Di dalam aula megah yang kembali gemerlap, Nathaniel masih berdiri terpaku. Musik telah berganti—lebih cepat, lebih ringan—namun dadanya belum bisa beralih dari alunan lambat tadi. Napasnya terasa aneh. Tangan kanannya masih seperti bisa merasakan kehangatan pinggang wanita itu, dan ujung jarinya seperti belum kehilangan lekukan satin yang membungkus tubuh rampingnya. Wanita itu... siapa dia? Kenangan samar seperti serpihan kabut menghantam sudut pikirannya. Bukan potongan visual yang jelas, tapi rasa. Perasaan yang dalam dan asing sekaligus akrab. Saat jemari mereka bersentuhan, ada sesuatu yang menjalar dari ujung sarafnya. Sesuatu yang... mengingatkan akan kehilangan. Rindu. Dan cinta. Tapi kenapa? “Sayang,” suara lembut namun memaksa menyentuhnya. Aurelia, dengan gaun barunya yang