18 : Janji

1455 Kata
"Mau ikut!!!" Untuk yang kesekian kalinya suara Raka kembali menjadi pusat perhatian. Ada sekitar dua puluh lebih pasang mata yang memperhatikan mereka di gerbang depan sekarang, menyaksikan bagaimana Raka merengek meminta ikut berangkat ke Bogor. "Kak! Sumpah malu gue punya saudara kayak lo." Aksa terus menarik lengan Raka agar menjauh dari Nabila, tapi semua usahanya tentu saja sia-sia. "Bacot bener, diem lah! Lo juga pasti mau ikut kan! Sok-sokan juga lo ini!" "Bukan kembaran gue," Barga bergumam. "Diem juga lo k*****t! Sini gue aja yang gantiin lo futsal lah!" "Ka udah dong …." Nabila menggapai lengan Raka yang menggantung bebas, "cuma tiga hari loh, nggak bakal lama, biasanya ditinggal seminggu juga lo biasa aja. Lagian sebelum gue pergi biasanya juga lo selalu pake embel-embel 'Nana, selama Nana pergi, Raka cari pacar baru dulu ya, nanti kalo Nana pulang, Raka putusin lagi' tapi kok sekarang enggak?" "Sekarang tuh beda!" sela Raka kesal, "sekarang kan Nana udah mengakui mau jadi gebetan Raka─ eh, sama dua kembaran Raka juga maksudnya. Jadi, Raka nggak mau selingkuh lagi." "Astaga, Ka! Malu sih lo bahas beginian didepan mereka!" Nabila menutup seluruh wajahnya menggunakan telapak tangan, sejak Nabila menyetujui perjanjian konyol bersama tiga saudara kembar itu, sejak itu pula dirinya menjadi perbincangan hangat disekolah, walaupun tidak dibicarakan yang jelek-jelek tapi tetap saja Nabila malu. Mayoritas siswa justru membuat kubu untuk shipper Nabila dan triplets bersaudara. Karena mereka tau, Nabila bukan gadis sembarangan. Walaupun tidak seperti Zinde yang merupakan anak pemilik sekolah, Nabila tentu lebih dikenal dengan segudang prestasi serta otak cerdasnya, maka tak heran alih-alih marah karna cemburu, mereka justru mendukung. "Tiga hari doang, udah itu langsung pulang, janji!" Nabila mengacungkan dua jarinya, mencoba membuat Raka mengerti. Laki-laki itu menggeleng pelan, "Nana, ih, Raka nggak bakal semangat belajar kalo nggak ada Nana," katanya dengan wajah memelas. "Hilih. Kayak lo pernah belajar aja," Aksa berujar ketus. Berbeda dengan apa yang terlihat, hati Aksa justru sama seperti keadaan Raka sekarang. Jika saja tidak banyak siswa dan guru disini, pasti Aksa akan ikut merengek dengan tidak tahu malunya. Namanya juga pencitraan. "Aksa udah, jangan ikut-ikutan, nanti makin susah ngebujuknya," kata Nabila kesal. Aksa kicep. "Bis-nya udah dateng." Suara Barga menyela perdebatan kecil mereka. Baru saja Nabila ingin mengangkat tasnya, namun langsung terurung begitu Barga yang lebih dulu mengangkatnya. Tas milik laki-laki itu sudah bertengger disalah satu bahunya, sedangkan tas Nabila diangkat oleh tangan yang lain. "Selesain dulu sama mereka, gue naik duluan." Raka dan Aksa kontan mendengus melihatnya, sudah berapa kali mereka kalah gentle dengan saudaranya itu? "Raka, Aksa," panggil Nabila. Keduanya menoleh bersamaan dengan wajah memelas. Tak tanggung-tanggung, bahkan mata Aksa sudah berkaca-kaca. "Nggak guna bener jadi ketua OSIS, Aksa nggak pernah bisa nemenin Nabil lomba, yang ada malah sibuk terus," lirih Aksa. "Nana …." Raka merengek lagi. "Cuma tiga hari, nggak lama, ‘kan? Nggak sampe setahun nggak." Aksa berdecak, "sejam aja kayak setahun buat Aksa. Tuhkan, belum aja Nabil pergi tapi Aksa udah kangen." "Ih kok malah nangis sih!" Nabila panik sendiri melihat setitik air mata diujung mata Aksa. "Ini lagi satu, tangan gue lepasin dulu, mau berangkat ini udah ditungguin." Nabila beralih pada Raka yang tidak melepaskan tangannya sedari tadi. Nabila