Bab 3

2212 Kata
                           Yara terbangun saat hari masih gelap. Cepat-cepat gadis itu membersihkan diri lalu mulai membuatkan sarapan untuk kedua kakak tirinya.  Usai membuat sarapan, Yara mulai  membersihkan seluruh rumah agar ia tidak terkena amukan mereka.  "Yara!"  Suara teriakan nyaring Jena terdengar membahana dari arah ruang tengah membuat Yara yang tengah mencuci segera bergegas menghampiri asal suara.  "A-ada apa, Jena?" Yara menghampiri Jena takut-takut. Pasalnya Yara tidak merasa membuat kesalahan apa pun pagi ini.  Dua buah sepatu melayang mengenai jidat putih  Yara, membuat gadis itu meringis perih sambil menyentuh keningnya yang mungkin saja sudah memerah saat ini. "Semir sepatuku dengan baik," perintah Jena angkuh. Wanita itu melenggang pergi begitu saja menuju ruang makan usai memberi tanda salam pada Yara.  Yara menunduk  memungut sepatu setinggi 12 cm warna merah yang akan segera ia semir sebelum kakaknya itu mengamuk.      "Yara!"  Kembali suara teriakan itu menggema di penjuru rumah yang kali ini di hasilkan oleh orang yang berbeda, yakni Sarah.  Cepat-cepat gadis berkulit seputih salju itu melangkah ke asal suara dan menemukan Sarah tengah berkacak pinggang di samping meja makan sementara Jena menyantap sarapannya dengan santai.  "Iya,  Sar?"  "Hei bodoh! Segera kau bersihkan rumah ini lalu bersembunyi dan jangan pernah muncul sebelum aku panggil." Sarah berujar dengan lantang seraya menatap tajam Yara.  "Maksudmu?"  Yara mendongak menatap tak mengerti akan maksud ucapan Sarah. Untuk apa dirinya bersembunyi di siang hari seperti ini?  Bukankah siang hari adalah waktunya untuk  membersihkan rumah? Batin Yara bertanya-tanya dengan bingung.  "Bodoh!" Sarah yang geram dengan kebodohan Yara segera menoyor gadis malang itu. Kemudian dengan sengit ia berujar, "nanti malam adalah perayaan ulang tahunku dan artinya akan banyak orang yang mendekor rumah ini."  "Dan tentu saja kami tidak ingin ada orang lain yang mengetahui keberadaan gadis buruk rupa sepertimu," sambung Jena mengejek Yara dengan tatapan jijik. Mendengar ucapan Jena yang jauh dari fakta tak elak membuat cicak tertawa dengan bibir menempel di dinding bercat cokelat itu. Bagaimana tidak? Selama ini Sarah dan Jena tidak pernah mengizinkan Yara keluar rumah atau bertemu dengan orang lain karena mereka tidak menginginginkan orang melihat kecantikan dewi yang sesungguhnya dan berwujud dalam bentuk manusia  Yara.  "Sekarang tunggu apa lagi? Cepat pergi sana!" usir Sarah yang sudah muak dengan wajah Yara.  Usal kepergian Yara, Sarah duduk di hadapan Jena dan mulai mengoles roti dengan selai stroberi. "Kau akan mengundang kekasihmu?" tanya Sarah membuka obrolan. Mendengar pertanyaan Sarah, Jena mengangguk kemudian berujar, "aku akan ajak dia kemari dan kita harus membuat desain dekorasi yang mewah agar dia terkesan."  Sarah menyeringai dan mengangguk setuju dengan usulan Jena, kakaknya.  Kedua kakak beradik itu pun sibuk untuk satu hari penuh karena pembahasan tentang dekorasi pesta, makanan, minuman, serta pakaian yang akan mereka kenakan hingga hari menjelang malam dan pesta pun dimulai.  