Perlombaan sempat kacau.
Barga tiba-tiba membatalkan ikut dalam anggota inti futsal, untung saja mereka membawa anggota cadangan sehingga tidak terlalu repot untuk mengurus cabang itu. Hanya saja, karena masalah hilangnya Nabila, lomba cabang Matematika terpaksa tidak turun, karena tidak ada cadangan untuk lomba tersebut.
Sejak semalam pihak sekolah sudah mencari keberadaan Nabila. Dimulai dari menanyakan kepada petugas depan tentang terakhir kalinya melihat gadis itu, serta meminta akses cctv yang akan mereka dapatkan pagi ini.
Barga tidak bisa tidur, pikirannya terlalu kalut karena tidak diberikan izin untuk mencari Nabila sendirian, bagaimapun pihak sekolah memberi alasan bahwa mereka disini atas nama sekolah, jadi sekolah yang akan turun tangan dan bertanggung jawab, pihak sekolah hanya tidak mau Barga bertindak gegabah. Pihak sekolah juga sudah menghubungi keluarga Nabila, dan mereka akan sampai pagi ini.
"Lo yakin nggak liat Nabila?" Pertanyaan yang sama, untuk yang kesekian kalinya Barga lontarkan pada Arin.
Dengan gelengan terpatah Arin menjawab, "dia keluar sekitar jam tujuh lewat, dia cuma bilang mau cari angin gue inget banget dia cuma bawa hp sama dompet. Sekitar jam sembilan lebih gue ke minimarket diujung hotel sana, mau beli sesuatu sekalian mau cari Nabila, gue bahkan udah kirim sms kedia ngasih tau kalo gue di minimarket, dia bales katanya bakal nyamperin gue." Untuk yang kesekian kalinya juga, Arin menyodorkan ponselnya menampilkan chat terakhir antara dirinya dengan Nabila, "Tapi sekitar tiga puluh menit, dia nggak juga nyamperin gue, akhirnya gue balik ke hotel dan ngeliat dikamar cuma ada Zinde sama Abel, gue panik. Akhirnya gue kekamar lo."
Barga ingat, dia juga sempat mengirimkan pesan untuk Nabila di jam sembilan dan gadis itu memang sempat menjawabnya dengan mengucapkan semoga cepet sembuh untuk mual yang Barga rasakan. Tapi setelah mendapat kabar dari Arin, ponsel gadis itu tiba-tiba saja mendadak tidak aktif.
Sekarang pukul sembilan pagi, beberapa siswa sedang mengikuti perlombaan, dan sekarang di salah satu ruangan hotel yang dipinjam oleh pihak sekolah beberapa dari mereka berkumpul. Ada beberapa guru yang beristirahat karena semalaman mencari Nabila, lalu Barga serta beberapa cadangan futsal yang tidak ikut, ada Arin yang juga membatalkan lombanya dengan Abel, terakhir Zinde.
"Zinde." Barga mendekat, menghampiri gadis itu yang sedang terpejam di pojok ruangan.
"Apa? Lo mau bilang ini ulah gue?" Zinde membuka matanya, menatap Barga dengan raut lelah.
"Ini ulah lo?"
Zinde berdecak, "harus berapa kali sih gue bilang? Gue nggak ada campur tangan sama hilangnya Nabila! Gue dikamar seharian bareng Abel, dan gue nggak ngomong satu kata pun ke Nabila setelah sampai di Bogor. Dan untuk batalnya lomba ini serta hilangnya cewe yang lo suka itu, lo mau nuduh gue?!"
Beberapa guru yang mengetahui masalah antara Nabila dan Zinde memang sudah sempat bertanya kepada gadis itu, tapi Zinde sudah menjawab bahwa dia tidak tau apa-apa soal ini.
"Gue nggak punya masalah ya sama lo, tapi tolong, jangan hakimi gue untuk sesuatu yang sama sekali nggak gue lakuin!" Bentak Zinde marah, bahkan kedua mata gadis itu sudah berkaca-kaca.
Dia kesal, semua tatapan orang-orang disini seperti menyalahkannya, sehingga dia memilih untuk menenangkan dirinya dipojok ruangan. Dengan tatapan mengahkimi seperti itu, mereka tidak tau bahwa diam-diam Zinde juga khawatir dengan Nabila sekarang.
Tidak ada yang tahu itu.
BRAK!
Zinde berjengit kaget ketika Barga menendang salah satu kursi secara tiba-tiba, bahkan Pak Arif yang sedang tertidur sampai terbangun karena ulah Barga barusan. Barga mengusap wajahnya kasar, dia ingin sekali pergi dari sini dan mencari Nabila, tapi dia harus menunggu hingga Papanya datang sehingga tanggung jawab sekolah terbebas darinya.
BRAK!