menghembuskan napas lelah, ditatapnya dua laki-laki di depannya lamat-lamat. "Ini pergi juga buat sekolah loh, bukan buat berduaan sama Barga." Ketakutan utama untuk Aksa dan Raka tentu saja Barga. Mereka takut ketinggalan banyak poin jika membiarkan Nabila berduaan dengan Barga. "Janji nggak bakal dua-duaan?" tanya Raka pelan. Nabila mengangguk yakin. "Janji," katanya seraya tersenyum. "Janji nggak langsung milih Abang?" Kini Aksa yang bertanya. Nabila terkekeh samar. "Nggak lah, gue kan belum kencan sama kalian berdua, masa gue langsung milih gitu aja?" Mata Aksa dan Raka langsung berbinar. "Oke," kata keduanya bersamaan. Raka maju selangkah, menepuk-nepuk pelan puncak kepala gadis itu seraya berkata. "Jangan nakal, ya, disana, Nana." Sedangkan Aksa kini menyodorkan jari kelingkingnya yang langsung disambut oleh kelingking Nabila. "Nabil udah janji ya sama kita, nggak boleh ingkar." Nabila mundur selangkah, mengangguk kecil dan melepaskan senyum lebar. "Gue berangkat, ya!" Tangannya melambai sebentar pada mereka berdua sebelum berbalik pergi menuju bis. Orang pertama yang Nabila cari setelah masuk bis adalah Arin, dia adalah anak IPS yang mewakili cabang Fisika, beberapa kali Nabila dan Arin dipasangkan menjadi perwakilan sekolah sehingga membuat keduanya berteman, dan semalam Arin sudah menyetujui akan duduk bersamanya selama perjalanan. "Loh … Rin?" Nabila mengernyit bingung mendapati kursinya sudah ditempati, tapi rasa bingung itu berubah menjadi keterkejutan ketika menyadari siapa yang kini duduk bersama Arin. Dia Zinde. "Lama, ya, nungguin putri raja," Zinde bergumam tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel, "Rin, pindah bentar ketempat Barga, gue ada perlu sama putri raja." Putri Raja? Arin langsung berdiri dengan gelagapan, siapa juga yang berani melawan perintah Zinde? Nabila menangkap permohonan maaf dari tatapan Arin, karna membiarkannya terjebak bersama Zinde disini. "Duduk. Lo b***k Nabila? Gue udah bilang mau ngomong sama lo." Suara Zinde menyentak kesadaran Nabila, gadis itu segera menduduki tempat Arin tadi, tepat disebelah Zinde. Zinde masih fokus pada timeline i********: diponselnya, tanpa repot-repot menoleh pada Nabila dia kembali berkata, "muak gue liat muka lo tau nggak." Rasa benci itu masih ada ternyata. "Berterima kasihlah sama bokap gue, karna kalo dia nggak ngancem gue, mungkin gue bakal tetep gangguin lo seminggu belakangan." Jadi itu alasan Zinde tidak mengganggunya? "Lo bisu tah?! Heh! Gue nggak lagi ngomong sama tembok ya!" Zinde memang tidak membentak, hanya saja nada suaranya terdengar sangat sinis. "I-iya gue denger." "Bagus." Zinde tersenyum puas, namun sedetik kemudian dia tersentak. Seperti teringat sesuatu, Zinde lantas mematikan ponselnya lalu beralih untuk menatap Nabila. "Udah ngerasa cantik ya lo sekarang?" tanyanya sarkastik, kedua matanya meneliti Nabila dengan tajam. Ada banyak sorot yang terlihat dimatanya, Nabila bisa saja mendeskripsikannya, hanya saja itu terlalu menyakitkan. Intinya sorot mata Zinde padanya, penuh dengan dendam. "Direbutin sama tiga cowok sekaligus, udah ngerasa cantik?" Nabila menggeleng lemah. "Jawab! Punya mulut tuh dipake!" "Nggak, Zi." Nabila menunduk. Di keramaian bis, kenapa Nabila justru merasa sendirian sekarang? Zinde menatap remeh gadis didepannya, berdecak kesal karena Nabila terus saja menunduk membuatnya semakin marah karena merasa tidak dianggap. "Lo udah mengabaikan peringatan gue buat jauhin Raka, sampe berbusa mulut gue ngingetin lo itu itu terus, tapi lo tetep nggak mau denger. Jadi, jangan salahin gue kalo gue udah berani main yang lebih jauh sekarang. Itu balasan karena lo nggak nurut omongan gue, dan balasan karna lo udah ambil Raka─" "Zinde." "Ah, pahlawan lo dateng, Nab." Zinde tertawa sinis, lalu menoleh pada Barga yang sekarang berdiri disebelah kursinya. "Bila, pindah kekursi lo sekarang, bis udah mau jalan." "Tunggu." Zinde langsung menahan lengan Nabila, "Lomba ini penting, gue nggak mau lo kacauin kemenangan kita. Lo harus hati-hati, oke, Nabila?" katanya dengan senyum manis. Barga langsung menepis genggaman Zinde dilengan Nabila, mengambil alih lengan Nabila untuk digenggam. "Gue ingetin satu hal," gumam Barga pelan, matanya tidak lepas menatap Zinde dengan tajam. "Lo yang harus hati-hati." Tidak memberi cela untuk Zinde membalas, Barga langsung beranjak menarik Nabila untuk kembali ketempat duduknya. Arin yang menangkap kedatangan mereka berdua langsung menggumamkan kata maaf pada Nabila dan dibalas senyum tipis oleh gadis itu. Nabila tidak membantah ketika Barga menyuruhnya duduk, bahkan Nabila tidak bisa lagi bertanya kenapa dia bisa duduk dengan Barga. Otaknya masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya sedang direncanakan Zinde untuknya, karena setelah mendengar peringatan gadis itu, Nabila merasa dirinya dalam bahaya. Nabila tersentak kaget ketika sebuah tali headset menyumpal sebelah telinganya, dia menatap Barga dengan bingung, "Lo ngapain?" tanyanya. Barga yang sedang memasang tali headset yang lain pada telinganya tidak menjawab. Alunan lagu mulai memasuki indera pendengaran Nabila sesaat kemudian, seolah menjawab pertanyaan yang tadi Nabila lontarkan. Lagu Perfect milik Ed Sheeran mengalun dari ponsel Barga. Si pemilik ponsel sudah bersandar pada kursinya dengan pejaman mata yang rapat. Barga tidur? Merasa tidak ada lagi yang bisa dirinya lakukan, Nabila lantas melakukan hal yang sama seperti Barga, perjalanan akan memakan waktu yang cukup lama dan Nabila harus beristirahat sebelum pertempurannya. Namun baru saja Nabila memejamkan mata, Barga memanggil. "Bila." Rasa kantuk membuat Nabila tidak ingin membuka mata, jadi dia hanya berdeham untuk menjawab panggilan Barga. "Jangan jawab, lo cukup dengerin aja." Nabila tidak tahu apakah Barga masih terpejam atau sudah membuka mata ketika mengajaknya bicara, Nabila tidak mempermasalahkan itu. Dan ketika Barga menyuruhnya untuk mendengarkan, Nabila langsung bersyukur karena volume lagu yang terdengar tidak terlalu keras sehingga dia masih bisa mendengar semua kalimat Barga dengan jelas. "Pertama, lo nggak perlu khawatir soal Zinde. Gue disini, gue bakal ngelindungin lo." Nabila tidak bisa menahan senyumnya ketika mendengar itu, sepertinya Barga tidak membuka mata karna dia tidak menyela senyum yang Nabila tunjukkan. "Kedua, ayo kita buat bangga sekolah sama-sama. Semangat buat lombanya, karena kita ada dicabang yang beda, gue nggak bakal bisa nonton lo, tapi gue yakin semangat dari gue aja udah cukup kan?" Bodoh, dia menyuruh Nabila untuk tidak menjawab, tapi dia justru melayangkan pertanyaan. "Terakhir, gue tau lo pasti udah ngasih janji sama Raka dan Aksa, makanya mereka rela ngelepas lo pergi sama gue. Tapi, karena lo udah janji sama mereka, apa boleh gue minta hak janji buat gue juga?" Dalam pejaman matanya, Barga mengucapkan permintaan. "Bila, gue mau lo janji sama gue. Selama di Bogor, lo nggak boleh takut sama apapun atau siapapun. Karena sekali lagi gue ingetin, tugas utama gue ada disini itu buat ngejaga lo."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN