22 : Titik Terakhir

1169 Kata
B A R G A   "Nabila akan mengalami Trauma Psikologis." Hanya satu kalimat. Tapi kenapa gue merasa seolah dunia gue berhenti? Kenapa buat menarik satu tarikan napas aja rasanya susah? Kenapa d**a gue sesak sekarang? Tepat di depan dokter Sadra, Tante Farisha kembali mengeluarkan tangisan pilu yang mampu membuat gue merasakan rasa sakit yang sama. Kalo cuma karena denger bisa ngebuat gue sesakit ini, gimana sama Nabila yang jelas-jelas ngalamin itu semua? Bayang-bayang kejadian beberapa jam lalu nggak pernah pergi dari otak gue, bayangan itu seperti kaset rusak yang bahkan buat dipaksa pun nggak akan pernah bisa berhenti. Gue hampir mencapai titik terakhir dalam kata putus asa. Tapi kalo sekarang gue dihadapkan sama kenyataan kalau gangguan mental Nabila terganggu, apa gue bisa buat tetap baik-baik aja? Untuk Nabila, orang yang gue sayang, gue jelas nggak baik-baik aja ngeliat dia kayak gini sekarang. "Kalian semua tau kalo nabila baru saja menjadi korban k*******n fisik dari pria-pria tidak bermoral. Bukan hanya itu, dia bahkan menjadi korban k*******n s*****l juga, tentu untuk gadis seusianya, itu semua adalah hal yang menyakitkan untuk dialami, pasti mentalnya akan terguncang." Dokter Sadra menjelaskan dengan serius, walaupun terlihat sekali bahwa ada gurat kekhawatiran yang sama seperti kami semua. Setelah kejadian itu, Papa langsung menggunakan akses penerbangan pribadi untuk kembali ke jakarta. Merasa bahwa dokter Sadra adalah satu-satunya dokter yang paling bisa diandalkan, maka Papa tidak menyia-nyiakan waktu lagi, dan segera membawa Nabila serta keluarganya kembali ke Jakarta hari itu juga. Gue memandang satu-persatu orang di depan ruangan Nabila, semua jelas terpukul terutama untuk kedua orang tua Nabila. Raka dan Aksa yang sudah menangis dalam diamnya, serta Mama yang berada dirangkulan Papa juga ikut menangis. Sedangkan gue? Apa lo pernah ngalamin titik paling akhir dari keputusasaan ataupun kesedihan? Bukan karena air mata lo kering makanya lo nggak bisa nangis lagi, jelas karena rasa sakit yang lo terima terlalu pedih, sehingga buat menangis aja lo nggak mampu. Lo cuma bisa diam, menatap kosong udara yang bahkan nggak bisa lo liat, merasa bahwa kehidupan lo lagi berhenti saat itu juga, kebahagiaan lo direnggut secara paksa. Kalo pernah, berarti lo tau gimana rasanya jadi gue sekarang. "Saya sebelumnya mau minta maaf, karena saya nggak bisa turun tangan langsung untuk penyembuhan Nabila." Dokter Sadra menunduk. "Kenapa gitu?! Gue udah percayain Nabila ke lo, Dra." Semua orang tersentak mendengar teriakan Papa yang tiba-tiba─tapi nggak dengan gue, gue tau apa yang mendasari tindakan Papa barusan. "Lo tentu tau, gue langsung kesini karena gue percaya sama lo buat penyembuhan Nabila! Kesehatannya prioritas utama sekarang! Tapi kenapa lo malah ngomong gitu?!" Papa kembali berteriak, untung saja Mama masih menahan lengannya, karna kalau tidak, pasti dia tidak bisa menahan emosinya lagi untuk meninju wajah dokter Sadra saat itu juga. "Kenapa?" Kali ini Ayah Nabila yang bersuara, bahkan Om Farhan sampai mendekati dokter Ong dengan tatapan yang sulit buat gue jelaskan, marah, sedih, putus asa, kesal, tidak ada bahagia dalam redup matanya. "Kenapa anda tidak bisa turun tangan langsung?" Dokter Sadra menyentuh pundak Om Farhan lembut, "saya benar-benar minta maaf. Trauma Psikologis tentu memiliki dampak, dan─ah, sebenarnya saya tidak bisa langsung menyimpulkan sebelum melihat langsung reaksi putri bapak. Tapi, menurut prediksi saya, untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan, Nabila mungkin saja akan takut terhadap laki-laki, saya takut─" "Maksud anda terhadap laki-laki, saya juga ... termasuk?" Om Farhan menyela penuh keterkejutan. "Maaf." Satu kalimat penyesalan dari dokter Sadra membuat pertahanan gue runtuh seketika. Satu pertanyaan menyakitkan terlintas di kepala gue. Kenapa harus Nabila? Kenapa harus orang sebaik Nabila yang mendapatkan masalah sebesar ini? Selama ini, gadis itu selalu tersenyum setiap kali ada yang menyapanya. Selalu membantu tiap kali ada yang membutuhkan jasanya. Dia tidak pernah marah berlebihan, pemilik