Restoran itu dipenuhi cahaya hangat sore hari. Dindingnya dilapisi panel kayu berwarna cokelat tua, aroma kopi mahal bercampur dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven. Aurelia duduk di sebuah meja dekat jendela besar, menatap lalu lintas padat di luar yang bergerak seperti arus tak pernah berhenti. Tangannya memegang sendok kecil, menggulirkan cairan cokelat di dalam cangkir cappuccino yang sudah mulai dingin. Matanya kosong, pikirannya melayang entah ke mana. Belakangan ini, Nathaniel semakin jarang mengizinkannya ikut ke mana pun. Dulu, ia terbiasa menempel di sampingnya—menjadi sekretaris pribadi, pasangan, sekaligus pengingat yang selalu ada. Tapi kini, setiap kali ia terlalu sering mengikuti, Nathaniel menunjukkan ketidaksenangan. Kadang hanya lewat tatapan dingin, kada