Hujan masih turun ketika Nathaniel berdiri di depan pintu rumah bergaya kolonial milik ayahnya di Menteng. Lampu-lampu halaman menyala hangat, tapi hati Nathaniel terasa dingin. Payung hitam di tangannya meneteskan air, membentuk genangan di tangga marmer. Ia menekan bel. Beberapa detik, lalu pintu dibuka oleh seorang asisten rumah tangga. “Mas Nathaniel…” “Ayah ada?” Perempuan paruh baya itu tampak ragu, lalu mengangguk pelan. “Di ruang kerja. Tapi…” “Aku harus bicara sekarang.” Nathaniel masuk tanpa menunggu izin. Ia tahu jalan menuju ruang kerja ayahnya—tempat di mana dulu ia belajar membaca kontrak hukum untuk pertama kalinya. Tempat di mana suara tawa ayahnya dulu membanggakan nilai sempurna yang ia raih. Tempat yang kini hanya menyimpan segala kenangan. Revano Baskara duduk d