Nathaniel menutup pintu ruangannya lebih cepat dari biasanya sore itu. Firma sudah sepi, sebagian besar staf pulang, hanya cahaya temaram lampu meja yang menyinari wajahnya. Ia menekankan jari-jarinya ke pelipis, kepalanya terus berdenyut. Nama itu—Alika—tidak pernah berhenti bergema. Sejak ia mengucapkannya tanpa sadar, bayangan wajahnya terus muncul, semakin nyata, semakin menuntut. Laci meja sudah kosong. Foto itu, satu-satunya petunjuk, sudah tidak ada. Tapi perasaan itu tak mau hilang. Nathaniel merasa seperti seseorang yang kehilangan harta berharga namun tidak tahu siapa pencurinya. Dan malam itu, tanpa ia duga, jawabannya datang. Ketukan pelan terdengar di pintu ruangannya. Nathaniel sempat mengernyit. Siapa yang datang sepagi ini? Ia tidak menjadwalkan pertemuan dengan klien, d