sebelum itu perkenalkan diriku dulu. Namaku Alice dan kau?" Alice menatap gadis cantik di depannya dengan sebelah alis terangkat.
"A-aku Yara."
"Kalau begitu ayo kita ubah penampilanmu agar tidak menarik perhatian Lizy."
Alice menarik Yara menyusuri jalan setapak yang mengarah ke rumah besar tempat mereka tinggal.
"Kebetulan kamar kita bersebelahan," ungkap Alice senang.
"Tapi, aku tidak memiliki pakaian apa pun," jelas Yara ketika dirinya di bawa masuk ke dalam kamar.
Yara menatap gugup kamarnya. Sementara Alice yang mendengar hal tersebut segera bangkit berdiri dan berlari keluar kamar tanpa mengatakan apa-apa.
Tak berselang lama, gadis itu kembali dengan membawa setumpuk pakaian serta peralatan make up.
"Sekarang kita buat penampilanmu berubah."
Satu jam berlalu kini tubuh Yara yang biasanya terlihat sempurna kini tak lebih dari upik abu yang baru saja keluar dari got.
Wajah kusam, tubuh hitam, rambut di kepang tiga, tak lupa kacamata tebal membingkai mata yang sebelumnya indah.
"Nah, ini lebih cocok dan aman untukmu," ujar Alice tersenyum manis.
Alice menatap Yara dari atas hingga bawah dan mengangguk puas melihat penampilan baru Yara.
"Ini?"
Yara bergumam ragu dan terlihat gelisah dengan banyak benda berbentuk cair yang menempel di tubuh dan wajahnya.
"Ini untuk melindungimu dari Lizy." Alice menghela napas. "Dia tidak suka jika melihat ada perempuan yang lebih cantik darinya."
"Lalu?"
"Kau bisa bekerja mulai besok tanpa harus takut dengan dia karena dia tidak akan pernah melirikmu."
Tak berselang lama pintu kamar Yara di ketuk membuat keduanya saling pandang cemas.
"Buka," perintah Alice dengan suara pelan.
Yara bergerak membuka pintu kamarnya sementara Alice bersembunyi di belakang pintu.
"Paman Ped?" Yara menatap Ped tertegun sejenak. Sementara Ped menatap heran pada sosok gadis di dalam kamar Yara.
"Siapa kau?" tanya Ped heran.
"Paman, ini aku Yara," ujarnya memberitahu membuat Ped terbelalak.
"Kau yakin? Mengapa penampilanmu--" Ped tak melanjutkan ucapannya melainkan menatap Yara aneh.
"Karena Yara akan aman dengan penampilan seperti ini," ujar Alice keluar dari persembunyiannya.
Ped terkejut melihat sosok Alice.
"Kau Alice?" tanya Ped menatap sosok Alice aneh.
Alice dengan rambut pendek keriting dan tompel hitam di pipinya membuat Ped segera mengenalinya.
"Iya, Paman." Alice tersenyum manis. "Itu apa, Paman?" tanyanya melirik tangan Ped.
"Ini pakaian untuk Yara. Aku sengaja meminta Niken untuk membelikannya." Ped menyerahkan paper bag berisi pakaian pada Yara.
"Terima kasih, Paman." Yara menyambutnya dengan senyum manis.
"Sama-sama. Kalau begitu aku pergi dulu. Alice, aku minta kau untuk menjaga dan mengawasi Yara dengan baik dan aman," perintah Ped pada Alice. Pria paruh baya itu memberi tatapan penuh peringatan pada Alice yang langsung di setujui gadis itu.
"Ah, sudah hampir malam. Yara, kalau begitu aku kembali ke kamar lebih dulu. Nanti malam kita makan malam bersama yang lain."
Tanpa menunggu Yara membalas,Alice sudah terlebih dahulu pergi.
Yara menghela napas kemudian melangkah masuk dan menutup pintu kamarnya.
Hari sudah menjelang malam, Yara membuka paper bag yang diberikan Ped tadi dan menemukan lima pasang pakaian dan lima pasang pakaian dalam.
Gadis cantik itu bergumam terima kasih akan kebaikan Ped karena sudah membelikannya pakaian.
Tangan mungil Yara terulur menyentuh mahkota yang terletak di sisi tempat tidur dan membelainya dengan lembut.
"Mom, Dad. Situasi sedang tidak aman, dan mahkota ini akan aku simpan terlebih dahulu agar tidak rusak atau di curi orang." Yara bergumam sendu.
"Aku harap kalian mengerti dengan keputusanku."
Meski ia dulu berada di rumah lama namun Jena dan Sarah tidak akan pernah menyentuh atau merusak hiasan mahkotanya. Ada alasan lain mengapa kedua orang itu tidak berani menyentuhnya karena takut akan kemarahan Yara.