senyum manis, pemilik hati yang begitu besar, mampu menerima apapun yang terjadi padanya dengan ikhlas. Dan, setelah semua itu, sekali lagi, kenapa harus Nabila?! "Dokter, Nabila sudah sadar." Semua orang terkesiap mendengar perkataan suster yang sedari tadi memang bertugas menjaga Nabila, suster itu keluar dari ruangan Nabila dengan wajah lega sekaligus khawatir. "Bagaimana keadaannya?" Suster tersebut menghela napas berat, "tidak ada pergerakan apa-apa, dok. Dia hanya membuka matanya." Gue nggak tahu harus bersyukur atau takut, jujur aja gue lega karena denger sendiri kalo Nabila udah sadar, tapi disisi lain gue juga takut, gue takut semua prediksi dokter Sadra akan terbukti benar. Gue takut melihat reaksi Nabila. "Sebaiknya hanya orang tua saja yang menghampirinya sekarang, kita butuh reaksi Nabila, menerima atau menolak kehadiran orang lain disekitarnya, kita harus tau itu." Gue menatap kedua orang tua Nabila yang sudah memasang ekspresi harap-harap cemas, Mama sempat memberikan dukungan kepada Tante Farisha sebelum kemudian bersama dengan Om Farhan, Tante Farisha memasuki ruang rawat Nabila. Jangankan melihat, untuk mengintip pun gue nggak bisa. Dokter Sadra yang berada di depan kaca transparan untuk melihat reaksi Nabila, dia dokter jadi dia perlu melihat, gue? Emang gue siapa sampai pingin narik baju dokter Sadra buat menjauh dari sana? Dalam hati gue terus menggumamkan doa untuk Nabila di dalam sana. Walaupun gue tau dia nggak baik-baik aja, seenggaknya dia harus menerima kehadiran kedua orang tuanya, karena gimanapun juga Nabila harus punya pen─ "PERGIII!!!" BRAK! Pintu langsung terbuka lebar, karena dokter Sadra masuk secara tiba-tiba setelah teriakan Nabila terdengar. Gue nggak bisa lagi mengatur degup jantung gue ketika dengan mata kepala gue sendiri, gue melihat—lewat pintu ruangan yang terbuka—Nabila memberontak dalam rengkuhan ibunya, dia menangis keras, terdengar sangat memilukan sampai d**a gue berdenyut nyeri mendengarnya. "PERGI! TOLONG─HIKS, JANG.. JANGAN.. TOLONG.." Nabila terus memberontak, bola matanya berkabut ketakutan melihat kearah Ayahnya dan juga Dokter Sadra. Sedangkan Tante Farisha yang juga sedang menangis, tetap memeluk Nabila dengan kuat berusaha menenangkan walaupun kenyataannya semua itu gagal. ‘Pertama, lo nggak perlu khawatir soal Zinde. Gue disini, gue bakal ngelindungin lo.’ Kepala gue mendadak terasa seperti baru saja mendapatkan pukulan keras dari ingatan kalimat tersebut. Kalimat yang sempat gue bilang ke Nabila. ‘Kedua, ayo kita buat bangga sekolah sama-sama. Semangat buat lombanya, karena kita ada dicabang yang beda, gue nggak bakal bisa nonton lo, tapi gue yakin semangat dari gue aja udah cukup kan?’ Jangankan bikin dia bangga, gue bahkan nggak ikut lomba karna khawatir sama hilangnya dia. ‘Terakhir, gue tau lo pasti udah ngasih janji sama Jihoon dan Baejin, makanya mereka rela ngelepas lo pergi sama gue. Tapi, karena lo udah janji sama mereka, apa boleh gue minta hak janji buat gue juga?’ "JANGANN!! TOLONG JANGAN REBUT MASA DEPAN SAYA!!" Janji itu. "TOLONG PERGI!!!" ‘Bila, gue mau lo janji sama gue. Selama di Bogor, lo nggak boleh takut sama apapun atau siapapun. Karna sekali lagi gue ingetin, tugas utama gue ada disini itu buat ngejaga lo.’ Nabila jelas sangat ketakutan. Nabila jelas merasa sakit. Terus janji itu? BUAT APA GUE JANJI NGEJAGA DIA KALO KENYATAANNYA DIA TERLUKA SEKARANG?! Gue nggak tau sejak kapan air mata s****n ini turun, gue nggak bisa denger apa-apa lagi selain suara teriakan serta suara tangis Nabila di dalam sana. Mata gue nggak bisa lepas melihat gimana parahnya reaksi Nabila setelah ketemu sama laki-laki yang jelas-jelas adalah Ayahnya sendiri. Gue juga laki-laki. Kalo sama Ayahnya sendiri dia sampai kayak gitu, gimana sama gue? Apa gue nggak punya kesempatan buat ketemu dia lagi mulai sekarang? Kenapa gue harus ngucap janji s****n itu kalo gue nggak bisa berbuat apa-apa? Dan dengan tololnya, sekarang gue cuma bisa nangis didepan pintu. Sebesar apapun luka dihati gue setelah melihat Nabila seperti itu, gue sadar satu hal. Nabila jelas lebih terluka dibanding gue.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN