Pagi itu langit Jakarta mengambang kelabu, seperti menggantungkan beban yang sama beratnya dengan hati Alika. Udara tak sepenuhnya panas atau sejuk, hanya lembap dan menyesakkan—persis seperti rasa yang mengendap di dadanya selama dua hari terakhir. Sudah dua hari berlalu sejak kecelakaan yang menimpa Nathaniel. Dua hari tanpa pesan. Dua hari tanpa penjelasan. Dua hari tanpa wajah yang selalu mampu membuatnya merasa pulang. Dan hari ini, meski hatinya belum siap, Alika tahu ia harus datang. Harus melihatnya dengan mata kepala sendiri. Harus memastikan bahwa lelaki yang dicintainya masih hidup, masih utuh, dan—semoga—masih mengingatnya. Tangannya membawa sebungkus roti keju dan termos kecil berisi teh manis hangat. Ia masih mengingat jelas—itu dua hal yang selalu Nathaniel cari saat kelel