Yara memang sering mereka siksa baik secara mental atau fisik dan gadis itu terlihat pasrah serta penakut. Namun, Yara bisa menjadi gadis paling menyeramkan jika barang kesayangannya di sentuh atau di rusak.
Seperti satu bulan setelah kematian ayahnya, Jena dengan sengaja menjatuhkan mahkota milik Yara dan membuat gadis cantik itu gelap mata hampir membunuh Jena dengan tangannya sendiri.
Sejak saat itu mereka sadar jika emosi Yara akan tumbuh menyeramkan ketika ia di singgung dengan barang pemberian orang tuanya atau seseorang menghina orang tuanya.
Prinsip Yara jika ada orang menyiksanya dengan fisik dan hinaan, maka ia akan menanggung. Namun, jika itu tentang orang tuanya, maaf saja Yara tidak akan tinggal diam.
Itu adalah salah satu sisi lain Yara.
__***__
Aldrich mengambil sapu tangan yang di letakkan di atas meja kemudian membuangnya ke lantai segera setelah ia memeriksa sapu tangan tersebut.
"Siapa yang dengan berani meletakkan sapu tangan kotor ini di meja makan?"
Suara Aldrich terdengar di penjuru ruang makan dan membuat para pelayan gemetar.
Seorang pelayan perempuan melangkah maju dan berdiri gemetar di belakang Aldrich dengan kepala tertunduk.
"Aku, Tuan."
Tanpa menatap perempuan itu, Aldrich memanggil Ped yang tengah berada di ruangan lain. Tak berapa lama Ped berdiri di depan meja Aldrich dengan kepala tertunduk dan sikap hormat.
"Aku di sini, Tuan," ujarnya berusaha tetap tenang.
"Pindahkan dia di bagian belakang. Aku tidak butuh pelayan jorok sepertinya." Aldrich bangkit dari duduknya, melangkah pergi tanpa menyentuh makanan di atas meja.
"Ada apa Tuan Syega sampai marah seperti ini?" Ped bertanya pada pelayan yang bersangkutan.
"A-aku juga tidak tahu, Ped. Tuan Syega hanya melempar sapu tangan ini saja." Pelayan itu menyerahkan sapu tangan yang terlempar di lantai pada Ped.
Ped dengan cepat memeriksa sapu tangan tersebut dan menghela napas kecewa.
"Ada dua titik noda di sini." Ped menunjuk dua titik noda di sapu tangan putih bersih pada pelayan. "Aku terpaksa memindahkanmu ke bagian belakang."
"Baik, Tuan."
Sang pelayan mengangguk pasrah. Dari pada ia di pecat dari sini dan tidak bisa memiliki pekerjaan dengan gaji besar, maka lebih baik ia pasrah menerima hukumannya.
Aldrich berada di ruang kerjanya hingga sore hari. Pria tampan dan dingin itu tidak berada di kantor dan menyebabkan Melisa, ibunya marah karena tidak dapat bertemu dengannya.
Hal itu yang disampaikan Sendro padanya saat ini.
"Urus wanita itu dan jangan biarkan dia menyentuh atau mengusik wilayahku," perintah Aldrich tajam.
"Baik, Tuan." Sen menjeda ucapannya sebentar. "Tuan, Nyonya tadi menitip pesan untuk mengatakan sesuatu pada tuan."
Aldrich mendongak dengan sinar mata yang begitu tajam.
Sen menundukkan kepalanya. Pria bertubuh kekar itu berujar, "nyonya ingin Tuan Muda menemuinya untuk membahas soal perjodohan yang sudah di rencanakan."
"Maka biarkan dia berencana sesukanya." Aldrich tersenyum dingin. Diam bukan berarti ia tidak akan melakukan sesuatu. Mungkin diamnya Aldrich selama ini dianggap wanita itu jika ia sudah pasrah? Maka bersiaplah wanita itu akan bertemu dengan kesialannya.
"Baik, Tuan." Sen menunduk dan melangkah keluar dari pintu ruang kerja Aldrich dan bertemu dengan Ped.
"Tuan Muda di dalam?" Ped bertanya menatap Sen lembut.
"Tuan ada di dalam, Ayah." Sen melirik nampan di tangan ayahnya. "Itu untuk apa?" tanyanya heran.
"Tuan tidak makan. jadi, aku membantu untuk membawanya kemari." Ped menjawab santai. "Kau mau ke mana setelah ini?"
"Tidak ada."
"Kalau begitu aku masuk dulu. Beristirahat lah jika kau merasa lelah," perintah Pedro yang di angguki Sen.
Ped mengetuk pintu dan masuk setelah di persilakan Aldrich.
"Camilan untuk tuan. Ada kebutuhan lain, Tuan?" Ped menundukkan kepalanya.
"Tidak ada," sahut Aldrich datar.
"Baiklah kalau begitu aku permisi, Tuan."
"Ah, iya, Ped. Ku dengar kau memasukkan pekerja baru?"
Ini seperti pertanyaan tapi nyatanya ini adalah sebuah pernyataan yang dikeluarkan Aldrich untuk Ped.
Ped mengangguk dua kali dan tidak berbohong.
"Itu benar, Tuan. Dia seorang gadis dan tidak akan membuat ulah," jelas Ped tak ingin membuat Aldrich tak puas dengan kerjanya.
"baiklah. Pastikan dia tidak membuat sesuatu yang tidak aku sukai," ucap Aldrich dingin.
Ped mengangguk paham kemudian ia pamit undur diri meninggalkan Aldrich yang tengah fokus pada pekerjaannya.
Sementara di gedung bagian belakang, Yara dan Alice tengah sibuk membersihkan kebun yang terletak di di sisi kanan bagian rumah utama.
Kedua gadis itu mendapat tugas untuk membersihkan taman yang biasa dipakai pemilik rumah untuk bersantai.
"Kau sudah bertemu dengan Lizy?"
Alice bertanya ketika mereka tengah menyusun bunga sesuai urutan yang sudah diberitahu Ped.
"Sudah." Yara mengangguk dan dengan ringan menyusun bunga-bunga cantik di hadapannya.
Gadis itu suka bunga dan pekerjaannya sebagai pengurus kebun bunga tentu saja di anggapnya sebagai bentuk keberuntungan.
"Apa yang dia lakukan padamu?" tanya Alice menatap Yara penasaran.
Yara terdiam dan mencoba mengingat-ingat apa yang dilakukan Lizy bertemu dengannya tadi. Setelah beberapa derik akhirnya Yara buka suara.
"Tidak ada yang dikatakan. Dia hanya menatapku seperti--" Yara menjeda ucapannya dengan pikiran menerawang bingung ingin menjelaskan seperti apa.
"Jijik. Seperti kau adalah kotoran. Benar?" timpal Alice tersenyum lebar.
Mengangguk dua kali Yara mengiyakan tebakan Alice.
"Itu pertanda jika kau tidak akan ada di matanya." Alice tersenyum lebar dengan itu. "Sekarang kau bisa bekerja dengan tenang tanpa peduli jika kau akan di usik."
Lizy memang tidak mengusik Yara karena gadis jelek itu tidak ada di matanya. Namun, bagaimana dengan yang lain?
Sudah dua minggu Yara bekerja di kediaman Aldrich, namun hidupnya tetap dalam keadaan tidak aman.
Bagaimana tidak, jika ada tiga orang gadia selalu mencari gara-gara dengannya karena penampilannya yang mudah untuk di tindas.
"Dasar jelek!" Catly mendorong tubuh mungil Yara hingga jatuh terjerembab di lantai.
Gadis cantik itu hanya mampu meringis namun tidak berani melawan. Apalah daya ia hanyalah seorang gadis biasa yang tidak memiliki kualifikasi untuk melawan.
Diamnya Yara membuat Catly dan kedua temannya Sarah serta Lina merasa jika Yara adalah mangsa empuk untuk menjadi target bully mereka.
"Aku benar-benar muak melihat wajah menjijikkan ini," ujar Sarah mendecih jijik. Tangannya terlipat di d**a menatap angkuh Yara yang berusaha untuk bangkit dari posisinya.
"Aku jamin tidak akan ada pria yang mau dengannya." Lina ikut menimpali dan berbicara dengan sinis. "Aku sebagai wanita saja sungguh muak melihat wajah buruk rupa ini apalagi pria," lanjutnya sambil terkikik geli.
"Kau benar, Lin. Dia adalah jenis kotoran dunia yang tidak bagus untuk di pandang mata," sahut Sarah angkuh.
Kaki Catly mendorong d**a Yara ketika gadis malang itu berniat untuk bangkit hingga ia terjatuh kembali.
"Kau lihat tadi? Dengan sepatu ini saja kau tidak pantas untuk di sandingkan," cibir Catly melirik sepatunya.
Sepatu yang ia beli kemarin ketika menerima gaji. Hanya karena ia memiliki tas atau sepatu baru, Catly selalu merasa sombong padahal pekerjaannya tak lebih dari tukang sapu di bagian sayap kiri luar rumah utama.
"Ada apa ini? Sarah, Lina, dan kau Cat, kalian membuat ulah lagi?" bentak Alice memelototi tiga gadis tersebut.
"Kami rasa itu bukan urusanmu."Sarah melipat tangannya di d**a, menatap Alice angkuh.
"Ini akan menjadi urusanku jika kalian menyakitinya. Sekarang aku minta kalian pergi sebelum aku dengan paksa membunuh kalian bertiga!"