Kali ini bukan suara kursi yang ditendang oleh Barga.
Tapi suara pintu ruangan yang tiba-tiba terbuka dan disusul kemunculan Aksa dibelakangnya. Wajah laki-laki itu terlihat cemas, berbanding terbalik dengan wajah Barga yang bingung serta bertanya-tanya kapan keluarganya sampai.
"Bang, cctv udah bisa dilihat. Dan mungkin, lo bakal kaget sama isinya." Kalimatnya tenang─tipikal Aksa sekali yang selalu berbicara ketika ada siswa lain─tapi dalam ketenangan itu, jelas, semua orang juga tahu bahwa terselip rasa khawatir disana.
Tanpa pikir panjang semua orang dalam ruangan itu bergegas untuk melihat sendiri apa yang sudah terjadi dengan Nabila semalam.
Barga sedikit kaget setelah melihat ruang cctv yang penuh, ada keluarganya disana Papa, Mama serta Raka dengan wajah cemasnya, tapi yang membuat Barga tiba-tiba merasa bersalah adalah seorang wanita yang berada dalam rangkulan Mamanya sedang menahan tangis, Barga yakin itu orang tua Nabila.
"Pa …." Barga berucap lemas, meminta agar cctv kembali diputar ulang.
Daniel langsung menuruti permintaan anak sulungnya itu, menyuruh petugas memutar sekali lagi rekaman cctv bagian luar hotel.
Sekitar pukul tujuh lewat, Nabila memang keluar seorang diri dari hotel tersebut dan berjalan menjauh, setelah mendengar penjelasan sang petugas yang mengatakan bahwa pada jam itu Nabila pergi ke minimarket yang sempat Arin bilang tadi, Barga mengangguk mengerti.
Cctv dipercepat satu jam setelahnya, disana Barga melihat Nabila berjalan menuju kursi pinggir jalan yang berada lumayan dekat dengan hotel, sehingga Barga masih bisa melihat dan mengenali gadis itu walaupun jaraknya terlampau jauh dengan cctv tersebut.
Adegan dimana Nabila bertemu dengan pengamen kecil lalu berbincang dan diakhiri dengan pemberian uang untuk bocah itu, Barga melihat semuanya. Sampai ketika ada seorang laki-laki yang berdiri dibelakang Nabila tepat ketika saat bocah itu pergi, tatapan Barga menyipit, dalam hening ruangan Barga menahan napas tiba-tiba. Tanpa sadar tangannya terkepal kuat ketika menyadari siapa laki-laki yang kini sedang berbicara dengan Nabila dicctv tersebut.
Jeno.
Rivalnya diarena balap.
Sebelum akal sehat Barga hilang, sebuah tepukan halus sarat akan peringatan mendarat dipundaknya, disusul sebuah suara yang Barga kenali. "Gue tau siapa dia, gue tau lo marah, tapi lo harus liat cctv ini sampe selesai." Itu suara Aksa.
Aksa tentu tau siapa itu Jeno, karena dia sempat mengikuti Barga balapan malam itu, malam dimana Barga berakhir dengan kecelakaan tragis.
Perhatian Barga kembali pada cctv, Nabila terlihat pergi meninggalkan Jeno setelah mendapatkan sebuah pesan singkat yang Barga yakini dari Arin, langkah gadis itu kembali mengarah pada minimarket tapi terlalu jauh sehingga tidak terekam oleh cctv luar hotel.
"Kami sudah mendapatkan cctv persimpangan menuju minimarket tersebut, dan sepertinya semua sudah berkumpul, jadi saya akan memutarnya sekarang." Petugas itu berbicara, lalu tangannya bergerak lincah mencari folder cctv yang dimaksud.
Ruangan mendadak hening, ketika layar monitor menunjukkan siluet tubuh Nabila yang berjalan dalam remang-remang cahaya di persimpangan jalan. Awalnya tidak ada yang mencurigakan, sampai sebuah sedan hitam berhenti mendadak tepat disebelah Nabila, ada tiga pria berusia sekitar 30 tahun lebih keluar dari sedan tersebut, lalu menarik paksa Nabila yang sempat memberontak hingga masuk kedalam mobil, mereka semua masuk ke dalam mobil lalu melesat cepat meninggalkan persimpangan.
Keheningan tersebut terpecah oleh suara tangis Farisha─Ibu Nabila, dan Sera langsung menarik wanita itu keluar seraya mengucapkan beberapa kalimat penenang.
"Beruntung karena polisi berhasil mencatat plat mobil tersebut, dan sekarang mobil tersebut sedang dalam masa penyelidikan, saya berjanji tidak sampai dua jam lagi mobil itu pasti akan ditemukan, jadi kami harap tidak ada yang bertindak gegabah dan tunggu pemberitahuan dari polisi lebih lanjut."
Daniel mengucapkan terima kasih kepada petugas tersebut lalu membawa Farhan keluar dari ruangan, disusul oleh ketiga anaknya dan beberapa siswa dan guru yang ikut bergabung.
"Pak, kami dari pihak sekolah ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya karena kelalaian kami, putri bapak jadi menghilang seperti ini." Pak Arif menyampaikan permohonan maaf kepada Farhan yang dibalas oleh laki-laki itu dengan senyum tipis.
"Tidak apa-apa, lagi pula ini kecelakaan, tidak sepenuhnya sekolah bersalah." Farhan tidak punya waktu untuk saling menyalahkan, sekarang tinggal bagaimana caranya dia ingin Putrinya cepat ditemukan.
Dalam diamnya Barga kembali memasuki ruangan cctv, semua orang tau pergerakannya tapi mereka hanya bisa diam tanpa menyegat, Aksa dan Raka setia mengekor dibelakangnya, karena memang penasaran dengan apa yang akan Saudara kembarnya lakukan.
"Ada apa nak?" Petugas tadi menyadari kehadiran ketiganya.
"Pak tolong putar ulang rekaman terakhir Nabila."
"Tapi, bukannya sudah?"
Barga berdecak, "saya perlu memastikan sesuatu yang lain."
Tanpa membantah lagi, petugas tersebut kembali mencari potongan cctv pada jam sembilan malam. Kejadian itu kembali terulang dari saat Jeno menghampiri Nabila hingga gadis itu pergi meninggalkan Jeno.
"Sudah?" tanya petugas itu.
Barga tidak menjawab, tapi tangannya terangkat diudara menandakan bahwa dia ingin waktu sebentar lagi, matanya tidak lepas memandang monitor tersebut, siluet Jeno masih terlihat memandangi punggung Nabila yang menjauh, hingga ketika Barga melihat bahwa laki-laki itu merogoh ponsel disakunya lalu menempelkannya ketelinga, Barga yakin Jeno menghubungi seseorang.
Tanpa berpikir lagi Barga langsung keluar dari ruangan cctv dengan tergesa-gesa, Raka dan Aksa sampai terkaget dibuatnya, namun langsung menyusul karena menyadari sesuatu yang tidak beres.
Barga ingin mendatangi Jeno.
"Rin, lomba udah selesai kan?" tanya Barga cepat kepada Arin, gadis itu hanya mengangguk kecil karena kaget dengan tindakan tiba-tiba Barga.
Baru saja Barga ingin berlari lagi, Raka sudah lebih dulu menahan lengannya.
"Mau kemana lo?" Suara Raka terdengar dingin, tatapannya menajam mengarah pada Barga.
"Nyamperin Jeno, apa lagi?" Barga membalas tak kalah dingin.
"Jangan gegabah."
"Diem."
"LO YANG DIEM!" Cengkraman Raka pada lengan Barga berpindah ke kerah baju. Merasa bahwa teriakannya barusan mengundang banyak perhatian, Raka segera menarik Barga lebih jauh menghindari yang lain, tapi Aksa tetap mengekor dibelakangnya dengan khawatir.
Raka mendorong Barga ketembok, menatap tajam laki-laki itu. "Denger gue, lo pasti punya otak buat berpikir logis, ‘kan?"
"Nggak." Barga menyahut cepat, "gue nggak punya otak kalo udah menyangkut soal Nabila."
"Astaga." Raka mengumpat kesal karena Barga menjawab dengan kalimat seperti itu. Aksa yang melihat Raka hampir menonjok Barga langsung bergerak cepat untuk menjauhkan keduanya.
"Lorang berdua apaan sih?! Masih sempet buat berantem?! Iya?!"
Keduanya diam, masih saling tatap dengan sengit. Raka maju lagi selangkah, telunjuknya terangkat ke kepala Barga. "Sekali lagi gue tanya, punya otak kan lo?! Gue tau lo mau nyamperin temen lo itu, dan bakal langsung nonjok dia begitu ketemu. Tapi sekali lagi gue ingetin, tindakan gegabah lo itu nggak akan ngerubah apapun!"
"Tapi gue harus nemuin dia!" Barga menyahut tidak santai.
"Wih t*i!" Raka beralih pada Aksa. "Sa, abang lo ini minta ditonjok bener emang."
"Udah sih!" Aksa menjambakk rambutnya frustrasi, "kalo lo emang mau nyamperin Jeno, gue sama Raka harus ikut, dan lo harus omongin baik-baik tanpa main fisik, deal?"
Barga tidak punya jawaban lain, yang paling penting dia harus bertemu Jeno sekarang, jadi tanpa pikir panjang lagi dia hanya bisa menjawab pasrah perjanjian Aksa tadi.
"Deal."