Sementara jam sudah menunjukkan pukul 11 malam lebih, Yara yang sudah tidak tahan ingin buang air kecil yang sedari tadi ia tahan akhirnya memutuskan untuk keluar kamar menuju kamar mandi.  Yara hanya berharap tidak akan ada yang melihatnya. Yara tahu ia mengambil resiko dengan tetap memutuskan keluar dari tempat persembunyian meski pesta masih berlangsung dan itu terbukti dengan suara musik berdentum keras yang membuat telinganya kesakitan.  Yara masuk ke dalam kamar mandi diiringi bayangan seseorang yang keluar dari tempat persembunyian dengan seringaian yang tercetak di wajahnya. "Ini saatnya aku untuk mempermalukan dirimu, Jena," bisik orang itu sinis.  10 menit kemudian.  Ruang tengah terlihat ramai dengan pemuda-pemudi yang melenggak-lenggokan tubuh mereka di lantai dengan hentakan musik yang dimainkan oleh DJ terkenal. "Guys tolong berhenti sebentar!"  Seorang wanita berdiri di atas sofa berusaha mengalihkan perhatian orang-orang yang berada di dalam ruangan hingga usaha wanita bergaun seksi itu rupanya berhasil menarik perhatian para pengunjung.  "Stell, ada apa?" tanya seorang pemuda berambut kuning. Sementara matanya sudah memerah karena pengaruh alkohol yang ia konsumsi.  "Aku ingin memberikan kalian sebuah rahasia." Wanita bernama lengkap Stella Jazuard itu menatap Jena dan Sarah penuh arti dengan seringaian tajam yang menghiasi wajahnya.  "Apa itu?" Seorang wanita lainnya bersedekap sambil menatap Stella. "Jen, menurutmu apa yang akan di bicarakan jalang itu pada semua orang?" Sarah berbisik lirih pada kakaknya yang tengah bersedekap angkuh menatap rendah pada Stella. "Entahlah.  Aku juga tidak tahu." Jena mengangkat bahunya tak tahu. Jena harap jika apa yang ingin disampaikan Stella bukanlah hal yang merugikannya.  Stella merupakan musuh Jena di kantor dan juga salah satu sepupu Ernest yang teramat sangat tidak menyukainya. Maklum saja Stella  mencintai Ernest.  "Bawa dia kemari," perintah Stella tegas. Tak berselang lama dua orang gadis berjalan masuk dari pintu belakang sembari menyeret paksa seorang gadis lagi dengan rambut hitam panjang dan menjuntai hingga pinggang.  Meski gadis itu berpakaian seperti gembel namun tidak bisa menutupi kecantikannya. Bahkan jika di bandingkan dengan gadis-gadis di dalam rumah ini, tidak akan ada apa-apanya dengan gadis yang tengah memohon untuk tidak di seret.  Jena dan Sarah segera bangkit dari duduk mereka dengan rahang mengeras ketika melihat sosok Yara di tengah-tengah ruangan.  "Wow! Siapa itu, Stel? Cantik sekali," puji seorang pria menatap Yara takjub.  "Aku tidak pernah melihat gadis secantik itu." Kembali terdengar beberapa pujian dari para pemuda yang  melihat Yara segera menggema di penjuru ruangan membuat Jena dan Sarah menggeram marah.  Inilah alasan mereka tidak pernah menunjukkan Yara pada dunia luar. Kecantikan Yara akan menjadi momok bagi kedua kakak beradik itu. "Apa-apaan ini, Stella?" Jena membentak marah menatap Stella tajam. Emosi gadis itu menggebu meski ia berusaha untuk bersikap tenang, namun rupanya ia tidak bisa menahannya. Jena bergerak menuju Stella hingga berdiri di hadapan wanita iblis itu.  Stella menyeringai menatap Jena jijik. Kemudian ia mendengkus sembari berujar, "aku tidak tahu jika kau seorang perempuan berhati keji yang tega menyiksa adik tirinya sendiri."  