Nabila sungguh tidak tahu kalau kalimatnya kemarin membawa dampak yang cukup besar. Soal keberangkatan ke Bogor, bukan tanpa alasan Nabila meminta ketiga laki-laki itu untuk ikut, hanya saja dia punya firasat yang tidak bagus dan itu semua ditambah dengan Zinde yang tidak lagi mengganggunya selama 3 hari terakhir.
Dia jelas tahu bahwa Zinde bukan tipe orang yang mudah menyerah begitu saja, tapi keberadaannya yang jarang terlihat akhir-akhir ini membuat Nabila resah. Seharusnya Nabila senang karena Zinde tidak lagi mengganggunya, tapi nyatanya, Nabila semakin takut akan hal itu.
Karena Nabila yakin, jika tidak sekarang, pasti ada sesuatu yang lebih buruk menantinya.
Dan soal ketiga laki-laki itu, Nabila sungguh dikejutkan dengan tingkah mereka. Nabila baru tahu kalau ternyata Barga juga punya lomba dibogor yang berkaitan dengan lombanya kali ini, jadi dia sudah pasti akan ikut. Raka, dia bersikeras meminta kepada orang tuanya untuk ikut ke Bogor dengan alasan ingin menjaga Barga karena laki-laki itu belum sembuh benar. Dan yang paling parah adalah Aksa, dia menyerahkan tanggung jawab pelaksanaan Ulang Tahun Sekolah kepada Guanlin dengan alasan.
"Karena lo salah satu kandidat ketua OSIS selanjutnya, gue mau lo belajar tanggung jawab buat ini semua. Gue lepas tanggung jawab buat acara ini, karena gue punya acara lain yang menyangkut harga diri dan hati gue. Jadi, tolong laksanain dengan baik."
Nabila sangat yakin bahwa besok─hari senin─laki-laki itu akan langsung dipanggil oleh kepala sekolah, ada-ada saja. Nabila melirik pada ponselnya yang sekitar lima menit lalu telah memunculkan satu pesan baru. Dengan gerakan cepat, Nabila mengetikkan balasan singkat kepada si pengirim, karena Nabila juga ingin membahas masalah Raka dan Aksa kepadanya.
Raden Barga
10:00 a.m, gue jemput.
jgn lupa kencan pertama kita(:
08.47
Nabila
Oke.
Nanti tunggu didepan komplek aja deh, jangan kerumah yaa.
08.52
Nabila tidak tahu apa yang membuatnya sangat lambat hari ini, saat jam dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul 09.50 dia baru saja selesai mandi. Nabila memang bukan tipe gadis yang harus lama dalam bersiap-siap jika ingin pergi, tapi entah mengapa mandi yang seharusnya hanya menghabiskan lima belas menit kini waktunya bertambah menjadi dua kali lipat.
Belum lagi sekarang dia disibukkan oleh baju-bajunya yang tiba-tiba berubah jelek, tidak, bajunya tidak mendapat sihir, tapi justru Nabila yang terkena sihir.
Sihir kencan bersama Barga sepertinya.
Nabila melirik cemas jam dindingnya, tanpa pikir panjang lagi, Nabila mengetikkan sebuah pesan baru untuk Barga.
Nabila
gue bakal telat, 10 menit lagi, oke? tunggu bentar.
09.53
Raden Barga
Oke (:
09.53
Sepuluh menit benar-benar dia habiskan hanya untuk memilih baju dan memberikan sentuhan sedikit kepada wajahnya. Berkaca sekali lagi untuk memastikan bahwa dia benar-benar selesai, Nabila langsung menyambar tas, flatshoes serta handphone miliknya,lalu keluar dari kamarnya dengan sedikit terburu-buru.
"Ma, Bila nggak sarapan, ya, mau per─Barga?!"
Kalimat serta langkah Nabila terputus diruang tamu, dia terlalu dikejutkan dengan kehadiran Barga yang sekarang sedang mengobrol dengan Mamanya diruang tamu.
"Hai." Barga tersenyum tipis ketika matanya bertemu pandang dengan Nabila.
Nabila harus menahan geramannya, dia mendekat kearah mereka lalu menyalimi Farisha kelewat cepat, "Bila mau pergi bentar, ya? Jangan bilang Ayah." Tatapan gadis itu memelas seketika.
"Iya iya," Farisha tertawa, lalu fokusnya beralih pada Barga. "Jagain Bilanya, ya Barga. Pulangnya nggak boleh lewat dari jam lima loh."
Barga mengangguk sopan. "Siap tante," lalu dia berdiri dan mencium punggung tangan Farisha sama seperti yang Nabila tadi lakukan.
"Berangkat, Ma."
Nabila menghembuskan napas lega, mengambil uluran helm yang Barga berikan, tapi tidak langsung memakainya.
"Kok lo bandel banget sih dibilangin?"
"Apaan?" Barga bertanya balik tanpa menoleh sedikitpun, dia sedang memakai helmnya sendiri.
"Kan udah gue bilang tunggu depan komplek aja, kenapa pake kesini segala?"
Masih tanpa menoleh, Barga kembali menjawab. "Gue nggak mau lo jalan kedepan, nanti lo cape."
"Gue udah biasa jalan kedepan, Barga."
"Ada alasan lain sih." Barga kini menoleh.
Nabila mengernyit, "Apa?"
"Kalo Raka bisa belajar buat masa depan dengan ngasih lo bakso, gue bisa belajar juga buat masa depan dengan cara jadi calon yang sopan mulai dari sekarang."
Secara refleks helm yang masih berada digenggaman Nabila kini beralih untuk beradu dengan helm yang sudah Barga kenakan.
"Woy!" Barga mengusap bagian atas helmnya, alih-alih mengusap kepala.
"Sorry, refleks." Nabila nyengir. "Kita mau kemana sekarang?"
"Kemana aja, asal sama lo."
Nabila geram sendiri, "Barga."
Laki-laki itu tertawa kecil lalu turun dari motornya, merebut helm dari tangan Nabila, lalu memakaikannya kepada gadis itu.
"Gue nggak pinter muji cewek loh, karena gue belum pernah muji cewek selain Mama gue." Barga memasang pengait helm, lalu memandang Nabila sebentar seraya tersenyum. "Tapi lo cantik hari ini."
###
Barga memarkirkan motornya di salah satu taman kota yang cukup ramai, Nabila turun terlebih dahulu lalu menyerahkan helm kepada Barga.
"Bagus, ‘kan?" Nabila nyengir lebar, karena tempat ini adalah rekomendasinya.
Barga manggut-manggut setelah helmnya terlepas, "Tapi kenapa taman?" tanyanya.
"Kan lo bilang nggak pernah kencan sebelumnya, gue juga gitu, jadi hari ini kita kesini dulu aja."
"Asal sama lo, gue nggak masalah mau kemana aja."
Nabila berdecak, "Mulai lagi." yang dibalas Barga hanya dengan senyum tipis.
Mereka berdua duduk disalah satu kursi kosong. Keduanya diam, tidak tau harus melakukan apa. Terlalu canggung untuk dua orang yang kadang bertemu di malam hari tapi tidak pernah mengobrol disekolah, juga terlalu canggung untuk dua orang yang tidak pernah pacaran.
"Bil."
"Ga."
Barga menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sedangkan Nabila langsung menunduk, Terlalu aneh rasanya berdua dengan Barga ditempat seperti ini, hal seperti ini tidak pernah terlintas di kepala Nabila sebelumnya, tapi jelas sekarang nyata.
"Lo dulu," kata Barga.
"Gue mau ngomongin masalah keberangkatan bogor," ujar Nabila serius.
Barga berdiri, "bentar bentar, gue beli eskrim dulu. Lo mau kan?"
Nabila mengangguk, "Vanila."
Setelah Barga benar-benar pergi mengahmpiri Penjual eskrim didepan sana, Nabila buru-buru mengambil napas sebanyak mungkjn. Tangannya menyentuh d**a, dan benar saja jantungnya sedari tadi berdetak dengan ritme yang kelewat cepat. Untung Nabila bisa mengendalikan raut wajahnya agar tidak terlihat jika dia sedang gugup sekarang.
Detak ini kembali lagi, pertama kali karena Raka dan sekarang karena Barga. Nabila bingung apa artinya, karena jujur saja, dia belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.
"Bil," Barga kembali, dia menyerahkan eskrim Vanila untuk Nabila.
"Lo suka Vanila juga?" Nabila sontak bertanya ketika melihat Barga memegang eskrim yang sama.
"Gue sukanya lo."
Kalau boleh, Nabila ingin tenggelam saja di rawa-rawa.
Barga tertawa melihat perubahan raut wajah Nabila, "Silly." Gumamnya pelan. "Gue nggak ngerti sama satu hal. Gue nggak terlalu suka Vanila, dibandingkan Vanila gue lebih memilih cokelat sebenernya, tapi setelah lo nyebut Vanila tadi gue jadi ngerasa ..."
"Apa?" tanya Nabila cepat karna Barga menggantungkan kalimatnya.
"Pingin couplean."
Sesederhana itu, tapi selalu mampu membuat wajah Nabila memerah.
"Gue mau serius sekarang." Nabila mengalihkan topik couple-couplean, tidak baik untuk kesehatan jantungnya jika topik itu dibahas lagi.
"Lo mau pilih gue sekarang?" tanya Barga cepat, mendengar Nabila menyebutkan kata serius, Barga tidak bisa mengatur nada bicaranya agar tidak terlalu terdengar antusias.
"Enggak gitu─ ish, mau bahas bogor."
"Oh." Barga paham, tidak secepat itu Nabila bisa memilih dirinya.
"Raka beneran nggak dibolehin ikut ke bogor, ya?" tanya Nabila hati-hati.
"Lo pingin banget ya Raka ikut?" Perasaan Nabila saja, atau memang benar suara Barga terdengar sedikit ... tidak suka?
"Bukan gitu maksud gue, gini, kalo misalnya dia emang nggak dibolehin yaudah lo bilang sama dia buat nggak usah ikut. Aksa juga nggak mungkin ikut, karena dia punya tanggung jawab buat acara. Gue b**o banget sih malah nyuruh kalian semua ikut." Nabila menggigit sedikit bagian eskrimnya, agar rasa sesal dihatinya sedikit mereda.
"Gue tau lo bareng Zinde, tapi gue mau lo tau, kalo gue bela-belain ikut masuk tim inti futsal biar bisa ikut ke bogor juga. Jadi lo jangan khawatir, kan ada gue."
"Bela-belain?" tanya Nabila bingung.
"Gue paling males ikut lomba kalo udah keluar kota, tapi waktu gue tau kalo cabang Matematika diwakilin sama lo. Gue langsung berangkat sekolah pagi-pagi, minta Reyhan buat masukin nama gue ke tim inti, padahal sebelumnya nggak ada nama gue disana. Biasanya, daripada keluar kota, gue lebih memilih buat tinggal di sekolah seharian, terus diem-diem ngeliatin lo belajar. Terus─"
Nabila tiba-tiba tertawa, membuat Barga langsung berhenti bicara. Merasa diperhatikan. Nabila langsung menghentikan sisa-sisa tawanya, memandang Barga serius tapi diselingi dengan gelengan kepala.
"Gue nggak tau lo bisa ngomong sepanjang itu," ucap Nabila disisa-sisa tawanya.
Barga tersenyum sebentar, jenis senyum yang tidak pernah Nabila lihat hingga gadis itu terperangah dibuatnya, ada gigi gingsul yang mengintip dari sela-sela senyuman laki-laki itu, hati Nabila berdesir tiba-tiba. "Ga?" panggil Nabila pelan.
Barga menoleh setelah mengambil satu gigitan dari eskrimnya, "Apa?"
"Mulai sekarang, sering senyum terus kayak gitu, bisa?"
Barga menoleh, lalu menyeringai tanpa Nabila duga. "Lo tau, gue bakal lakuin semua kebalikan dari setiap ucapan lo."
"Kalo gitu, bersikap cuek terus sama gue," sela Nabila cepat.
"Sure, tapi kenapa?"
"Gue baru tau kalo lo semanis itu."
Barga tersentak ditempatnya, tidak menyangka bahwa Nabila akan berkata demikian. Alih-alih membalas perkataan gadis itu, Barga justru tersenyum kembali sama seperti sebelumnya. "Gue mau lo tau satu hal," kata Barga serius.
"Apa?"
"Gue berharap lo bakal pilih gue."