Di penthouse lantai 36 hotel bintang lima kawasan SCBD, Rayven bersandar di kursi kulit besar dengan segelas bourbon di tangan. Di depannya, dua wanita cantik berdansa perlahan mengikuti irama musik jazzy yang mengalun dari speaker tersembunyi. Salah satu dari mereka mengenakan gaun satin merah, rambut hitamnya digelung elegan; satunya lagi hanya mengenakan kemeja putih Rayven yang kebesaran, kancingnya terbuka hingga pusar. Keduanya tertawa-tawa, menyentuh bahu Rayven, bibir mereka sesekali menyentuh lehernya. Namun Rayven menatap kosong ke arah jendela yang memperlihatkan gemerlap kota Jakarta di bawah. Matanya dingin. Tangannya mencengkeram gelas seperti sedang menahan sesuatu yang jauh lebih panas dari bourbon di dalamnya. Ponselnya bergetar di meja kaca. Ia tidak langsung mengambiln