Suara terkesiap terdengar di penjuru ruangan, membuat suasana yang semula hening kini terdengar bisik-bisik para tamu undangan yang kebanyakan adalah teman Sarah dan juga beberapa teman kantor Jena.  Jena sengaja mengundang Stella hanya untuk membuat namanya terlihat baik di hadapan keluarga Ernest, bukan untuk mempermalukannya atau untuk membongkar rahasianya.  "Adik tiri?" ulang Ernest yang sudah pulih dari keterkejutannya.   Bola matanya membeliak kaget saat tahu kenyataan yang baru saja ia ketahui saat ini. "Itu tidak mungkin. Jena cerita padaku jika dia hanya berdua dengan adiknya. Yakni, Sarah."  "Er, kau sudah di tipu olehnya. Bahkan, rumah dan perkebunan sawit yang luas hingga ribuan hektare itu bukan miliknya tapi milik gadis malang ini!" seru Stella memberitahu. "Aku punya bukti-bukti yang menunjukkan kebenarannya. Mereka bahkan memperlakukan gadis ini seperti seorang pembantu bukan seorang pemilik rumah," imbuhnya memberitahu.  Stella sudah mendapatkan banyak informasi yang sudah ia kumpulkan melalui anak buahnya semenjak ia mengetahui jika Ernest menjalin hubungan dengan musuhnya ini.  "Benarkah itu, Jen?" Ernest mengalihkan perhatiannya pada Jena dan menatap penuh kecewa. "Aku tidak menyangka kau akan memiliki sifat kejam seperti ini," ungkap Ernest sembari menggeleng tak percaya. Ernest kemudian melenggang pergi begitu saja tanpa menghiraukan Jena yang terus menghalaunya untuk tidak pergi.  Namun, Ernest yang tengah diliputi rasa marah dan kecewa justru bergeming dan tidak mau mendengarkan penjelasan Jena sama sekali.  "Er, dengarkan penjelasanku lebih dulu!"  Jena mengusap kasar wajahnya ketika mobil Ernest melaju pergi meninggalkan pekarangan rumahnya.  ini semua gara-gara wanita itu,geram batin Jena. Dia akan berniat untuk menyiksa Yara yang sudah membuatnya kehilangan  Ernest. Namun, sebelum itu ia harus terlebih dahulu memberi perhitungan pada Stella.  Jena sedikit mundur ketika melihat orang yang tengah ia cari sudah berdiri di belakangnya. "Bagaimana? Apa perkiraanku benar kali ini jika kau  sudah kehilangan Ernest?" Stella memyeringai dan menatap Jena penuh ejekan. Akhirnya setelah menunggu beberapa minggu ia berhasil menunjukkan belang Jena pada Ernest dan orang-orang.  "Kau!"  Jena melayangkan sebuah tamparan di pipi Stella yang membuat gadis itu meringis kesakitan. "Aku tidak pernah tahu jika kau adalah rubah licik yang mengandalkan banyak cara untuk mendapatkan Ernest-ku," ujar Jena menatap Stella tajam. "Kau kira, kau menang kali ini? Itu tidak mungkin! Karena aku, Jena, akan segera merebut Ernest kembali," ungkap Jena penuh ambisi. Wanita cantik itu melenggang pergi masuk ke dalam rumah dan membubarkan acara pestanya yang sudah tidak menarik lagi baginya. Sedangkan Yara?  Mungkin saat ini ia sedang mengalami ketakutan karena ajalnya sudah mendekat.  Malam ini juga, Jena berencana untuk membunuh Yara dan menghilangkan gadis itu dari hidupnya serta Sarah.  Dengan cara itu juga Jena dan adiknya akan mendapatkan seluruh kekayaan milik Yara yang akan jatuh ke tangan mereka. PT sawit, kebun sawit, dan juga rumah ini.                           __***__ Yara berlari di tengah malam gelap gulita dengan tubuh remuk dan berlumuran darah.  Tubuh ringkih gadis itu menyusuri jalanan sepi yang tidak akan dilalui oleh pejalan kaki, kecuali kendaraan bermotor atau mobil. Namun, sejauh Yara melangkah ia masih tidak melihat satu pun kendaraan yang melintas. Dengan penerangan dari sinar bintang dan bulan, Yara terus berjalan menyusuri jalanan aspal meski sesekali ia harus berhenti dan mengatur napasnya.  Yara harus kuat jika tidak ingin tertangkap kedua pasang kakak beradik itu. Dirinya memang sempat di siksa dengan cara dipukul, di tendang, di cambuk dengan kayu rotan, bahkan kepalanya beberapa kali dibentur Jena dan Sarah ke tembok. Yara memiliki kesempatan untuk kabur karena beruntung gerbang rumah terbuka lebar ketika orang-orang yang tidak diketahui Yara di sebut sebagai apa tengah merapikan sisa-sisa dari acara pesta.  Yara terjatuh karena sudah tidak sanggup lagi untuk menopang tubuhnya yang penuh dengan luka. Kepala gadis malang itu kini pusing tidak tertahan hingga ia jatuh tak sadarkan diri. Satu jam kemudian sebuah mobil melintas jalanan sepi hingga berhenti tepat di sebelah tubuh malang Yara yang tergeletak. Dua orang pria dan wanita turun dari mobil dan menghampiri seonggok tubuh tak berdaya tersebut.  "Pedro, apa yang kau lakukan?" Silly bertanya heran ketika melihat Pedro, pria paruh baya selaku kepala pelayan itu membalikkan tubuh seseorang yang tidak mereka kenal.  "Dia terluka," gumam Pedro usai melihat luka-luka di sekujur tubuh Yara. Pria itu bahkan sempat memeriksa denyut nadi Yara yang masih ada meski terasa lemah.  "Lalu?" Silly menatap Pedro aneh. "Apa urusannya dengan kita?" tanyanya acuh.  "Kemanusiaan," jawab Pedro singkat.  Kemudian tanpa sungkan, Pedro membopong tubuh ringkih itu lalu memasukkannya ke dalam mobil dan membuat Silly protes.  "Pedro, apa yang kau lakukan?  Ini bukan urusan kita. Kita harus segera pergi dari sini sebelum mendapatkan masalah."  "Diam, Sill. Aku tidak perduli jika harus mendapatkan masalah yang terpenting adalah menyelamatkan gadis ini," bantah Pedro tegas.  Silly menghentak kakinya kesal melihat Pedro tidak mendengar ucapannya. Gadis cantik dengan rambut pirang dan mengenakan seragam pelayan itu hanya bisa mengikuti Pedro dengan kesal.  Rumah sakit Pertallos adalah sebuah rumah sakit kecil yang di dirikan dekat dengan pinggir jalan dan terkesan sedikit menjorok ke dalam hutan.  Orang lain mungkin tidak tahu dengan rumah sakit tersebut, namun orang-orang yang bekerja dengan Tuan Muda Syegavano akan tahu apa kegunaan rumah sakit itu berada di tempat sepi seperti ini.  "Jhon, rawat gadis ini. Dia sepertinya korban penganiayaan," perintah Pedro pada dokter Jhon. Jhon yang merupakan dokter senior segera bergegas membawa brankar menghampiri Pedro yang langsung meletakkan tubuh berlumuran darah itu. "Siapa gadis ini, Ped?" Sembari mendorong ranjang beroda ke ruang yang tersedia, Jhon bertanya tentang gadis itu pada Pedro. Pedro tentu saja menjawab apa adanya dan jujur jika ia tak mengenal sosok gadis itu.  "Tapi aku punya firasat bagus tentang gadis ini meski aku tidak tahu apa," katanya lagi dengan nada berbisik.  "Aku percaya dengan firasatmu, Ped." Jhon mengangguk singkat kemudian segera menutup pintu ruangan ketika mereka sudah masuk. Dengan di bantu asisten John bernama Stevy, Jhon bergerak mulai mengobati luka di sekujur tubuh Yara sedangkan asistennya membersihkan darah yang menutupi wajah Yara.  Lima menit kemudian.  "Astaga!" pekik Stevy mengalihkan fokus John dan Pedro yang tengah memeriksa tulang kaki Yara.  "Stev, ada apa?  Jangan membuat keributan yang akan merusak konsentrasi," ujar Jhon memperingati Stevy. Pria paruh baya itu kembali menunduk dan tidak memperhatikan ekspresi Stevy begitu pula dengan Pedro.  "D-dok, saat ini aku percaya jika keindahan dan surgawi itu nyata ada di dunia," gumam Stevy penuh kekaguman. "Jika kau ingin membuat puisi melankolis lebih baik kau pulang dan ulang kuliah jurusan sastra, Stev," cibir Pedro sembari menatap Stevy tajam.  "Dokter, Paman Ped, jika kalian tidak percaya maka lihat saja sendiri," tunjuk Stevy pada wajah Yara.  Penasaran dengan maksud ucapan Stevy, Jhon dan Pedro berpindah tempat dan berdiri di sisi Yara.  "Astaga! Apa benar ini gadis yang aku bawa tadi?"  gumam Pedro tidak percaya. Pedro menggeleng melihat wajah cantik gadis itu.  Pedro sudah terbiasa melihat gadis cantik, namun ini kali pertamanya melihat kecantikan yang benar-benar cantik. Pria itu menatap takjub akan keindahan di hadapannya ini.  "Sebenarnya siapa dia, Ped?  Dan mengapa dia bisa tergeletak di jalanan menuju kediaman Tuan Muda?" Jhon tidak bisa menutupi rasa penasarannya ketika melihat wujud asli gadis malang ini. "Apa mungkin dia adalah putri dari sebuah kerajaan besar yang kabur dan di siksa oleh anak raja yang lain karena kecantikannya?" imbuhnya menyampaikan praduga.  "Terus lah mengkhayal, Jhon. Lupakan jika kau harus mengobati gadis ini," dengkus Pedro membuat Jhon mencibir dalam hati. Usai memastikan gadis yang ia tolong sudah mendapat penanganan dengan baik, Pedro segera melajukan mobilnya dengan menuju istana. Sementara Silly tengah tertidur di kursi penumpang. Mungkin dia lelah, pikir Pedro dalam hati.  "Selamat malam, Tuan," sapa Pedro ketika melihat sosok atasannya yang baru saja turun dari tangga. Sosok Tuan Muda yang tak lain adalah Aldrich Syegaveno tak membalas sapaan Pedro. "Tuan Muda ingin sesuatu?" Pedro kembali bertanya karena tak biasanya ia melihat Tuan mudanya turun ke lantai dasar di saat jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari.  "Siapkan aku cemilan," perintah Aldrich yang langsung di jalankan Pedro.  Aldrich dengan langkah tenang melewati para pengawal yang berjaga di sekitar istana hingga akhirnya tiba di depan sebuah ruangan yang memiliki fasilitas lengkap untuk ber-olahraga.  Pria itu berjalan ke arah treadmil yang terletak di pojok dan mengarah ke arah kaca lebar di depannya.  Aldrich mulai berlari di atas treadmill dengan kecepatan sedang hingga Pedro masuk membawa cemilan serta satu gelas air putih.  Semuanya tampak sempurna tanpa noda sekecil apapun karena Pedro sangat tahu dengan mysophobia majikannya.  "Tuan, tadi Nyonya menghubungiku dan--"  "Jangan katakan apa-apa lagi, Ped," sela Aldric dingin.  Pedro mengangguk paham, kemudian pamit undur diri meninggalkan Aldrich dengan wajah mengeras.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN