Tiga hari setelah malam di kafe itu, kota seakan lupa pernah diguyur badai. Langit bersih. Daun-daun basah memantulkan sinar pagi. Dunia tampak damai—terlalu damai. Namun bagi Axel, setiap detik pagi itu terasa seperti siksaan. Ia duduk di ruang kerjanya, layar-layar monitor di depannya masih menyala, menampilkan data, laporan, koordinat. Tapi yang ia lihat hanyalah kosong. Suara mesin pendingin ruangan berdengung monoton, seperti nadi yang tak lagi punya tujuan. Di meja, ada foto keluarga—Kate, dirinya, dan Max di pantai, senyum mereka terpatri dalam kebahagiaan yang kini terasa asing. Axel menyentuhnya pelan. Helaan napasnya berat, seperti menahan batu besar di d**a. Arjun masuk, diam sejenak sebelum bicara. "Kita sudah mencarinya ke semua tempat, Pak. Tidak ada tanda-tanda. CCT

