Bab 4

1921 Kata
                           Yara mengerjab matanya hingga  terbuka lebar. Gadis berparas cantik itu menatap sekeliling ruangan dengan kening mengernyit.  "Ini di mana?" Yara bertanya pada dirinya sendiri. Cat dinding warna pastel membuat Yara tidak bisa mengenali ruangan tempat ia berada sekarang.  Ingatan Yara terputar pada kejadian dimana ia di siksa oleh kedua kakak tirinya hingga ia bisa kabur. Namun, setelah itu Yara tidak ingat apa pun lagi hingga ia tersadar di sebuah ruangan tak dikenalinya.  Tubuh Yara menegang ketika pintu ruangan terayun pelan hingga terbuka dan menampilkan wajah seorang pria tak di kenalnya.  "Selamat pagi. Kau sudah terbangun rupanya," sapa Jhon ketika masuk. Jhon berniat untuk melihat kondisi gadis yang mereka tolong semalam sedikit terkejut ketika melihat ternyata gadis itu sudah sadar.  Bola mata Jhon melebar ketika melihat retina mata gadis itu yang tergolong unik namun indah di saat yang bersamaan. Jhon pernah dengar jika ada manusia yang memiliki warna mata indah namun tidak dengan kata unik.  Satu retina berwarna hijau tosca, sementara satunya lagi berwarna biru laut. Jhon menatap lekat manik mata gadis itu hingga ia tersadar ketika mata gadis itu tertutup rapat-rapat dan terlihat kernyitan serta keringat yang memgucur di dahinya.  "T-tolong jangan sakiti aku," pinta gadis itu dengan suara bergetar.  Jhon melebarkan bola matanya mendengar ucapan gadis tersebut. Wajah tampan dan rupawan meski ia sudah berumur 40 tahun dan memiliki tiga orang cucu ditakuti oleh gadis cantik ini? Batin Jhon merengek kesal.  Duda beranak satu itu memang terkadang bersikap seperti gadis kecil yang merajuk tanpa menyadari usia tuanya.  "Manis, kau jangan takut padaku Coba kau lihat baik-baik wajah tampanku. Apa kau melihat aku seperti orang jahat?" rayu Jhon berharap gadis ini membuka matanya.  Namun, gadis yang tidak diketahui namanya itu justru semakin mengeratkan matanya enggan untuk di buka. "Hei, tenanglah. Aku bukan orang jahat. Aku seorang dokter tampan di rumah sakit ini."  Mendengar kata dokter dan rumah sakit, barulah Yara mulai membuka kelopak matanya sedikit demi sedikit dan bertatapan langsung dengan mata pria yang terlihat frustrasi.  "Dokter? Rumah sakit?" ulang Yara dengan ekspresi polos.  "Iya, rumah sakit. Kau ingat dimana rumahmu berada?  Aku akan menghubungi keluargamu untuk mengabari kondisimu saat ini," ujar Jhon yang langsung di tanggapi gelengan panik Yara. Hal tersebut semakin memperkuat asumsi Jhon jika gadis di hadapannya ini adalah korban kekerasan entah itu keluarga atau ada prostitusi penjualan manusia untuk di jadikan wanita penghibur.  "Kau di selamatkan oleh temanku," ujar  Jhon memberitahu. Yara tertegun mendengar jika ia di selamatkan oleh teman dokter ini. Lalu di manakah ia saat ini? Sudah jauhkah dari kedua kakak tirinya?  Batin Yara mulai ketakutan.  Melihat ekspresi ketakutan gadis yang terbaring di ranjang rumah sakit, Jhon mulai menjelaskan jika dia berada di posisi aman dan tidak akan mudah terjangkau oleh orang biasa. Jhon juga mulai menjelaskan jika rumah sakit ini hanya di khususkan untuk orang-orang yang terlibat dengan pemilik rumah sakit.  "Nah, sekarang kau tunggu di sini dulu. Sebentar lagi Stevy, asistenku akan datang dan mengantar sarapan pagimu," ucap Jhon sebelum keluar dari ruangan.  Sementara Yara berada di rumah sakit, kedua kakak beradik yakni Sarah dan Jena tengah di landa kepanikan akan menghilangnya Yara. Pasalnya saat ini seorang pengacara ayah Yara sedang berada di rumah untuk mencari pewaris dari tanah-tanah yang di wariskan atas namanya.  "Begini  Tuan Eno, saat ini Yara sedang tidak ada di rumah untuk beberapa hari ke depan," ujar Jena mencari alasan. Wanita itu tersenyum anggun menatap Eno yang terlihat tampan di usia 30 tahun. Eno merupakan anak dari pasangan Cataly Jhansen dan Edward Jhansen yang merupakan mantan pengacara ayah Yara dahulu. Ed sapaan Edward meminta putranya untuk menjadi pengacara dari Yarasya Megando.  "Liburan?" Kening Eno mengernyit dengan tatapan tajam yang ia tujukan pada kedua kakak beradik itu. "Bukannya kabur karena tidak tahan kalian siksa?" imbuhnya membuat tubuh Jena dan Sarah menegang.  "Ah, Anda dapat informasi itu dari mana, Tuan? Kami bisa menjamin jika adik bungsu kami tengah liburan." Jena masih berkelit akan tuduhan Eno padanya. "Tuan bisa datang berkunjung ke sini beberapa hari lagi dan akan menemukan Yara sudah di rumah," ujarnya mencoba meyakinkan Eno.  Usai kepergian Eno, Sarah menghampiri Jena yang  terlihat frustrasi di ruang tamu.  "Bagaimana ini?  Bagaimana jika Tuan Eno datang lagi dan kita belum menemukan perempuan sial itu?" cerca Sarah cemas.  Rasa panik kini menjalar di hatinya jika Yara belum bisa ditemukan maka Eno pasti akan curiga dengan mereka.  Jena mengusap wajahnya kasar. Wanita itu  mendongak hanya untuk melihat Sarah yang mondar-mandir di tempat dengan raut tak kalah frustrasi darinya.  "Aku juga tidak tahu. Kita bahkan tidak tahu kemana gadis sialan itu pergi," ujar  Jena kesal. Bangkit dari duduknya, Jena menghempaskan gelas bekas minum Eno ke lantai hingga menimbulkan suara keras yang mengejutkan Sarah.  "Jaga emosimu, Jen, untuk tetap stabil. Kita harus memikirkan dengan kepala dingin untuk menemukan gadis itu lagi," ujar Sarah buru-buru untuk menenangkan kakaknya. Sarah menuntun Jena  duduk di sofa dan mengusap pundak wanita itu lembut.  "Gadis itu kabur dari kita, Sar. Kita harus segera menemukannya atau Tuan Eno akan curiga pada kita yang tidak merawat Yara dengan baik," ungkap Jena mulai cemas. Pagi ini mereka sudah mencari keberadaan Yara yang berakhir sia-sia.  Sarah terdiam tidak tahu harus berbuat apa hingga beberapa menit kemudian Sarah menatap kakaknya dengan binar cerah di matanya.  "Kau memiliki ide?"  Sarah tentu saja mengangguk antusias tak lupa dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya.  "Apa itu?" Jena menatap adiknya curiga, karena tidak biasanya Sarah akan memiliki ide di saat mereka tengah buntu seperti ini.  "Kita sewa orang-orang untuk menemukan Yara sesegera mengkin," ujar Sarah mengangguk dengan idenya sendiri. "Aku yakin dengan bantuan orang-orang yang sudah memang ahlinya akan sangat mudah untuk menemukan Yara," ujarnya dengan keyakinan penuh. Ini adalah cara satu-satunya untuk menemukan Yara. Jika tidak, maka seluruh harta warisan milik Yara akan di sumbangkan ke badan amal dan mereka terancam untuk tidak mendapatkan apa-apa serta akan terusir dari rumah mewah yang mereka tempati saat ini.  "Bagaimana jika Tuan Eno tahu kita sedang mencari Yara menggunakan agen detektif?" tanya Jena tak yakin. Hubungannya dengan Ernest masih belum membaik dan ini mereka kembali mendapatkan masalah dengan kedatangan Eno.  "Maka jangan biarkan Tuan Eno tahu," balas Sarah menyeringai sinis. Satu masalah sudah di hempaskan dari pikirannya dan kini tinggal ia memikirnya cara untuk merogoh kocek sedalam mungkin guna membayar detektif yang akan mereka sewa nanti.                       Yara menatap sekeliling dengan takut. Gadis cantik berkulit seputih salju itu di landa rasa cemas ketika dirinya di bawa ke sebuah rumah yang mirip istana dan terletak di dalam hutan.  Yara tahu jika rumah ini di kelilingi hutan karena selama perjalanan dari rumah sakit hingga ke depan rumah, yang Yara lihat hanya hutan lebat dengan pohon tinggi menjulang di sekitarnya.  "Yara, ayo, ikut aku," perintah Ped menoleh sejenak pada Yara yang terdiam di tempat.  Ped tiba tadi pagi di rumah sakit. Pria paruh baya itu memperkenalkan dirinya pada Yara yang terlihat ketakutan padanya tadi. Gadis cantik itu menceritakan pada Ped jika ia  tengah kabur dari kedua kakaknya karena sesuatu hal.  Ped akhirnya menawarkan tempat tinggal dan pekerjaan padanya, membuat Yara ragu untuk menerima atau menolaknya. Pasalnya ia memiliki ketakutan sendiri dengan orang asing.  Ya, Ped adalah orang baik yang sudah membantunya dan sekarang pria paruh baya itu juga menawarkan sebuah pekerjaan padanya.  Tak menunggu lama, Yara akhirnya mengangguk setuju untuk ikut dengan Ped.  "Mari. Paman akan tunjukkan padamu dimana letak kamarmu dan dimana kau akan bekerja."  Kedua orang itu melangkah pergi melewati halaman samping menuju belakang rumah. Sampainya di belakang, Yara tertegun melihat sebuah bangunan lagi terletak percis di belakang rumah bak istana tersebut.  "Ini?"  "Ini adalah rumah untuk para pekerja yang bekerja di rumah ini, Yara." Pedro menjelaskan secara singkat. "Kau akan tinggal di salah satu kamar dan akan bekerja di bagian dapur pekerja. Membantu mereka masak untuk para pekerja. Kau paham?"  Yara mengangguk paham. Kemudian Ped membawanya ke lantai tiga teratas dan memberikan sebuah kunci kamar pada Yara.  "Kau masuk lebih dulu. Aku akan mencari beberapa pakaian untukmu," ujar Ped pada Yara.  "Kau akan pergi?"  Yara terlihat ketakutan ketika mendengar Ped akan pergi. Tanpa sadar keringat dingin sudah mengucur di keningnya.  "Tenang, Yara. Kau tidak akan apa-apa tinggal di sini. Semua pekerja di sini memiliki aturan untuk tidak saling berkelahi atau membuat keributan."  "Apa itu benar?" tanya Yara terlihat ragu.  "Benar, aku tidak berbohong. Cepatlah masuk dan istirahatkan tubuhmu. Mulai besok kau sudah mulai bisa bekerja," kata Ped sebelum melangkah pergi.  Yara memasuki kamarnya dan menatap kamar dengan ukuran luas yang akan ia tempati.  Tidak banyak  furniture yang  berada di dalam kamar. Hanya ada satu set tempat tidur  berukuran mini dan lemari baju. Kamar mandi pun terletak di pojok ruangan serta balkon yang mengarah ke arah rumah besar.  Yara tersenyum lebar memperhatikan sekeliling kamarnya.  Yara akan memulai kehidupan baru di sini tanpa siksaan dari kedua kakak tirinya. Setidaknya untuk beberapa waktu ke depan.  Sementara jauh dari tempat Yara saat ini berada.  Aldrich  dengan aura dingin mengesankan menatap tajam pada sosok pria paruh baya yang berdiri di seberang mejanya.  Pria tua tak tahu malu! Batin Aldrich mencibir.  Sementara di sisi lain pria paruh baya yang merupakan CEO dari sebuah perusahaan pertambangan, duduk dengan manis seorang gadis dengan wajah lembut yang mampu menggetarkan hati para pria.  Dia Jassie,  putri kandung James --pria paruh baya-- tengah menatap Aldrich datar. Rupanya gadis itu mencoba untuk menunjukkan pada Aldrich jika ia adalah wanita berpendidikan yang tak akan tergiur oleh ketampan dan kekayaan yang dimiliki Aldrich.  Namun, siapa Aldrich yang bahkan tidak peduli dengan kehadiran Jassie di sini.  Tatapan pria itu semakin menajam menatap James yang masih berusaha untuk bersikap tenang meski keringat dingin sudah merembes membasahi punggungnya.  "Jadi, bagaimana dengan penawaran kerja sama kita, Mr. Syega?" tanya James.  Bibirnya gemetar ketika Aldrich tidak mengalihkan tatapan tajam sedikit pun darinya.  Aldrich menyungging senyum dingin untuk mengintimidasi pasangan ayah dan anak yang terlihat tak begitu tahu malu. "Kerja sama antara perusahaan atau kerja sama antar tubuh yang kau maksud?" tanya Aldrich terdengar malas. Pasangan ayah dan anak itu saling tatap sebelum akhirnya James mem-fokuskan tatapannya pada Aldrich.  "Maksudmu, Tuan Syega?" James menatap Aldrich dan pura-pura tak mengerti dengan maksudnya.  Namun, bukannya menjawab, Aldrich justru bangkit dari duduknya dan berniat untuk pergi. "Tuan, ke mana kau akan pergi?" James berdiri panik ketika melihat Aldrich melangkah keluar.  "Kantor," jawab Aldrich dingin.  "Lalu, bagaimana dengan proposal pengajuan kerja sama perusahaanku?"  James kali ini tidak bisa menutupi rasa panik. Tak menjawab pertanyaan James, Aldrich melangkah keluar dari ruangan yang sudah di reservasi James untuk menjamu kedatangan Aldrich.  "Apa maksudnya ini?"  James bergetar marah melihat Aldrich yang mengacuhkannya begitu saja. Tangannya mengepal erat menatap pintu yang sudah tertutup dengan tajam seolah hanya dengan tatapannya saja ia bisa membunuh Aldrich.  "Tuan Syega menolak proposal kerjasamamu karena di anggap kurang kompeten dan tidak sesuai dengan kriterianya," ujar Sen memberitahu. Pria yang merupakan anak buah Aldrich itu kemudian melangkah keluar mengikuti jejak atasannya yang sudah menghilang.  "Ayah, bersikap tenanglah. Aku akan pastikan jika Tuan Syega akan segera menyetujui kerjasama kita bahkan lebih dari itu aku yakin bisa membuatnya tergila-gila padaku," ujar Jassie dengan percaya diri.  Jassie memang memiliki bentuk tubuh dan wajah cantik impian semua wanita. Di tambah dengan sikap lemah lembut dan tutur kata yang halus mampu membuat semua pria akan tergila-gila padanya.  Namun, itu hanya terlihat di permukaannya saja karena tidak ada yang tahu jika Jassie memiliki hati sehitam arang. "Kau yakin bisa mendapatkan pria sombong itu?"  James menatap putrinya dengan binar penuh. James sangat berharap jika putri tercintanya bisa mendapatkan Aldrich bukan hanya untuk kerjasama perusahaan tapi juga seluruh harta millionare muda itu.  "Tentu, Ayah. Pria mana yang tidak akan tunduk di bawah kaki seorang Jassie?" Jassie menyeringai dengan ribuan rencana untuk menjerat Aldrich agar masuk ke dalam perangkapnya.  Sementara kedua ayah dan anak tengah sibuk dengan rencana mereka, seseorang yang bersembunyi di dekat mereka tersenyum sinis mendengar rencana kedua orang itu.  Orang itu yakin jika mereka tidak akan pernah masuk ke dalam mata Tuan Mudanya.  Pengawal pribadi Aldrich diam-diam keluar dari ruangan tersebut tanpa di sadari James dan Jassie.  Jika kedua orang itu tahu keberadaannya mungkin mereka akan segera menenggelamkan diri di laut lepas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN