Pukul enam sore bis yang ditumpangi oleh anak-anak smansa sampai di kota Bogor. Pembagian kamar hotel sudah diberitahukan sebelum keberangkatan, maka mereka langsung berhamburan untuk masuk ke kamar masing-masing.
Dalam satu kamar akan diisi oleh 4 orang, Nabila bersyukur karena Arin menjadi teman sekamarnya, tapi disisi lain juga Nabila merasa resah karena entah kesialan apa yang menimpanya, Zinde juga berada di dalam kamar yang sama.
Sial sekali.
Walaupun gadis itu tidak mengganggunya, Nabila tetap saja resah. Jangankan menunggu Zinde melontarkan kalimat-kalimat pedasnya untuk membuat Nabila takut, hanya dengan melihat mata gadis itu saja Nabila sudah gelagapan.
"Nab, lo tidur sekasur sama gue kok, jangan khawatir ya, dia nggak bakal bisa macem-macem disini." Arin bersuara sesaat setelah Zinde keluar dari kamar hotel mereka bersama dengan satu gadis lainnya. Arin sampai harus mengusap bahu Nabila untuk menenangkan gadis itu.
Mengabaikan semua firasat buruk di kepalanya, Nabila lantas mengangguk. "Makasih ya, Rin," gumamnya pelan.
Arin tersenyum tipis lalu beranjak menuju kopernya. "Besok kita udah lomba, mending lo tidur biar nggak kefikiran terus," saran Arin.
"Justru karena gue kefikiran, gue jadi nggak bisa tidur." Nabila mendesah lelah, dia sudah mandi dan menunaikan ibadah maghrib untuk mendinginkan kepalanya, tapi tetap saja rasa resah itu ada, tidak berniat pergi dari kepala Nabila.
Awalnya, Nabila mengira bekerja sama dengan Zinde tidak akan terasa buruk karena bagaimanapun juga ini lomba, dimana mereka membawa nama sekolah didalamnya, jadi Zinde tidak mungkin berani macam-macam yang beralasan soal perasaan pribadinya. Nabila sangat tahu kalau Zinde tidak akan berfikir sedangkal itu untuk mencelakainya.
Tapi masalahnya, kesehatan batin dan mentalnya yang dipermasalahkan sekarang. Diluar semua pujian yang selalu Nabila terima, Nabila juga manusia biasa seperti teman-temannya yang lain. Dia tentu punya rasa takut, apalagi terhadap seseorang yang sudah sering melukai batinnya.
Nabila takut, dia akan mengacaukan lomba besok.
"Rin, gue mau keluar bentar, cari angin."
Fikirannya cukup kacau, setidaknya Nabila harus mencari cara untuk mengusir semua fikiran buruknya.
Arin yang sedang membereskan kopernya langsung menoleh. "Sendirian?"
"Mungkin lo mau ikut?" Ttanya Nabila.
Arin meringis kecil lalu menampakkan cengiran lebar, "tapi gue belum mandi."
"Oke," Nabila tertawa kecil, "gue sendiri aja, cuma bentar kok." Menyambar cepat ponsel serta dompetnya diatas kasur, Nabila lantas beranjak. "Gue pergi ya, Rin. Kalo ada yang cari bilang aja gue jalan-jalan bentar."
Arin mengacungkan ibu jarinya sebagai jawaban.
###
Keputusan Nabila tidak salah, angin malam memang paling bisa menjernihkan fikirannya. Dengan bermodalkan satu botol aqua dan duduk-duduk dikursi pinggir jalan sudah cukup untuk Nabila. Banyak sekali hal yang bisa dia lihat disini, mulai dari perkumpulan anak-anak muda sampai pengamen-pengamen pinggir jalan.
Sudah cukup.
Dengan begini, bayang-bayang ketakutannya langsung menghilang.
‘Kamu adalah bukti, dari cantiknya paras dan hati, kau jadi harmoni saat ku bernyanyi.’
Nabila menoleh dan mendapati bocah laki-laki berdiri disamping kursinya. Dengan bantuan sebuah ukulele bocah itu menyanyikan sepenggal lirik lagu milik virgoun, hati Nabila menghangat seketika, bukan karena suara bocah laki-laki tersebut─Nabila tidak bisa mendeskripsikan bagus atau tidaknya suara bocah itu─melainkan karena bocah itu sendiri, dimalam hari seperti ini dia masih saja mengamen untuk menyambung kebutuhan hidupnya.
"Kamu nggak pulang? Udah malem loh, nggak sekolah besok?" Nabila bertanya setelah permainan lagu bocah itu terhenti.
"Aku nggak sekolah kak."
Nabila tertegun, "nama kamu siapa?"
"Fico." Bocah itu tersenyum lebar.
Nabila sontak ikut tersenyum, "Fico sendirian? Temen-temennya mana?"
"Lagi cari uang juga, aku sama tiga orang," Fico mengangkat tiga jarinya memberitahu, "tapi sekarang mencar."
Nabila manggut-manggut mengerti, lalu dia berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan Fico. "Fico mau uang berapa? Nanti kakak kasih,"
Dengan gerakan cepat, Fico mengapit ukulele dilengannya, lalu kedua tangannya terangkat dengan susah payah menunjukkan sepuluh ibu jarinya yang terlihat kotor, "Sepuluh!" jawabnya riang.
Nabila tertegun lagi, dilihat dari penampilannya, pasti bocah ini sudah mengamen seharian penuh.
Nabila menaruh asal botol minumnya lalu membuka dompet dan mengambil uang seratus ribu dari sana, namun s**l gerakannya yang sedikit terburu-buru malah membuat beberapa uang koinnya jatuh dan menggelinding entah kemana. Mengabaikan uang koin itu, Nabila justru kembali fokus pada Fico.
Jemari Nabila menggenggam lembut salah satu tangan bocah itu, "buat Fico." Uang seratus ribu itu dia pindahkan ketangan Fico, membuat bola mata Fico berbinar senang.
"Sepuluh kan, kak?!" tanyanya antusias.
Nabila tersenyum lebar, "lebih dari sepuluh."
"Makasih kakak!" Setelah mengucapkan itu Fico langsung berlari menjauh, pasti dia ingin bercerita dengan teman-temannya karena baru saja mendapatkan uang lebih dari sepuluh, Nabila jadi tertawa kecil membayangkannya.
"Maaf, uang lo jatoh tadi."
Nabila tersentak kaget mendengar suara tersebut, dia langsung berdiri dan menoleh cepat kebelakang. Seorang laki-laki berdiri dibelakangnya yang kini menampakkan raut bingung, namun sedetik kemudian langsung berubah senang.
"Anak smansa yang waktu itu kan?!"
Menyadari sesuatu yang sama, Nabila juga memekik girang. "Anak smanda yang waktu itu gue tabrak ya?!"
Laki-laki itu mengangguk cepat, lalu menyodorkan uang koin kepada Nabila. "Gue tadi dibelakang lo, ngeliat lo ngobrol sama pengamen kecil tadi. Abis itu liat uang lo jatoh, jadi gue ambil, dan sekarang gue mau balikin."
"Makasih," Nabila menerimanya kembali, "padahal cuma uang koin loh."
Laki-laki itu tertawa, sejenak membuat Nabila sulit bernapas. "Jangan salah, uang koin juga berharga loh."
"Senyum lo manis," Oke, gumaman itu refleks keluar dari bibir Nabila.
Melihat bagaimana cara laki-laki itu tertawa sehingga membuat kedua matanya melengkung secara bersamaan, dan senyumnya yang kelewat lebar, Nabila tidak mungkin berbohong dengan mengucapkan bahwa laki-laki dihadapannya ini tidak tampan sama sekali.
Kenyataannya, dia melebihi definisi tampan.
Sejak kapan Nabila jadi pintar memuji?
Walaupun sempat kaget, tapi laki-laki itu tersenyum lagi. "Gue udah sering denger kalimat itu. Kenalin, gue Jeno Adrian, lo bisa panggil gue Jeno." Tangannya terulur didepan Nabila.
Uluran tangan itu Nabila sambut dengan senang hati, "Nabila Farisha Kusnandi, panggil aja Nabila."
"Namanya cantik, kayak orangnya."
Nabila langsung tertawa mendengarnya, "Maaf, tapi gue juga udah sering denger kalimat itu."
"Oh, Oke. Harusnya gue sadar lo memang secantik itu, mau ngobrol sebentar?" Jeno melirik kursi yang sempat Nabila duduki tadi, pertemuan kali ini tidak akan berakhir seperti sebelumnya kan? Dimana waktu itu Nabila langsung pergi karena terburu-buru mengejar Raka.
Setelah memastikan Nabila duduk dengan nyaman, Jeno kembali buka suara. "Gue nggak nyangka ketemu lo disini, padahal waktu itu tabrakannya nggak sengaja."
Nabila terkekeh samar. "Gue juga nggak nyangka, maaf ya kalo waktu itu tabrakan gue kuat banget, bahu gue aja sampe sakit."
"Ah, enggak kok. Gue udah sering dapet yang lebih dari itu." Dari berantem, lanjut Jeno dalam hati.
"Lo ngapain dibogor?" Nabila memiringkan kepalanya untuk menatap Jeno lebih jelas, "Jangan bilang ini kebetulan lagi?"
Jeno berdeham sejenak. "Kalo gue bilang, gue disini sebagai perwakilan smanda, lomba cabang Matematika, gimana?"
"WAH!" Nabila berucap tak sadar.
"Kenapa?"
Nabila tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, dengan kelewat senang dia berucap. "Kita bakal jadi rival."
"Hah?!" Jeno mengerjap, "Jangan bilang, lo ...?"
"Iya, gue jadi perwakilan smansa, untuk cabang lomba yang sama." Nabila tersenyum bangga.
"WAH!" Kali ini Jeno yang bersuara. Dia menatap Nabila dengan tidak peraya, "Kayaknya kita jodoh deh, Nab."
Tawa Nabila pecah seketika, mendengar kata jodoh terlintas dari mulut Jeno, Nabila langsung teringat triplets. "Sayangnya nggak, karena gue udah punya 3 calon jodoh di masa depan." Gurauan itu keluar begitu saja dari bibir Nabila, dia sadar mengucapkan itu. Andai saja mereka bertiga mendengarnya, pasti mereka─terutama Raka─akan bereaksi berlebihan.
"Tiga?!"
Nabila mengangguk kecil.
"Yah, gue nggak punya kesempatan berarti ya?" Jeno berucap sedih, tentu saja bercanda.
"Bener banget, mereka udah mengklaim gue jadi milik mereka, jadi lo nggak punya kesempatan sama sekali."
Baik Jeno maupun Nabila sendiri langsung tertawa, Nabila tidak perduli Jeno akan menganggap perkatannya itu sebagai candaan atau tidak, yang penting Nabila sangat sadar mengatakan itu.
Dia sudah menerima perjanjian itu.
Jadi, secara tidak langsung, Nabila juga berjanji untuk menjaga hatinya.
Ponsel dalam genggaman Nabila bergetar, menandakan sebuah pesan masuk, setelah membacanya sekilas dan mengetikkan balasan untuk si pengirim Nabila kembali beralih pada Jeno.
"Jeno, maaf ya, gue nggak bisa lama-lama." Ada nada tidak enak dalam suara Nabila.
Jeno mengangguk mengerti, "Nggak apa-apa, besok juga kita ketemu lagi, sebagai rival kan?"
"Iya, kalahin gue ya, kalo lo bisa." Bukan sombong, Nabila hanya bercanda mengatakan itu. "Gue duluan ya," Nabila melambai sebentar lalu mulai berjalan menjauhi Jeno.
Ponsel dalam genggaman Nabila bergetar lagi, kali ini ada dua kali getaran. Ada tiga orang yang Nabila spesiali nada dering serta getar pesannya, mereka adalah Barga, Raka dan Aksa. Maka sudah bisa dipastikan salah satu dari mereka yang mengirimkan pesan itu.
Nabila membalas pesan tersebut, setelahnya dia menonaktifkan ponselnya.
###
Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh ketika Barga keluar dari kamar mandi hotel, satu temannya sudah tertidur pulas di kasur, sedangkan dua lainnya sedang sibuk dengan urusan masing-masing.
Setelah sampai dihotel, Barga langsung tertidur karena dia mengalami mual dan terbangun pukul sembilan malam. Saat terbangun tadi, Barga menyempatkan untuk mengirimi Nabila sebaris pesan yang mengatakan bahwa dia baru saja bangun tidur dan rasa mual itu sudah menghilang, Barga jadi terbayang wajah panik Nabila saat dibis tadi.
Gadis itu dengan sabar mengoleskan minyak kayu putih di tengkuknya, lalu memberikan obat mual padanya, sungguh perhatian, membuat hati Barga menghangat seketika.
Barga memang tidak pernah salah mencintai gadis itu.
Tok! Tok! Tok!
"Bukain Ga, kan lo yang paling deket sama pintu." Rafa berseru tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel, Barga langsung melengos walaupun sempat mengucapkan sumpah serapah pada teman setimnya itu.
Pintu terbuka dan menampakkan Arin dengan wajah cemasnya.
Rasa bingung Barga seketika menguar dan tergantikan dengan berbagai macam perasaan kacau setelah Arin melontarkan sebuah kalimat yang membuatnya lemas seketika.
"Barga ... Nabila hilang."