21 : Sore Berhujan

1613 Kata
Gelap. Nabila mengerjap berusaha menormalkan kembali penglihatannya tapi tetap saja gagal, seperti ada sesuatu yang masuk ke dalam matanya sehingga pandangannya mengabur. Tempat ini sangat gelap, dengan bau anyir yang menyengat lalu memasuki indera penciumannya secara paksa, membuat Nabila mual seketika. "To ... long— ARGH!!" Hanya satu kalimat terpatah, tapi mampu membuat Nabila meringis kesakitan. Tubuhnya terasa sakit disegala tempat. Nabila rasa bibirnya sedikit robek sehingga sangat sakit jika dia mengeluarkan suara, dan Nabila juga yakin bahwa sesuatu yang memasuki matanya adalah darahnya sendiri yang berasal dari kepalanya. Rasa nyeri ditubuhnya semakin menjadi ketika kilas balik kejadian beberapa jam lalu kembali terputar dikepalanya. Ada empat pria yang membawanya pergi dari perempatan minimarket malam itu, lalu mereka membawa dirinya kesuatu tempat yang tidak Nabila ketahui. Mereka memasukkan Nabila kedalam sebuah ruangan, lalu memaksa Nabila untuk melakukan sesuatu yang mereka inginkan. Namun Nabila berteriak keras dan memberontak hingga melakukan perlawanan. Kepalanya terasa sakit ketika membayangkan kembali sebuah benda keras menghantamnya malam itu, hantamannya terlalu kuat sehingga dirinya limbun. Nabila menangis seraya memohon agar mereka melepaskannya, tapi alih-alih mengabulkan mereka justru mengikat dirinya lalu memperlakukan dirinya dengan sangat k**i. Menampar, Menjambak bahkan menyakiti fisik serta batinnya. Nabila yakin sekali bahwa keempat pria dewasa itu sedang mabuk malam itu. Nabila bahkan masih ingat ketika salah satu dari mereka mengucapkan sebuah kalimat dengan gamblangnya. ‘Puaskan kami malam ini.’ Tanpa sadar air mata Nabila terjatuh, gadis itu menangis karena tidak berani mengingat kejadian apa yang terjadi selanjutnya. "Jangan … t-tolong … ja … ngan …." Tidak ada yang mendengarnya, karena sekarang sudah tidak ada siapapun di ruangan ini selain dirinya. Nabila memejamkan matanya rapat-rapat ketika sebuah petir terlihat dari salah satu jendela disusul oleh suara gemuruh geledek yang sangat memekkan telinga, dalam derasnya hujan diluar sana Nabila kembali menangis, menggumamkan kata jangan berulang kali disertai sarat tatap ketakutan yang mendominasi. Hingga sampai beberapa menit berlalu, suara tangisnya terhenti. Tergantikan dengan hilangnya seluruh kesadaran yang tersisa. Kedua mata Nabila tertutup dalam derasnya suara hujan. ### Jeno sangat sulit ditemui pagi ini. Bukan karena laki-laki itu menghindar secara sengaja, tapi justru pihak sekolah Jeno yang memperumit segalanya. Setelah lomba usai, smanda─sekolah Jeno─menempati peringat pertama untuk cabang Matematika dan Fisika. Sedangkan sekolahnya sendiri mendapat peringkat pertama untuk cabang Futsal. Sebenarnya sangat disayangkan Nabila dan Zinde batal mengikuti lomba itu, karena kemungkinan besar mereka akan menang jika lawan mereka adalah smanda, begitupun dengan Arin dan Abel yang juga batal mengikuti cabang Fisika. Bukan berniat sombong, hanya saja kapasitas otak Nabila dan Arin jauh lebih tinggi dari anak-anak smanda. Tapi diluar itu semua, Barga baru tau kalau Jeno merupakan salah satu perwakilan dari sekolahnya. Jadi laki-laki itu tentu punya alasan kenapa bisa sampai di Bogor, tapi tidak menutup kemungkinan juga bahwa Jeno memang pelaku sebenarnya dari penculikan Nabila. Barga sangat yakin kalau Jeno pelakunya. Bisa saja kan Jeno tau soal hubungannya dengan Nabila, lalu dengan sengaja menggunakan gadis itu untuk ajang balas dendamnya terhadap Barga? Oke, spekulasi itu memang keterlaluan, karena tanpa bukti apapun Barga langsung asal  menuduh. Tapi Barga sudah hilang akal, dia benar-benar tidak bisa memikirkan apapun selain dugaannya itu. "Bang, lo udah bikin janji kan sama Jeno?" Pertanyaan Aksa membuyarkan semua isi kepala Barga, laki-laki itu mengerjap seperti orang linglung, "Lo ngomong apa, Sa?" "Kasih aqua dulu abang lo itu, biar fokus." Raka menyahut dari sofa sebrang dengan suara sinis. "Bacot lo," balas Barga sedikit kesal. Ternyata perkelahian mereka berdua belum juga mereda. "Jeno," Aksa berusaha menarik perhatian Barga lagi. Dan sekuat mungkin berusaha menjadi pihak yang paling netral disini. "Udah bikin janji, ‘kan?" Barga mengecek sebentar ponselnya. "Udah, tapi belum dijawab." Kontak Jeno yang sudah diblokir terpaksa harus diunblock hanya karena masalah ini. Laki-laki itu sedang berada diacara makan bersama dengan anak-anak sekolahnya akibat kemenangan yang mereka terima, itu alasan kenapa mereka bertiga sulit menemui Jeno. Sedangkan sekolah mereka? Boro-boro mau makan-makan, guru-guru justru disibukkan dengan menuntut polisi yang sudah lima jam lebih belum juga menemukan keberadaan sedan hitam yang membawa Nabila. Anak-anak futsal juga merasa tidak apa-apa jika kemenangan ini tidak dirayakan, yang penting adalah keselamatan teman satu angkatan mereka, karena diam-diam sebagian besar anak futsal juga naksir berat sama Nabila, jadi mereka pasti khawatir. "Papa masih diluar, kan, ya?" Raka bertanya tiba-tiba. Barga tentu malas menjawab pertanyaan saudaranya itu, jadi Aksa lah yang terpaksa menjawabnya. "Iya, sama Ayah Farhan. Papa turun tangan sendiri buat cari Nabila, dan ngajak Ayah Farhan biar nggak sendirian, terus─" "Ayah Farhan?" Barga dan Raka menyela perkataan Aksa secara bersamaan, merasa ada yang janggal dengan kalimat adik kembarnya itu. "Kan Ayahnya Nabil bakal jadi Ayah gue juga di masa depan, nggak salah dong?" Bantal yang sedari tadi digunakan Raka untuk bersender langsung melayang ke kepala Aksa. "Nggak lucu, nggak tepat banget lo ngelawak disaat kayak gini," kata Raka sedikit emosi. Tapi diluar diguaan, Aksa justru menyahut tak kalah ketus. "Gue lagi berusaha biar nggak stress!" Matanya menatap kedua saudaranya secara bergantian, "lo kira gue nggak pening mikirin Nabil? Gue juga khawatir, sama kayak kalian. Tapi gue berusaha jadi penengah diantara ketololan kalian berdua yang nggak berhenti ribut dari tadi. Kalo gue nggak ngelawak, mungkin kepala gue udah pecah dari tadi karena dijenturin ke tembok." Barga meringis mendengarnya, merasa bersalah tiba-tiba. "Maaf," gumamnya pelan. Aksa benar, tidak seharusnya dia bersikap demikian. "Jadi sekarang kita harus gimana? Masa mau diem aja karena Papa nggak ngijinin kita bertindak gegabah? Kalo kita nggak ikut gerak, gue takut Nana kenapa-napa." Ketiganya diam, sibuk memikirkan sesuatu selama beberapa detik. Lalu Aksa menggumamkan sebuah ide gila yang sudah pasti akan memancing kemarahan Daniel. "Kabur?" "Boleh! Tapi─ah, gila! Gue nggak mau uang jajan gue dipotong!" seru Raka kesal. "Lo lebih sayang kertas-kertas berwarna itu daripada─" Ucapan Aksa terputus oleh dering ponsel Barga, mereka serempak diam ketika Barga membaca dengan serius pesan yang baru saja didapatkannya. Barga mendongak, menatap kedua saudaranya bergantian dengan tatapan serius. "Kita bisa nemuin Jeno sekarang." ### Barga dan Aksa memasuki sebuah cafe yang dituliskan oleh Jeno dalam balasan pesannya. Raka memilih tidak ikut, dia ingin menunggu kabar dari Papanya daripada mencari tau lewat Jeno yang belum pasti adalah penculik Nabila atau bukan. Kedatangan Barga disambut senyum manis oleh Jeno, laki-laki itu ingin berjabat namun tidak dihiraukan oleh Barga. Jadi, Jeno menarik kembali uluran tangannya secara cuma-cuma. "Wow, ini kebetulan atau apa sebenernya? Lo ngajakin gue ketemu, di Bogor pula. Lo ikut perwakilan lomba juga dari smansa?" Kalimat pembuka Jeno mendapatkan desisan kasar dari Barga. "Nggak usah bacot, gue ngajak lo ketemu karena mau nanya sesuatu." Jeno sepertinya tertarik, lalu dia berseru dengan riangnya. "Sesuatu? Apa?" "Dimana lo sembunyiin Nabila?" Tanpa basa-basi dan tanpa perlu repot untuk duduk lebih dulu, Barga langsung menanyakan inti permasalahan. Jeno mengernyit dalam duduknya, dia seperti teringat sesuatu setelah mendengar pertanyaan Barga barusan. "Wait, Nabila? Nabila─ jangan bilang, Nabila Farisha Kusnandi?!" Ada keterkejutan dalam suara Jeno, membuat Barga bingung dan kesal disaat yang bersamaan. Laki-laki ini mengetahui nama lengkap Nabilanya. Aksa meringis mendengar pekikan Jeno, dibalik senyum manis yang dimiliki laki-laki itu, entah kenapa Aksa lebih merasakan aura yang menyeramkan jika laki-laki itu berhadapan dengan saudara kembarnya, Barga. "Jadi, Nabila itu pacar lo? Wah sayang banget, padahal udah gue targetin buat jadi gebetan gue yang selanjutnya." "Diem lo!" Barga tersulut emosi, dia sampai menarik kerah baju Jeno. "SIAPA YANG LO TELPON SEMALEM DAN DIMANA LO SEMBUNYIIN NABILA?!" Aksa berdecak kesal, menarik Barga agar sedikit menjauh dari Jeno. "Bang, udah. Jangan pake emosi." Peringatnya sambil memegangi lengan Barga. "Sembunyiin apasih maksud lo, hah?! Setelah ketemu Nabila itu, gue udah janjian sama Jaemin buat ngumpul! kalo perlu gue ingetin Jaemin itu rival lo difutsal! Gue nggak tau apa-apa soal sembunyi sembunyian!" Barga terkejut, praduganya salah, ternyata bukan Jeno pelakunya. Baru saja Barga ingin menjawab lagi, Raka lebih dulu hadir diantara mereka, dengan napas yang terengah-engah dan binar mata penuh kelegaan. "Cabut sekarang, Papa udah nemuin keberadaan Nabila!" Tanpa memperdulikan keberadaan Jeno, Barga dan Aksa langsung bergegas mengikuti Raka menuju mobil yang akan membawa mereka menuju Nabila. Raka yang menyetir, Barga tidak tau dan tidak perduli mobil siapa yang sekarang dipakai oleh saudaranya itu, kepalanya terlalu penuh untuk memikirkan Nabila, Nabila dan Nabila─ dalam perjalanan mengikuti mobil Daniel di depan sana, mereka bertiga tidak berhenti mengucapkan hal yang sama di dalam hati. ‘Semoga Nabila tidak apa-apa.’ Petir datang secara tiba-tiba disusul suara gerumuh geledek yang menggema, hujan lebat mengguyur jalanan kota Bogor sore ini. Bertemankan rasa cemas, cuaca seolah mendukung ketegangan yang sedang terjadi. Hingga akhirnya mobil Daniel terparkir disalah satu bangunan tua yang sudah tidak terpakai, mereka bertiga mengikuti, lalu langsung berlari keluar tanpa memperdulikan pakaian yang sudah basah kuyup akibat terguyur hujan. Keselamatan Nabila lebih penting sekarang. "HEY! KALIAN MAU KEMANA!" Daniel berseru panik melihat ketiga anaknya masuk ke dalam bangunan tersebut tanpa menunggunya, tidak ada yang tau ada bahaya yang menanti atau tidak didalam sana, keselamatan mereka juga jadi taruhannya sekarang. "NABILA!" Aksa berseru dan menggema di bangunan ini, hujan tidak lagi mengguyur, hanya ada suara titik-titik airnya yang berbenturan dengan tanah diluar sana, saling bersahutan dengan panggilan mereka bertiga untuk Nabila. Orang tua mereka serta orang tua Nabila turut melakukan hal yang sama, meneriaki nama Nabila berharap bahwa gadis itu akan menyahut sehingga mereka bisa bernapas lega. Tapi alih-alih bernapas lega, suara jeritan Farisha menggema lebih mendominasi di bangunan ini bersamaan dengan terlihatnya tubuh Nabila dalam suatu ruangan yang baru saja dibuka oleh Farhan. Barga, Raka dan Aksa menoleh untuk melihat namun beberapa detik kemudian mereka langsung berpaling lagi pada arah yang berlawanan sama seperti yang Daniel lakukan. Ketiganya saling pandang dengan wajah yang luar biasa kaget, air mata Raka lebih dulu mengalir disusul Aksa yang ikut terisak lirih. Sedangkan Barga hanya diam, memandang kosong udara yang tak terlihat. Derasnya hujan di sore hari, ditambah dengan tangisan keras milik Ibu Nabila, serta isakan tertahan dari dua saudaranya terdengar sangat menyakitkan disaat yang bersamaan. Dalam diamnya air mata Barga ikut jatuh, laki-laki itu tertunduk dalam berusaha keras menahan dirinya agar tidak berlari menghampiri Nabila diujung sana. Ada lega yang menguar dihatinya karena Nabila sudah ditemukan, tapi hal menyakitkan ternyata lebih mendominasi di dalam sana. Walaupun hanya melihat sekilas, Barga sangat yakin. Bahwa keadaan Nabila dalam rengkuhan Ibunya, kini telah terikat serta berlumuran darah. Dan dalam keadaan pingsannya Nabila terbaring lemah tanpa ada busana sehelaipun ditubuhnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN