Pagi di Lembang menyambut mereka dengan udara tipis dan embun di jendela. Alika berdiri di balkon kecil rumah persembunyian, mengenakan hoodie abu-abu milik Nathaniel, rambutnya sedikit berantakan, tapi matanya tajam mengawasi langit. Nathaniel muncul dari dapur, membawa dua cangkir teh panas. “Masih belum bisa tidur?” tanyanya, menyerahkan satu cangkir padanya. Alika menggeleng. “Mimpinya masih terus datang. Ayahku. Rayven. Aurelia. Semuanya.” Nathaniel memandangi wajahnya lama. “Aku bisa pergi kalau kamu butuh ruang.” Alika menoleh, memeluk cangkirnya. “Aku nggak pengen kamu pergi. Tapi... aku juga takut kamu tinggal karena kasihan.” Nathaniel menyandarkan bahu ke dinding, menatap lembah berkabut di bawah mereka. “Aku tinggal bukan karena kasihan. Aku tinggal karena aku jatuh cint

